FILSUF. Bagi Alain Badiou –seorang
filsuf marxis- ikhtiar dari filsafat adalah hasratnya untuk menemukan
kebenaran. Tiada filsafat yang mendakukan dirinya selain daripada
ketertarikannya mencandrai kebenaran.
Menurutnya, dalam hasrat kebenaran, filsafat memiliki 4 elemen; yang
pertama adalah revolt (pemberontakan), kedua, logis (logika), berturut-turut
kemudian, universalitas, dan risiko.
Kisah Socrates kisah seorang revolusioner. Ia menjadi sosok yang menggerakkan
pemberontakan. Filsafat di tangan Socrates menjadi medium kritik bagi situasi
yang dihadapinya saat itu. Dia menjadi media pembebasan dari alam berpikir
mitologi yang dipenuhi sosok dewa-dewa.
Artinya, mitos dan sosok dewa-dewa yang menopang alam berpikir masyarakat
Yunani menjadi momen pemberontakan bagi Socrates. Kebudayaan dan tradisi Yunani
yang berwatak irasional, dengan kata lain adalah medan Socrates mengubah cara
pandang masyarakat Yunani menjadi jauh lebih merdeka.
Itulah sebabnya, tiada filsafat yang tidak mengandung perlawanan kepada
keadaan sebelumnya. Inti filsafat dalam hal ini adalah konfrontasinya dengan
pikiran-pikiran umum.
Filsafat dari dimensinya ini adalah pernyataan-pernyataan yang merevisi
paradigma lama dengan mengajukan pandangan baru melalui kekuatan dimensi yang
kedua: logika.
Logika filsafat Socrates adalah kekuatan logis dari subjektivitas rasio
yang menjadi penopang seluruh argumentasinya. Ia tidak saja menjadi sumber
pengetahuan, melainkan menjadi alat praktis yang berkemampuan membebaskan
masyarakat dari kekuatan yang menyesatkan pikiran.
Tanpa elemen logika, filsafat di tangan Socrates tidak jauh berbeda dengan
cara berpikir lama. Sebaliknya, melalui penalaran logis, menandai pikiran
Socrates yang koheren dan efektif. Dengan begitu kebenaran filsafat menjadi
terang dan gamblang. Di hadapan logika, tradisi diemansipasi dari
kesesatan-kesesatan berpikir.
Selain itu, otoritas tradisi yang selama ini ditopang melalui kekuatan
mitos, melalui penalaran logis filsafat, memungkinkan terbukanya kemerdekaan
berpikir daripada ketundukan terhadap tradisi tanpa dalil-dalil yang kuat.
Dengan begitu paras filsafat yang logis dengan sendirinya mengandaikan
dirinya sebagai ajakan universal kepada kebenaran. Ini artinya, setiap
pernyataan filosofis mempertanggungjawabkan dirinya sebagai ajaran yang
universal. Melalui bahasa, setiap kebenaran pada dirinya adalah kebenaran bagi
setiap orang.
Universalitas filosofis sebagai pernyataan umum setara dengan kedudukan
logika yang menjadi medium penalaran. Denngan kata lain ini sekaligus hujjah
bagi dirinya yang merupakan hak bagi setiap orang ketika mengedepankan akal
sehatnya. Universalitas filsafat, singkatnya adalah jalan bagi tercapainya
kebenaran fundamental sebagai standar umumnya.
Artinya, sejauh manusia memaksimalisasi peran akal sehatnya, maka dengan
sendirinya akan melingkupi universalitas filsafat itu sendiri. Dengan rumus
yang sama, universalitas filsafat seluas pula dengan akal sehat manusia.
Terakhir, risiko adalah implikasi nyata dari kebenaran filsafat. Setiap
sudut pandang yang diambil dari cara berpikir filsafat, dengan sendirinya
memiliki konsekuensi berupa risiko semenjak berkonfrontasi dengan keyakinan
umum.
Dalam kisah Socrates, konfrontasi filosofisnya membawanya pada risiko
berupa tidak adanya kepastian mutlak selama penggalian filosofisnya masih
berjalan. Risiko filsafat dalam hal ini adalah implikasi dari kebenarannya yang
mengubah sudut pandang hingga membuatnya dalam keadaan yang terus bergerak.
Dengan kata lain, melalui penyelidikan mendalam, secara epistemologis,
kebenaran filsafat adalah sesuatu yang terus bergerak dan berubah. Risikonya
adalah seseorang dituntut berkemampuan menerima segala jenis
kemungkinan-kemungkinan yang menyertainya.
Secara sosial, Socrates menghadapi kecaman dari keyakinan umum yang
menganggapnya sebagai orang yang patut dikucilkan. Ia mengalami pengasingan
sebagai risiko sosial akibat menanggung universalitas filsafatnya. Bahkan,
risiko Socrates yang paling utama dari kebenaran filsafatnya, adalah menanggung
kematian.
Syahdan, menurut Alain Badiou, di era kontemporer, hasrat kebenaran
filsafat mengalami empat tantangan sekaligus melalui empat dimensinya: dunia
yang terspesialiasi melalui diferensiasi sosial (pluralisme), penyebaran
informasi yang tidak koheren satu dengan lainnya (nonlogis), dunia yang
menyediakan kebebasan sebagai prinsip kehidupan (kemustahilan pemberontakan),
dan keengganan masyarakat mengambil risiko kebenaran dengan memilih hidup mapan
(risiko). Empat tantangan ini, menurut Alain Badiou mesti segera diselesaikan
untuk mengubah keadaan filsafat yang semakin kehilangan relevansinya. Lalu,
bagaimanakah tugas filsuf itu sebenarnya?