TEKNOLOGI. Eike lupa apa judul film yang diputar kala itu. Tapi garis besar ceritanya
masih eike ingat: tentang kehidupan manusia yang dimanja kemajuan teknologi,
hingga urusan makan si manusia tinggal duduk bersandar di atas kursi dilengkapi
alat menyerupai tangan manusia untuk menyuapinya. Kepada lain-lain, persis
seperti saat makan, sang manusia hanya duduk di atas kursi canggihnya dan
membiarkan robot-robot dan perangkat mutakhir mengurusi segala urusan yang
sebenarnya bisa dilakukan manusia itu sendiri.
Di
film itu, dihubungkan dengan panel-panel di bawah kursi, kehidupan manusia
diserahkan sepenuhnya kepada mesin-mesin canggih.
Film
itu, dengan gampang, adalah potret atas fenomena abad milenial ketika kemajuan
teknologi menyeroboti sisi praktis masyarakat. Tapi, juga sebenarnya
adalah sisi kognitif manusia.
Di
film itu nyaris tak ada tenaga manusia yang dikeluarkan, selain dari pada kemampuan
menekan tombol-tombol untuk mengaktifkan mesin-mesin canggih agar berfungsi
mengganti seluruh pekerjaannya.
Secara
paradoks, akibat diambil alih mesin berteknologi canggih, semua manusia di film
itu menjadi mahluk gempal betubuh gemuk.
Mungkinkah
itu ironi? Tapi, justru itu sebenarnya tragedi: sang manusia kehilangan
kemampuan manusiawinya, yang asali menjadi hilang, saat tubuh kehilangan ruang
geraknya, otot yang menjadi kendur, dan otak yang berhenti bekerja.
Manusia
boleh saja merayakan kemajuan peradabannya, tapi dia tidak bisa bermain-main
dengan ciptaan dirinya sendiri.
Di
film itu, sang manusia tanpa disadari menjadi mahluk yang teralienasi dari
dirinya sendiri. Agak sedikit menyerupai Marx, manusia tertawan dari apa yang
dia hasilkan sendiri.
Jika
film itu dapat disebut potret bagi masa kini, maka dunia hari ini adalah
fenomena yang berhasil ditangkapnya. Walaupun tidak sepenuhnya juga benar, tapi
garis besarnya masih juga sama: pertautan manusia dengan mesin teknologi nyaris
mengambil seluruh pekerjaan manusia.
Dari
itu, di sini kita perlu kembali mendudukkan sejarah kelahiran teknologi ketika diciptakan
untuk mengatasi alam dan membantu keterbatasan manusia. Teknologi dalam kedudukannya yang demikian dinyatakan
oleh para ahli sebagai bagian manusia untuk survival. Yakni, ihwal yang masih
menjadi satu kesatuan dengan manusia secara alamiah.
Kata
Heidegger, teknologi sebagai mode kehidupan adalah cara manusia mengungkap
makna Ada, meneroka arti dunia untuk menemukan hal ihwal kebaruan. Arti ini
diambil dari makna poesis yang
sepadan dengan kata techne itu
sendiri sebagai makna dari to create
(bagaimana mencipta).
Namun
dalam situasi sekarang, teknologi tidak lagi dinyatakan hanya dalam
rangka survival, melainkan menjadi praxis teknis yang jauh
berkembang menghancurkan fondasi esensialitas manusia. Dia bukan dalam
kedudukannya sebagai poetik sebagaimana
dalam seni, tapi berubah menjadi “sistem mandiri” yang mengamputasi sisi
alamiah manusia.
Teknologi
berupa benda-benda canggih, seperti ditunjukkan film itu, memang sangat dominan
mendeterminasi manusia. Membuat orang-orang hanya duduk dengan sekotak layar
kaca sebagai dunia kehidupannya, persis seperti seorang bayi yang diperlakukan
tanpa memiliki kehendak dan kemauan.
Di
film itu, nyaris semua kemampuan kodrati manusia luruh dan hilang semata-mata
demi kenyamanannya sendiri
Tapi,
jauh sebelum digambarkan melalui film itu, teknologi dalam pengertiannya yang
paling mengancam adalah apa yang sudah dikemukakan Max Weber di akhir abad 19 sebagai
gejala dari rasio instrumental.
Seperti
didakukan Val Dusek, teknologi sebagai cara berpikir, diperantarai dengan alur
logika rasionalisasi atas tujuan. Efektifitas dan efesiensi, dua hal yang
menjadi pokok di dalamnya, adalah faktor utama yang melandasi suatu cara
pandang yang kelak disebut cara pandang teknoratis. Cara pandang ini praktis menyingkat,
memotong, dan memperpendek suatu proses pekerjaan demi tercapainya tujuan
secara intrumental.
Seperti
yang dinyatakan Weber, sebagai tanda dari modernisasi, cara demikian juga
menandai peralihan daya kerja kognitif manusia menjadi jauh lebih praktis dan
pragmatis.
Itulah
sebabnya, melalui cara berpikir demikian, benda-benda teknologis diperlakukan
dengan cara dalil efektifitas dan efesiensi, bahkan sebaliknya seperti
pendakuan Jurgen Habermas secara intensif hukum dan logika teknologi mendudukan
rasio manusia menjadi sekadar alat teknis belaka.
Di
titik itulah ironi itu sebenarnya terjadi, selain menjadi tragedi, bukan saja
alienasi, sang manusia diambil alih oleh ciptaannya sendiri. Persis seperti
yang diceritakan dalam film itu.
Secara
apik, pendakuan Habermas juga melihat implikasi rasio yang bekerja dengan
sistem kerja teknologi (efektifitas dan efisiensi) dalam memberlakukan
ilmu-ilmu. Pendakuannya menyasar kepada bahwa ilmu-ilmu selama ini hanya alat kontrol atas alam. Dengan kata lain, kerja fungsional ilmu-ilmu selama ini
hanya demi memenuhi hasrat penundukkan dan manipulasi alam.
Alam
dengan kata lain hanyalah objek taklukan daripada ilmu tinimbang dilihat
sebagai posisi yang setara dengan manusia.
Belakangan,
makna teknologi diidentikkan dengan kemajuan di bidang informasi dan komunikasi. Melalui jaringan alat komunikasi,
manusia menjadi terhubung satu sama lain. Keterhubungan ini ditandai dengan luruhnya
batas-batas wilayah geografis. Tiba-tiba dunia hanya sebesar dan semungil
telapak tangan.
Di
satu sisi hilangnya sekat-sekat secara geografis memunculkan masalah-masalah di
bidang kultural, sosial dan politik berupa terancamnya lokalitas masyarakat
melalui globalisasi, migrasi besar-besaran akibat konflik sosial, dan pudarnya
pesona negara bangsa melalui hilangnya integritas nasionalisme .
Bukan
saja itu, majunya dunia informasi melalui basis internet, melalui screen menghilangkan
pula batas antara dunia real time (realitas ril) dan dunia maya (realitas
simulakrum).
Melalui
kemajuan teknologi komunikasi pula, teknologi mendapat dasar kedudukan yang
menyatukan beragam komponennya ke dalam satu sistem tunggal. Dilihat dari sisi
inilah, teknologi bukan lagi artefak berupa benda-benda ciptaan manusia,
melainkan secara integral sudah menjadi sistem kebudayaan manusia.
Masa
kini teknologi sebagai artefak tidak lagi sebatas instrumen peradaban untuk
memahami dan mencandrai dunia. Secara ontologis teknologi telah meluas dan
membentuk dunianya sendiri. Dengan kata lain, secara teknis fungsional
teknologi tidak saja terkait langsung pengalaman kongkrit manusia, melainkan
dirinya menjadi “tatanan” dunia baru yang berjarak dengan manusia.
Tepat
di titik itulah, sebagaimana cerita dalam film The Matrix, kita mesti
bertanya-tanya, di mana posisi manusia dalam kebudayaan teknologis saat ini:
diakah yang menjadi subjek otonom atau sebaliknya, teknologilah yang berbalik
memperalat manusia?
Eike
rasa jawabannya kita sudah sama-sama tahu: di titik itulah ironi itu sebenarnya
terjadi, selain menjadi tragedi, bukan saja alienasi, sang manusia diambil alih
oleh ciptaannya sendiri.