Taro Ada' Taro Gau'
Barangkali
eike salah menafsirkan perkataan Alwy Rachman seorang scholar budaya, yang
mengatakan membaca adalah mendengarkan. Tapi, bagi eike, melalui pengertian
itu, Alwy Rachman menghendaki setiap praktik pemaknaan dalam membaca harus juga
ikut melahirkan sang sosok yang sejajar dengan teks itu sendiri. Itulah
sebabnya, tekanannya diletakkan kepada "suara". Dengan kata lain, strategi membaca
yang diajukan Alwy Rachman, pertama-tama adalah antitesa dari praktik pemaknaan
yang selama ini bersandar kepada kematian sang pengarang. Kedua, praktik
membaca yang juga sekaligus mendengarkan, sebenarnya adalah suatu cara membaca
yang ikut melahirkan jiwa untuk menemu-kenali budi pekerti dari sang
penutur/pengarang itu sendiri. The
death of author yang digaungkan Roland Barthes memang bertujuan untuk
membebaskan praktik pemaknaan tidak saja kepada teks itu sendiri, melainkan
kepada kebebasan pembaca untuk ikut serta memberikan kemungkinan penafsiran
yang mungkin saja hadir dari suatu teks. Peralihan dari teks kepada otoritas
pembaca, dari praktik pemaknaan yang ditawarkan Barthes, tidak saja berdampak
dibebaskannya teks dari pengaruh pengarang, tapi juga kehadiran pembaca yang
signifikan memiliki kebebasan untuk memaknai setiap teks yang ditemukannya. Itu artinya, praktik pemaknaan
tidak lagi bertumpu kepada sang pengarang, namun mengalami peralihan dari sang
pengarang menuju sang pembaca. Tapi, implikasinya, strategi
membaca demikian akhirnya menempatkan sang penagarang bukan sebagai
siapa-siapa. Dia bahkan hanya satu bagian dari beragam bagian yang memungkinkan
lahirnya beragam makna. Sehingga, dengan kata lain, sang pengarang tidak punya
lagi hak apa-apa selain dari pada menuliskan gagasannya dan setelah itu secara
pemaknaan melepaskan tanggung jawabnya terhadap teks yang sudah dituliskannya. Mendengarkan suara sang sosok
pengarang dalam membaca, seperti yang didakukan Alwy Rachman, berarti sama
artinya melahirkan sang sosok pengarang di tengah-tengah praktik pemaknaan.
Sang pengarang dalam hal ini juga terlibat di dalam aktifitas menangkap makna
oleh sang pembaca. Tapi kaitannya dalam hal ini bukan sebagai penentu di dalam
menentukan benar salahnya makna yang ditemukan, melainkan sebagai pembanding
dari apa-apa yang sudah dikatakannya. Itulah kenapa, pendakuan Alwy Rachman
melibatkan budi pekerti dari sang pengarang sebagai salah satu faktor
fundamental dari praktik pemaknaan. Mendengarkan dengan begitu berari ikut
"melihat" budi pekerti sang pengarangnya. Sudahkah kata-katanya
berbunyi seperti budi pekertinya itu sendiri? Atau jangan-jangan kata-kata sang
pengarang hanya bunyi-bunyian tanpa bisa dirujuk dan dibuktikannya dalam dunia
budi pekertinya. Jangan cuman percaya kepada
kata-kata, begitu maksud lain dari apa yang dinyatakan sebagai membaca adalah
mendengarkan. Kata-kata memang membutuhkan bunyi agar maknanya terang dalam
pemahaman, seperti pula kata-kata mesti lahir dari dunia pengalaman kongkrit
sebagai rahimnya. Pemahaman di atas, dengan mudah
dapat kita lihat afirmasinya dari peribahasa Bugis, taro ada', taro gau': seiya
sekata perkataan dan perbuataan. Kata-kata hanya sebatas dengung bunyi jika
tidak memiliki pembuktian dari budi pekertinya. Kembali kepada sang sosok
pengarang, dunia teks berarti pula mencerminkan dunia budi pekertinya. Jangan
sekadar percaya kata-kata. Mendengarkan, dengan kata lain membaca, berarti
menangkap makna teks sekaligus budi pekerti sang penuturnya.