Waktu dalam pendakuan Emile
Durkheim adalah cermin dari pengalaman kolektif masyarakat. Sebagaimana fakta
sosial, waktu bukan semata-mata dimensi subjektif manusia belaka, melainkan dia
dibentuk secara bersama-sama seiring pengalaman masyarakat yang ikut
menyertainya. Bahkan, waktu tidak saja dapat mengungkapkan irama aktivitas
kolektif masyarakat, melainkan juga sebaliknya mengatur aktivitas kolektif
masyarakat di dalamnya.
Waktu yang berasal dari kehidupan
sosial secara historis-sosiologis memiliki ragam bentuk, terutama yang
berkaitan dengan hal ihwal yang prinsipil. Pandangan dunia, sistem religi,
sistem ekonomi, sistem pendidikan, serta beragam faktor lainnya adalah hal-hal
yang ikut membentuk paras waktu dari masa ke masa, dari satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya.
Waktu reflektif Yunani Kuno
Waktu di Yunani kuno identik dengan
skolae. Skolae adalah waktu yang dimaksimalkan demi pencerahan akal budi dan
jiwa. Bagi masyarakat Yunani kelas atas --selain budak-- waktu adalah dimensi
kemanusiaan yang ikut membentuk paras kebudayaan melalui kerja-kerja diskursif.
Fransiscus Simon, melalui literasi
Kebudayaan dan Waktu Senggang-nya, menandai aktivitas diskursif masyarakat
Yunani sebagai penopang terbentuknya kebudayaan. Pendakuannya ini diidentikkan
sebagai wahana yang dimanfaatkan masyarakat Yunani kuno melalui tindakan
reflektif-filosofis dalam kaitannya dengan persoalan urat nadi kehidupan
masyarakat.
Kegiatan reflektif-filososfis ini
juga yang secara kategoris membedakan pengalaman atas waktu masyarakat Yunani
Kuno dengan waktu-waktu yang lainnya. Secara sosiologis penandaan atas waktu reflektif-filososfis
ini ditemukan melalui waktu senggang.
Pengalaman atas waktu senggang
secara karikatural juga dapat dilihat melalui kehidupan para pemikir Yunani
Kuno. Secara ilustratif, orang-orang semisal Socrates, adalah prototype secara
sosiologis bagaimana dalam kehidupan sehari-harinya waktu secara senggang
dimanfaatkan demi pemenuhan perkembangan akal budi dan jiwanya.
Dilihat dari pengalaman atas waktu,
waktu dinyatakan bernilai ketika itu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang
dimiliki manusia dalam mengupayakan suatu agenda yang membebaskannya dari
kegiatan-kegiatan selain berpikir dan berefleksi.
Apabila waktu senggang dimaknai
seperti dinyatakan Josep Pieper dalam Kebudayaan dan Waktu Senggang-nya
Fransiskus Simon, maka poros dari pengalaman atas waktu itu senantiasa dimotori
oleh peran logos yang menjadi
kemampuan ekslusif manusia. Aristoteles adalah salah satu pemikir yang
menempatkan logos bukan semata-mata
sekadar pembeda dari hewan, melainkan dari situ pendasaran kehidupan politik
mendapatkan dasar kerjanya.
Artinya, selain wahana penghayatan
atas urat nadi kehidupan manusia, waktu senggang dapat memungkinkan dan
memaksimalisasi peran logos yang dimiliki manusia untuk membentuk kehidupannya
menjadi suatu peradaban dalam kerangka politik.
Dengan kata lain, ditilik melalui kerangka Aristotelian, polis (politik)
adalah wahana sekaligus waktu senggang itu sendiri yang memberikan peluang
ekspresi kebebasan manusia seperti ditemukan melalui konsep agora dalam konteks
masyarakat Yunani kuno.
Waktu suci agama
Di abad pertengahan, pergeseran
semangat dan idealisme antroposentrik Yunani kuno diserap dan bahkan nyaris
hilang melalui idealisme institusi gereja. Abad pertengahan adalah abad
Theosentrik, yang semua keputusan secara sosio-kultural, hukum-epistemologis,
dan ekonomi-politik didudukkan dan diputuskan melalui kewenangan agama. Agama
sebagai kekuatan totaliter akhirnya mendasari juga pemaknaan atas waktu bagi
masyarakat abad pertengahan.
Masyarakat abad pertengahan dapat
diilustrasikan sebagai masyarakat yang mengalami sakralisasi kehidupan melalui
nilai-nilai agama. Perbedaan ini menjadi
dominan akibat institusi kekristenan yang secara politik memiliki kewenangan
untuk mengatur hajat hidup orang banyak. Melalui agama waktu dikategorisasi
berdasarkan waktu suci dan waktu profan yang ditandai dengan keterlibatan “yang
ilahi” di dalamnya.
Bukan saja dalam keimanan Kristen,
dalam Islam pun ditemukan pola yang sama
berkaitan dengan sakralitas waktu. Melalui pemaknaan waktu suci dan waktu
profan, segala aktivitas individual maupun sosial ditentukan. Dalam Fenomenlogi
Agama-nya Dhavamony, dinyatakan disitu bahwa puncak pemaknaan atas waktu suci
dalam agama dijabarkan melalui ritual-ritual, peribadatan, dan perayaan untuk
kembali mengakrabkan diri atau membangun pertalian kebermaknaan dengan “yang
suci”.
Kategorisasi waktu suci dan waktu
profan dalam agama, berbeda dengan penilaian atas waktu senggang yang ditemukan
di masyarakat Yunani kuno. Dalam agama, nilai atas waktu ditentukan berdasarkan
kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki oleh waktu itu sendiri untuk memberikan
keutuhan atas “yang suci” bagi manusia. Dengan kata lain, waktu dalam semangat
dan idealisme agama hanya dianggap bernilai kepada relasinya dengan Tuhan itu
sendiri.
Secara kultural, waktu-waktu suci
dalam agama dirayakan secara sosial dari hari, bulan, tahun, musim, periode
yang sudah ditentukan nilai sakralitasnya dari agama itu sendiri. Inilah yang
dibilangkan Durkheim sebagai bagian dari fakta sosial, yakni melalui
waktu-waktu tertentu masyarakat diatur berdasarkan makna atas waktu itu
sendiri. Hal ini terjadi akibat pentingnya kategori waktu-waktu suci yang
mendasarai segala aktivitas masyarakat agar bernilai dan memberikan rasa
keutuhan sebagai manusia.
Dilihat dari idealisme yang
dikandung dalam agama, kegiatan yang dilakukan secara individual dan maupun sosial
melalui waktu suci, adalah suatu tindak religius dalam kerangka ibadah. Berbeda
dari pergumulan atas waktu masyarakat Yunani, masyarakat yang diikat melalui
sakralitas agama merelatifkan dirinya di hadapan Tuhan melalui peribadatan
dalam waktu-waktu suci.
Dengan kata lain, waktu-waktu suci
mendiferensiasi waktu senggang yang secara epistemologis-ontologis mengerahkan
kerja logos melalui kegiatan reflektif-filosofis, maka melalui waktu suci,
secara epistem-ontologis waktu dan segala aktivitas di dalamnya didudukkan di
bawah peran wahyu melalui kerangka peribadatan dan perayaan.
Waktu produktif, waktu senggang era
modern
Masyarakat modern setidak-tidaknya dapat
dikenali dari dua fenomena spesifik, pertama, kemunculan kapitalisme Eropa yang
ditandai dari lahirnya kelas menengah baru yang menguasai sektor jasa dan
perekonomian menggantikan tatanan masyarakat feodalistik, dan kedua, terjadi desakralisasi
agama dari kehidupan masyarakat yang menciptakan suatu bentuk masyarakat
sekuler dengan kemunculan paradigma saintifik sebagai dasarnya.
Kemunculan kapitalisme di
Eropa menandai era masyarakat yang
terkonfigurasi berdasarkan sistem pembagian kerja atas kepemilikan alat-alat
produksi. Munculnya gilda-gilda, bengkel kerja, dan pabrik-pabrik adalah asal
muasal perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial yang
menjadi prasyarat-prasyarat materialnya. Sementara perubahan politik yang
mendelegitimiasi tatanan keagamaan dan kebangsawanan adalah awal baru dari model
masyarakat yang mendasarkan pemahamannya terhadap ilmu pengetahuan dalam
melakoni kehidupannya.
Perubahan dari bentuk kehidupan
masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial, juga ikut mengubah pengalaman
atas waktu itu sendiri. Secara sederhana, dalam masyarakat agraris pemaknaan
atas waktu disandarkan kepada musim-musim, periode, atau masa tertentu yang
berkaitan dengan pengelolahan tanah, namun semenjak berlakunya tatanan
masyarakat industrial yang bertolak dari aktivitas kerja dalam pabrik mengubah
siklus waktu berdasarkan jam kerja industrial.
Analisis Jean Baudrillard, mengenai
perubahan mode produksi kapitalisme industrial menjadi kapitalisme konsumsi
adalah salah satu penanda yang cukup memberikan pemahaman betapa progresifnya
kapitalisme berkembang. Progresifitas kapitalisme secara gradual juga mengubah
konsep waktu bukan saja sekadar waktu produktif yang ditandai dengan kerja
sebagai satu-satunya aktivitas yang bernilai kapital, melainkan tindakan konsumsi
yang secara massal menjadi pekerjaan dari ekses melimpahnya barang-barang.
Konsumsi sebagai aktivitas primer
dari kapitalisme tingkat lanjut juga disituasikan melalui waktu-waktu tertentu
yang dihubungkan dengan perilaku konsumsi sebagai inti aktivitasnya. Dengan
cara inilah, waktu senggang dalam setting masyarakat kapitalisme menjadi modus
baru dari akumulasi kapital berupa bukan saja modal itu sendiri, melainkan
simbol dan konsumsi itu sendiri.
Itulah sebabnya, waktu luang yang
dimiliki di luar dari waktu kerja, dalam setting masyarakat kiwari secara
massal berkaitan langsung dengan aktivitas konsumsi dengan menghabiskan
waktunya di pusat-pusat perbelanjaan dan tempat plesiran. Itulah juga mengapa
banyak tempat-tempat perkotaan memanfaatkan ruang lapang demi membangun pusat
perbelanjaan, menjadikan ruang publik sebagai ruang konsumtif bagi warga
kotanya.
Singkat cerita, waktu luang dalam
benak masyarakat kapitalistik bukan lagi berusaha mengunjungi ruang interior
dirinya seperti yang ditunjukkan masyarakat Yunani Kuno demi pengembangan diri,
atau melihat waktu melalui dimensi ilahiah dengan ibadah sebagai bentuk
perayaannya, melainkan lebih bermakna eksterior mengunjungi tempat-tempat konsumtif sebagai
ibadah kolektif masyarakat konsumer.