Yang tinggal di dalam selokan,
Yang kalah dalam pergulatan,
Yang diledek oleh impian,
Janganlah mereka ditinggalkan
(W.S. Rendra)
KOTA.
Penggalan puisi Rendra di atas mungkin adalah ungkapan yang satire sekaligus sebuah sinisme. Yang miskin, yang di dalam selokan, yang kalah, yang diledek,
adalah perantara untuk memahami kemiskinan, biar bagaimanapun adalah bagian
sebelah dari tubuh masyarakat. Orang-orang kaya, tubuh sebelah lainnya, dalam
puisi itu diingatkan Rendra: “janganlah mereka ditinggalkan.” Sampai di
sini, kita mesti mengandaikan masyarakat adalah peristiwa interaktif tinimbang
sebagai substansi satuan atomik. Itu artinya, masyarakat sebagai peristiwa
interaktif mesti melibatkan “yang lain” sebagai bagian yang setara dan mesti
ada. Bukan dibayangkan sebagai entitas atomik: satuan yang mampu berdiri
sendiri. “Janganlah mereka ditinggalkan”, juga barangkali di situ adalah
ungkapan yang menyitir masyarakat yang atomistik; suatu entitas tanpa relasi.
Hilangnya social relationship. Cara berpengalaman hidup yang kukuh
dengan semangat individualistik. Di titik ini-lah, yang satire dan yang sinis
dari syair Rendra itu. Belakangan, jaringan interaksi masyarakat tumbuh
dan berpusat kepada satu centrum: kota. Masyarakat berkembang,
sekaligus membuat kota ikut berkembang. Tapi, ditilik dari sejarah perkotaan,
seperti pendakuan Max Weber, kota tidak selamanya berarti jalinan interaksi
semata. Kota dikatakan kota karena di dalamnya terjadi interaksi ekonomi.
Dengan kata lain, dasar rasionalitas masyarakat kota hanya bisa dimengerti
ketika dia dilihat sebagai relasi yang bergerak di bidang ekonomi. Itulah
sebabnya, mengapa kota, kata Weber, disebut sebagai kawasan yang mendukung
perdagangan ketimbang pertanian. Di kota, birokratisasi yang didorong oleh
rasionalitas intrumental, mendudukkan kota sebagai tempat yang modern dibanding
kawasan lainnya. Suatu pusat yang mewadahi interaksi sosial berdasarkan relasi
ekonominya. Itulah sebabnya pula kota memiliki daya tarik tersendiri. Apa
yang modern bagi kota dengan sendirinya menarik imajinasi masyarakat untuk
dapat ikut berpartisipasi di dalamnya. Terutama jika kota dalam hal ini dilihat
sebagai pasar ketimbang lainnya. Dengan kata lain, kota tidak sekadar menjadi
pusat perekonomian yang didukung infrastruktur perindustrian, namun juga
membentuk suatu pengalaman baru yang berbeda dari pengalaman masyarakat
pedesaan. Nampaknya dari sisi itu, pengalaman baru yang hanya ditemukan di
kawasan perkotaan sekaligus juga membentuk kebiasaan-kebiasaan kultural yang
menandai berubahnya cara hidup masyarakat. Kota dengan kata lain adalah produk
kebudayaan yang lahir dari heterogenitas masyarakatnya berdasarkan hukum
transaksional. Kata Emile Durkheim, di kota, yang identik dengan modernisasi
adalah entitas kehidupan sosial yang terspesialisasi dan terdiferensiasi.
Pengalaman atas kerja di kota, adalah jenis pengalaman baru dan khas yang
membagi-bagi masyarakat berdasarkan profesinya, umurnya, pendapatannya,
kebiasaannya, tempat tinggalnya, pandangan hidupnya, dlsb., yang semua itu
–seperti umumnya— didudukkan dalam konteks perdagangan. Kota juga adalah
tubuh raksasa yang sedang berkembang. Pengalaman atas ruang kota ketika
diterjemahkan oleh pengambil kebijakan bukan semata-mata melihat melalui kaca
mata ekonomi, tapi juga mengubah ruang materialnya dengan pembangunan-pembangunan
berskala besar. Fenomena berubahnya ruang kultural yang bernilai sejarah,
misalnya, tidak memiliki dasar ekonomis yang kuat jika sebelumnya tidak
diwujudkan ke dalam “hitung-hitungan perdagangan.” Artinya, fenomena
industrialisasi yang menjadi karakteristik kota di abad milenial, berubah
fungsinya menjadi kawasan yang bernilai jual beli ketika ruang itu
“dikapitalisasi” dengan membangun gedung-gedung berdaya tarik investasi. Dengan
kata lain, kota tidak saja menyandarkan dirinya kepada sektor industri, tapi
juga di era kiwari mengubah setiap ruang yang dimilikinya menjadi sektor
perdagangan dan pariwisata. Dengan cara itu, kota akhirnya tidak saja
mengubah karakternya yang semula menjadi pusat religiusitas seperti kota-kota
yang lahir di abad-abad sebelumnya, atau pusat-pusat industri seperti di awal
abad 20, dan atau sebagai produk kebudayaan yang mengafirmasi nilai-nilai ideal
kebudayaan, namun mengubah seluruh basis material dan nonmaterial yang
dicakupnya. Saat itu kelak, kota adalah ruang geografis yang dekat tapi
juga sekaligus asing. Menjadi ruang yang berkebudayaan namun juga dekaden, dan
sekaligus menjadi kawasan maju tapi di saat bersamaan meninggalkan jejak-jejak
anomali di belakangnya. Singkatnya, kota menjadi momok berparas ganda. Dia
realitas yang kontradiktif. Nampaknya, siapa pun harus kembali menafsirkan
pengalaman hidupnya ketika bermukim di dalam kota. Ketika kota hanya dipandang
sebagai daerah yang menampung hasrat ekonomi tanpa melihat dan mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan nonmaterial masyarakatnya. Ketika ruang sosial menjadi jauh
lebih berjarak akibat pengalaman atas kerja, pengalaman atas ilmu pengetahuan,
pengalaman atas ekonomi, pengalaman atas agama, pengalaman atas politik, dan
pengalaman atas budaya, dibelah dan dipecah-pecah atas pembagian waktu dan
ruang yang justru terbagi-bagi. Di saat itu-lah seperti kata W.S Rendra di
atas: yang miskin, yang di dalam selokan, yang kalah, yang diledek, menjadi
realitas yang dekat sekaligus diacuhkan. Mereka akhirnya dipandang sebagai
sisa-sisa interaksi yang dianggap manusiawi. Masyarakat kota akhirnya
berubah menjadi satuan-satuan yang atomistik, satuan yang individualistik
sekaligus anehnya, disebut berperadaban. Malangnya, di tengah keadaan
demikian, kota-kota dalam pengalaman benak kita tidak berbeda jauh ketika
pengalaman di atas dilihat sebagai realitas yang terpisah. Bahkan kota dalam
imajinasi masyarakat perkotaan adalah realitas subjektif yang tak memberikan
peluang atas hadirnya kelompok lain; suatu dunia yang dilihat atas dasar
kepentingan kelompoknya. Karena itulah –sekali lagi— yang miskin, yang di dalam
selokan, yang kalah, yang diledek, atau yang hancur remuk hidupnya digilas
kemiskinan, menjadi orang-orang yang tersisih dan disisihkan. Sekarang
mari kita lihat, di balik gedung-gedung megah itu, di tengah-tengah hutan
beton di kota kita, adakah yang sekarang sedang berujar seperti penggalan sajak
Rendra di atas: Janganlah mereka ditinggalkan!