Ektopik.  Pria itu terkulai lemah. Selang kecil terpasang di hidungnya seperti ular pipih yang masuk merayap ke sarangnya. Dua pergelangan tangannya tak bergerak. Jarum infus menancap di urat venanya. Ukuran kantungnya lebih besar dari kantung infus biasanya. Wajahnya pias. Kulitnya yang cokelat legam tak bisa menyembunyikan mukanya yang pucat.

Di sekitar tubuhnya dua tiang dipasang menyangga kantung darah yang berwarna merah gelap. Sementara monitor EKG berbunyi dengan irama yang konstan. Penanda jantungnya berdetak normal. Juga pernapasannya. Walaupun begitu, sesekali pria itu menengok resah garis-garik hijau yang bergerak berubah naik turun. 

Pria itu semenjak kemarin baru saja menjalani operasi akibat lambungnya yang pecah. 

“Sebelumnya dia menolak dipasangi selang dari mulut menuju lambungnya,” ungkap istrinya yang cemas. 

Istri pria itu merujuk kepada prosedur yang biasa disebut sebagai nasogastrik tube, pemasangan selang berisi cairan bagi pasien yang mengalami muntah-muntah tak berkesudahan. Gejala yang sering kali ditemui bagi orang-orang maag akut atau lambung yang sudah boyak. 

“Setahun lalu dia sempat beradu fisik dengan keluarga sendiri akibat harta warisan. Karena itu ia dipenjara selama 12 tahun, dia membunuh kemenakannya sendiri.” Beber kakak sang pasien. 

Caranya berbicara, dengan bahasa bugis yang khas mengingatkan eike kepada kabupaten yang bersebelahan langsung dengan Bulukumba. 

“Selama setahun di penjara dia terserang maag akut,” cerita sang kakak melanjutkan. 

“Tapi, memang sebelumnya lambungnya bermasalah, barangkali selama di penjara makannya tidak teratur.” Dia berucap lagi.  

Sampai di sini eike tiba-tiba teringat istri eike yang terbaring menahan sakit pasca operasi. Dia terkulai lemah seperti baru saja menghadapi kejadian dahsyat. 

Tapi memang dia baru saja melewati peristiwa yang benar-benar kritis. Dengan kata lain peristiwa yang betul-betul tak biasa. Peristiwa yang memang di luar dugaan. Masa-masa yang sulit diucapkan.Perutnya baru saja dibelah menyerupai prosedur cesar. 

Sekarang, kadar hemoglobinnya belum normal. Itu menyebabkan parasnya putih pucat. Bibirnya tidak semerah biasanya. Matanya memejam. 

Dia hanya terbaring dipenuhi alat-alat bantu pernapasan, infus, dan sekantung darah yang tergantung di sampingnya. Dua lembar sarung menutupi tubuhnya yang dingin. 

Monitor elektro kardio grafi berbunyi menunjukkan garis-garis kritis tubuhnya. 

Di ruang ICU itu, istri eike hanya berdua dengan pria yang lambungnya sobek tadi.  

Selebihnya, berjejer deretan panjang tempat tidur kosong. Dan kesunyian. 

***

Minggu pagi eike segera mempercepat laju motor sebelum lepas subuh meninggalkan rumah. Di rumah, Lola, istri eike, sebelumnya mengabari perutnya yang sakit.    

Belakangan, disela-sela aktivitasnya dia sering kali mengeluhkan sakit di bagian perutnya. Maag, eike menduganya. 

Karena berbeda dari dua kali keguguran sebelumnya, kali ini tidak ada fleg atau darah yang mengalir dari rahimnya. Janinnya yang sudah 8 minggu, sepertinya baik-baik saja.  

Setiba di rumah, eike melihat ia mengerang kesakitan. Tangan kirinya tergeletak di atas perutnya. Matanya memejam. Kakinya ia angkat dengan dinding sebagai penahannya. 

Sepertinya dia baru saja berganti pakaian. Pagi itu dia berencana menghadiri pelatihan yang jauh-jauh hari sudah ia persiapkan. Tapi, dia belum sempat mengenakan jilbabnya. 

Eike menduga, sebelum mengenakkan jilbab sakit itu datang lagi menyerang perutnya. Kali ini disertai dadanya yang ia rasakan seperti dipukul seseorang. 

Maag. Itu gejala maag. Eike langsung teringat beberapa tahun silam ketika ia tergeletak hampir pingsan ketika masih kuliah. Kala itu maagnya kambuh sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit. Pasca kejadian itu dia dirawat  beberapa hari di rumah temannya yang jauh dari tempat kosnya.

Tak lama melihatnya terbaring memendam perih perutnya, eike keluar berkendara secepatnya membelikannya biskuit serta minuman ringan sari kacang hijau. 

Biskuit konon ampuh meredakan  penderita maag yang tiba-tiba diserang asam lambung. Kacang hijau untuk memberikan asupan gizi yang segera dibutuhkan tubuh. 

Selang beberapa saat setelah meneguk minumannya, dia ingin muntah. Kuat dugaan ini sepertinya memang maag. 

"Perutku sepertinya tambah membesar," tiba-tiba dia berucap. 

"Kan sedang mengandung," eike memberikan jawaban seadanya, agar ia tidak berpikir macam-macam. 

"Tapi, kok sakit kalau ditekan?" 

"Mungkin maagnya memang kambuh,"

"Sebelah kanan?" Istri eike menimpali dengan kalimat tanya. 

Istri eike, memang sering kali banyak bertanya tentang hal-hal baru yang sering ia temui. Termasuk gejala tubuhnya yang sering ia anggap ada perubahan. 

Pernah suatu kali, eike dibuat kagok atas pertanyaan-pertanyaan praktisnya soal agama. Maklum, eike berbeda pandangan keagamaan dengannya. Kalau sudah begitu, untuk meminimalisir kekalahan, eike hanya bilang, baiknya baca saja buku, lebih praktis. "Malas, justru tugas Kakak untuk membacanya. Nanti setelah itu baru dijelaskan kepada saya". Begitu selalu kalimat ampuhnya. 

Sepengetahuan eike, penderita maag sering mengeluhkan lambungnya yang kerap perih. Bahkan ada yang sampai sakit bukan main. Lambung berada di sebelah kiri. Sumber sakit di perut Lola berada di sebelah kanan. Eike mulai curiga. 

Kalau dalam mazhab politik, kata kanan diidentikkan dengan golongan yang pro pemerintah. Dalam politik, yang kanan itu memuakkan, konservatif dan, menjengkelkan untuk diajak melakukan perubahan. 

Walaupun  ini tubuh perut istri eike, memang kanan kali ini menjengkelkan. Ditambah lagi mengkhawatirkan. 

Tidak lama Lola, muntah kedua kalinya. Eike melihat air muntahnya berwarna cokelat menyerupai air teh. Sepertinya zat kacang hijau barusan dilemparkan keluar dari lambungnya. 

Ia mengerang.  

Tubuhnya seketika tidak bisa bergerak luwes. Perutnya mengejang.

Parasnya mengeluarkan keringat. Dan, tanpa ditanya seperti sebelumnya, tiba-tiba dia meminta untuk segera dibawa ke rumah sakit. Kali ini sakitnya tak tertahankan. 

“Sakit.”

Segera saja eike memesan grab. Mustahil bagi eike membawanya dengan motor mengingat kondisinya yang sulit bergerak. Setiap guncangan akan membuat perutnya tambah sakit. Tak lama setelah banyak yang menolak, seorang pria menerima bookingan dengan melayangkan pesan terkait alamat rumah. 

Semenjak dari keluar dari kamar, Lola nampak masih bisa menahan-nahan rasa sakitnya. Dia berusaha dengan hati-hati menghindari otot perutnya banyak bergerak yang sewaktu-waktu sakit datang menusuk-nusuk. Dari kamar kos kami di lantai dua dituruninya dengan pelan dengan kaki kanan terlebih dahulu di setiap anak tangga. 

Tak lama berselang dengan wajah yang memelas kami sudah berada di atas mobil. Mobil diarahkan segera menuju rumah sakit Haji. Tak jauh dari mukim kami. Dengan menempuh waktu selama kurang lebih dua puluh menit kami sudah tiba di IGD rumah sakit. Kami berdua segera masuk dan seorang suster menghampiri. Kami pun dibawa ke sebuah ranjang yang dipisahkan tirai-tirai plastik berwarna hijau peroz. 

Agak lama kami dibiarkan sendiri dengan suster-suster yang lalu lalang entah mengurus apa. Eike baru saja menaruh tas di sebelah tempat tidur yang kosong ketika seorang suster datang untuk meminta eike mendaftar di bagian administrasi. Selang kembali mendaftarkan istri eike, Lola baru saja dihampiri seorang suster yang mengecek kesehatan dengan beberapa pertanyaan.

Semenjak ditanyai keluhan yang diderita istri eike, keterangan belum jelas terkait sakit yang dideritanya. Berdasarkan informasi dari seorang bapak yang sedari tadi menulis-nulis beberapa kalimat di atas kertas dari IGD, maag dan usus buntu adalah penyakit yang diduga dialami Lola. Dia hanya duduk di balik mejanya sembari melihat gejala-gejala yang ditanyakannya sebelumnya. Tapi, bagaimana dengan kandungan istri eike? 

Setelah diketahui Lola sedang mengandung, tak lama kami dibawa oleh dua orang suster ke ruangan yang belakangan eike tahu tempat khusus bagi ibu-ibu yang akan bersalin. Lola ditempatkan di sebuah ruangan setelah ia sebelumnya bersusah payah memekam sakit selama perjalanan di atas kursi roda.  Sesekali ia mengeluarkan suara seperti berteriak.

Segera ia dibawa dan dibaringkan di atas tempat tidur. Tapi, tubuhnya menolak. Goyang sedikit saja perutnya merasakan sakit. Ia berusaha untuk kedua kalinya. Masih saja tidak bisa. Lalu ia mengubah gaya duduknya untuk kemudian berusaha rebahan, namun tetap saja tak bisa. Wajahnya berkeringat. Keningnya dipenuhi titik-titik air yang mulai menetes tanda ia menahan sakit yang sangat.  

Suster-suster yang melihat Lola bersusah payah memegang perutnya berusaha memeriksa tubuhnya. Sambil duduk istri eike menjawab setiap pertanyaan dengan bicara seadanya. Cara itu dilakukan agar ia bisa mengambil napas agar perutnya bisa bertahan menahan beban sakitnya. Dari belakang datang dokter muda yang eike duga bukan dokter yang sebenarnya. Dia menanyai keluhan istri eike dengan perhatian yang khas dokter muda. Tetap saja Lola bicara secukupnya. Keringatnya semakin banyak. 

Setelah dianalisis dengan cara memegang dan menekan di beberapa bagian perut,  dan Lola yang merasakan sakit di bagian tertentu, dokter muda itu menampakkan raut muka yang berubah. Mimiknya seolah menemukan sesuatu yang mengganjal. 

Sontak ruangan semakin gaduh dengan bertambahnya suster-suster yang berdatangan. Mereka sesekali bergantian datang melihat istri eike yang duduk tak bergerak bagai patung. Nampaknya ada hal yang baru yang dimiliki tubuh Lola yang mesti mereka ketahui. Seketika istri eike jadi objek.  

Sementara di luar ruangan, eike memerhatikan dokter muda tadi berkonsultasi via telepon dengan suara entah milik siapa. Setelah mendengar pembicaraannya dengan seksama, eike duga kalau yang berbicara dengannya adalah seorang dokter ahli kandungan. Nampaknya dokter muda tadi sedang melaporkan temuan-temuannya dari tubuh Lola kepada sang dokter .

Pelan-pelan eike menenangkan diri berusaha menangkap setiap gelagat perawat yang masuk melihat istri eike. Setiap mereka masuk seperti ada yang hendak mereka sembunyikan. Tapi entah apa. Eike mulai merasa was-was.

Lola yang dari tadi memegang perutnya hanya bisa pasrah mengeluhkan ulu hatinya. Entah dari mana ia tahu bahwa ulu hatinya yang sebenarnya sakit. Tapi, begitu yang ia sampaikan ketika ada perawat baru yang masuk menanyakan lagi keluhannya.

Sampai di sini waktu terus berjalan tanpa kepastian bahwa penyakit apa yang sebenarnya sedang mendera istri eike.

***

Air mukanya masih belum berubah. Masih sepucat setelah dari ruang bersalin. Matanya hanya menatap kosong menghadap ke atas. Bibirnya sudah hampir berwarna putih. Walaupun begitu kesadarannya masih tetap terjaga. Eike hanya bisa menggenggam tangannya berusaha memberikan kekuatan kepada dirinya yang terlentang di atas meja roda yang membawanya ke suatu ruangan.

Setelah menemani Lola sampai ke ruang tungggu untuk dibersihkan. Eike kembali mengingatkan dan membisikkan dekat di telinganya agar ia banyak-banyak bersalawat. Segera eike menyebutkan nama seorang perempuan suci agar ia tetap mengirimkan salawat kepadanya.

Selang beberapa meter, eike ditinggalkan sendirian setelah dia dibawa masuk menuju meja operasi.

***

Beberapa waktu sebelum itu, dalam laporan awal dari IGD disebutkan istri eike mengalami APP, istilah medis yang menyebut pecahnya usus buntu. Tapi, keterangan yang eike berikan kemungkinannya Lola menderita maag akut mengingat kejadian beberapa tahun sebelumnya.

Simpang siur masih terjadi sampai Lola akan dipindahkan kembali ke ruangan yang lain karena ia menempati bagian pemeriksaan yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan. Kemungkinan besarnya ia akan dipindahkan ke ruang bedah setelah saya mendengar bahwa kemungkinan ususnya memang pecah.

Saat ia akan dibawa kembali ke ruangan lainnya, Lola sulit berjalan. Kursi roda yang disediakan buatnya pun tak sanggup ia duduki. Ia seketika berteriak. Perutnya goyang. Suaranya membuat semua perawat merasa merana. Hingga dari ujung pintu seorang perawat yang lebih tua melihat dan merasa curiga atas raut muka istri eike yang drastis menjadi semakin pucat.

“Coba periksa kembali, ini mungkin bukan APP?”, sembari ia meraba-raba tubuh istri eike yang seketika dingin. Mukanya nampak keheranan. Sementara Mata istri eike memandang sesuatu seperti kehilangan daya. Melihat sorot matanya yang berbeda, perasaan tak enak seketika menggerayangi tubuh eike.

“Ini nampaknya karena kandungannya, coba kembalikan ke tempat tidur. Ini pasien kita!”

Eike mulai merasakan hal yang tak enak.

“Tapi keterangannya tertulis APP!”

“Coba periksa lagi, sepertinya ini di luar kandungan”

Mendengar kata yang terakhir itu pikiran eike semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan kandungannya? 

Di meja lain seorang perempuan dokter muda mengecek kembali data pasien yang diberikan dari ruang IGD. Tertulis jelas APP di kolom penyakit yang diderita. Di samping kanan kirinya dua orang perawat ikut memerhatikan kertas keterangan yang tertulis nama istri eike di salah satu kolomnya. Mereka menampakkan keheranan, antara keterangan yang tertera di atas kertas dan kemungkinan baru yang disebutkan sang perawat senior barusan.

Demi memastikan kembali keterangan yang diterakan dari IGD, sang dokter muda cepat-cepat menghubungi seorang dokter ahli. Dia mengabarkan tentang kemungkinan baru yang diinformasikan sang perawat. Pernah sebelumnya sang perawat menemukan gejala yang sama pada pasien yang dia sebut hamil di luar kandungan. Gejala yang sama ia lihat dialami Lola.

Sementara itu sahabat-sahabat istri eike datang satu persatu. Mereka adalah orang pertama yang Lola kabari via grup whatsapp sebelumnya ketika dia masuk di IGD. Mereka duduk harap-harap cemas sembari menunggu kabar terbaru dari kondisi Lola.

Tidak lama berselang, seorang perempuan berbaju training datang dan langsung masuk tanpa babibu. Nampaknya ia baru saja pulang dari acara olah raga kelompok entah di mana. Melihat kedatangannya, seorang suster mengambil mesin USG yang diambil entah dari mana. Tidak lama seluruh perawat dan sang dokter muda berdiri membentuk setengah lingkaran di belakang sang perempuan. Mata mereka tertuju ke layar USG setelah sang dokter mengecek keluhan istri eike dengan beberapa pertanyaan. Tidak lama sang dokter mengambil dan menggerakkan gagang alat pindai di perut Lola.

“Coba lihat,” Ia memberikan arahan kepada seluruh orang yang berada di belakangnya. Ia menggerak-gerakkan dari kanan ke kiri alat USG di perut Lola, seperti mencari sesuatu.   

“Ini sudah pendarahan.” Ia berkata sambil menunjukkan suatu gambar yang eike tak mengerti. Gambar di layar mengingatkan eike kepada pola-pola zat yang dibesarkan beratus-ratus kali melalui mikroskop.

“Perhatikan ini?” ia menggerakkan gagang USG. “Itu cairan darah semua”.

Semua orang di belakangnya serius memerhatikan sang dokter.

“Ini hamil di luar kandungan.”

Istri eike akhirnya positif dinyatakan mengalami kehamilan di luar kandungan.

Sekira tidak sampai satu menit ketika dokter Fatmawati memberikan “kuliah singkat” kepada perawat-perawat yang mengelilinginya, ia berkata: “Tolong siapkan ya, kita operasi sekitar satu setengah jam ke depan. Bisa ya!”.

Tiba-tiba ada yang lekas hilang tercerabut dari tubuh eike setelah mendengar langung ucapan sang dokter. Di pintu tempat eike berdiri, eike melihat seketika para perawat yang kembali lalu lalang menyiapkan berkas-berkas untuk operasi. Ya, tidak lama lagi Lola akan segera dioperasi. Sungguh di luar dugaan.

Eike segera menenangkan diri, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Dan berusaha mengingat siapa-siapa yang segera harus eike informasikan berkaitan dengan keputusan dokter yang tiba-tiba itu.

“Sebaiknya Bapak cepat-cepat menghubungi siapa saja keluarga Bapak,” ucap perawat tempat eike memberikan tanda-tangan sebagai persetujuan operasi.

Operasi tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dan itu satu-satunya jalan!

“Dan mohonkan doa,” ucap perawat menambahi.

Eike tertegun sejenak. Ada yang berubah seketika dari tubuh eike.

***

Baru saja eike meninggalkan ruangan operasi yang tertutup bagi siapa pun kecuali dokter dan perawat-perawatnya. Sahabat-sahabat dari istri eike berada di luar menunggu pada kursi yang tersedia seadanya. Sementara teman-teman dekat eike satu persatu mencari tempat rebahan juga untuk menunggu. Istri eike beberapa menit yang lalu baru saja masuk setelah tubuhnya dibersihkan. Cincin dan anting-atingnya juga dilepas. Praktis ia hanya menggunakan baju khusus bagi orang-orang yang akan menjalani operasi.

Pintu ruang operasi sudah ditutup rapat. Terakhir sebelum meninggalkan, dokter Fatmawati berpesan agar eike memanjatkan doa. Dia juga mengatakan operasi tidak akan lama dari satu jam. Dia pun akhirnya masuk. Sepenuhnya istri eike, eike pasrahkan kepada Sang Maha Penentu.

Sekarang istri eike sedang bertarung. Eike sendiri, berusaha menguat-kuatkan diri, menuju mushola untuk bersujud seikhlas-ikhlasnya.