Berbeda
dari masyarakat kita gampang tersenyum. Bahkan kita mudah menggumbar
senyuman kepada orang yang masih asing. Ingatan bangsa kita mengenal orang paling mudah memberikan senyuman di saat kapan pun sudah tentu adalah Soeharto.
Tidak tanggung-tanggung di saat memerintah dan menindas pun ia masih bisa
melakukannya
Itu
tanda bahwa secara umum orang-orang Indonesia ramah-ramah, baik hati. Piye kabare, gimana
wuenak zamanku, to?
Melalui
pendekatan psikologi, seorang scholar ilmu jiwa Pavel Ponomaryof mengemukakan
sulitnya orang Rusia mengumbar senyum atau tertawa akibat latar belakang
sejarah mereka yang lama menghadapi agresi bangsa lain. Akibatnya, masyarakat
Rusia memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap orang-orang asing. Itulah
sebabnya, tertawa atau tersenyum bagi bangsa Rusia mahal harganya. Dia tidak
diperuntukkan bagi banyak orang.
Yang
menarik, agak berbeda dari bangsa Rusia, bangsa Indonesia biarpun sudah
mengalami banyak peristiwa sejarah kelam, masih suka melempar senyum dan
tertawa sebagai tanda keakraban. Kurang afdol bagi masyarakat kita ketika
pertama kali bertemu orang lain tanpa memberikan senyuman. Bahkan bagi pelaku
kejahatan tingkat tinggi, koruptor misalnya, masih bisa tersenyum manis ketika
di meja hijau.
Di
Jepang, sulit menemukan seorang koruptor mengumbar senyuman setelah kedapatan
melakukan kejahatan konstitusional. Di sini, saking ramahnya kita, sulit
menemukan wajah menyesal bagi kasus yang sama seperti pejabat-pejabat publik di
Jepang.
Memang
sudah budaya kita ramah kepada orang lain. Kadang sikap itu diwujudkan melalui
senyuman atau bahkan tertawa sebagai tanda saling menghormati.
Tapi
walaupun tertawa merupakan hak seluruh manusia, bahkan disebutkan oleh seorang
ahli jiwa merupakan bagian dari enam emosi dasar manusia, secara kultural
setiap kebiasaan masyarakat nyatanya memiliki ekspresi yang berbeda-beda saat
melakukannya. Bahkan ada bangsa-bangsa yang dikenal humoris akibat seringnya
masyarakat mereka tertawa.
Kaum
perempuan di masyarakar Barat misalnya, cenderung tertawa lepas tanpa segan
menjadi sorotan banyak orang. Di ruang publik perempuan-perempuan Barat tertawa
riang tanpa terbebani tabu-tabu masyarakat. Ini tentu berkaitan dengan
kemajuan bangsa Barat di dalam mengakomodir kebebasan individu di ruang publik.
Sedangkan
di masyarakat Timur, perempuan masih kesusahan menyalurkan kebahagiaannya di
depan umum. Tertawa riang bagi perempuan di keramaian sulit dilakukan akibat
tradisi masyarakat yang masih kuat. Dikaitkan dengan budaya patriarki, tertawa
lepas bagi perempuan masih dianggap tidak layak dilakukan.
Itulah
sebabnya, bagi perempuan hanya untuk tertawa saja membutuhkan ruang khusus
seperti di belakang dapur, di dalam kamar, atau perkumpulan di antara mereka
agar dapat tertawa lepas. Bisa jadi, tindakan membicarakan orang melalui gosip
yang umumnya dilakukan perempuan akibat dari domestifikasi yang mereka alami.
Dengan kata lain, gosip yang seringkali diselingi tertawa lepas, bisa jadi imbas
dari sempitnya ruang gerak mereka di masyarakat.
Dalam
dunia seni peran, bahkan perempuan juga mengalami hal yang sama. Film-fim horor
misalnya, adalah ilustrasi yang bisa mewakili bagaimana perempuan hanya bisa
tertawa apabila ia telah mangkir dari kehidupannya. Dia hanya bisa tertawa
pasca kehidupannya. Itulah sebabnya, hantu-hantu perempuan selalu identik
dengan tertawanya yang khas melengking. Cara tertawa yang mengekspresikan
kurang leluasanya ia di masa hidup, mungkin.
Terlepas
dari rumitnya perempuan mengakses ruang publik untuk tertawa, dalam dunia humor
tanah air, kita sering mendengar frasa “tertawalah sebelum tertawa itu
dilarang.” Warkop DKI adalah ikon yang mempopulerkan frasa ini melalui
film-film yang mereka bintangi. Dilihat dari konteks frasa ini, Warkop DKI
menjadikan humornya sebagai jangkar ingatan atas rezim otoriter yang memasung
kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Tertawa sekalipun.
Hubungan
tertawa dan kekuasaan kadang tidak seimbang, dan sering kali malah
bertentangan. Literasi sufistik mengenal Nasruddin Khoja sebagai sosok bahlul yang pernah hidup dengan tingkah
laku gilanya. Nasruddin Khoja sering ditempatkan sebagai antitesa dari rezim
yang sering menjadi sasaran kritik leluconnya. Melalui kecerdikannya yang kerap
mengundang tawa tersemat daya dorong yang memberikan suatu pengertian kritis
mengenai situasi yang dialami .
Sosok
yang kadang diasosiasikan dengan Abu Nawas ini juga muncul dalam kisah sastra
klasik Seribu Satu Malam. Dikisahkan Abu Nawas cum penyair
menggunakan lelucon menjadi orang gila untuk menolak wasiat ayahnya bekerja
sebagai hakim di bawah pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid yang otoriter.
Di
tanah air, melalui kisah pewayangan kita mengenal sosok Semar. Semar
diriwayatkan adalah jelmaan dewa yang menyamar sebagai rakyat jelata dengan
rupa jelek sekaligus bertubuh pendek dan gemuk. Sebagai orang biasa Semar
memiliki perkataan dan tingkah laku di luar dari kebiasaan umum. Walaupun dia
adalah rakyat jelata, di kisah Mahabrata maupun Ramayana, Semar sebenarnya
adalah pengasuh dan penasehat para ksatria. Yang unik, ketika ia memberikan
petuah kepada para ksatria, seluruh nasehat dikemasnya melalui bahasa humor.
Yang
lebih dekat dari ingatan, kita mengenal juga Gus Dur sebagai sosok yang sering
menggunakan guyonan untuk menyampaikan buah pikirannya. Seperti sosok Semar
atau Abu Nawas dalam dunia tasawuf, Gus Dur menggunakan strategi bahasa melalui
humor untuk memobilasi daya kritis masyarakat Indonesia. Walaupun sering kali
bernada sarkastik, guyonan Gus Dur kadang membuat panas telinga orang-orang
yang tidak mampu menangkapi inti pesannya.
Jika
dalam kekuasaan tertawa malah dianggap perilaku yang menyebalkan, seperti yang
diharapkan dari kisah-kisah Nasruddin Khoja atau Abu Nawas, tertawa justru
adalah tanda sehatnya jiwa. Tentu tertawa di sini adalah jenis tertawa yang
lahir dari lapang dan terbukanya jiwa. Dengan kata lain selain menangis,
tertawa dalam hal ini menjadi mekanisme jiwa untuk merestart ulang
keadaannya agar kembali ke keadaannya yang semula.
Di
titik ini sebenarnya kita perlu memahami pentingnya tertawa. Menurut penelitian
selain mampu menurunkan kalori, tertawa juga dapat menjaga sistem pikiran agar
tidak mudah stres dan meningkatkan kekebalan tubuh dari penyakit. Apalagi, di
masa sekarang, begitu banyak masalah yang bisa membuat orang mengalami stres
berkepanjangan.
Syahdan,
konon dalam dunia tasawuf, orang-orang yang sering kali banyak guyon, atau
mudah tertawa adalah tanda-tanda dari tingginya makam spriritualnya. Di sini
kita bisa mengerti kenapa para sufi sering dikatakan gila akibat guyonannya
yang mengundang tertawaan.
---
Telah dimuat sebelumnya di Kalaliterasi.com
---
Telah dimuat sebelumnya di Kalaliterasi.com