"Adalah kata-kata
yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk
dan keluar dari diri kita.
Adalah kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyeberang ke tempat
lain
Ketika kita diam, kita akan tetap sendirian.
Berbicara, kita mengobati rasa sakit.
Berbicara kita membangun persahabatan dengan yang lain.
Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam.
Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita…
Inilah senjata kita saudara-saudaraku."
(Subcomandante Marcos, 12 Oktober 1965)
Eike kira, intelektualisme adalah kata yang hari ini harus terus
diperjuangkan. Jika kata adalah senjata, seperti yang dinyatakan Subcomandante
Marcos, si pejuang nasional dari Mexico, intelektualisme-lah salah satu
senjatanya. Memang agak paradoks, kata sebagai wujud logos disepadankan
dengan senjata, alat yang kerap dipakai untuk melukai, atau bahkan membunuh.
Tapi, apa boleh buat, yang didakukan Marcos agaknya ada benarnya, walaupun
dalam sejarah intelektualisme, di mana-mana tradisi pemikiran seringkali
berhadap-hadapan dengan penggunaan senjata sebagai terornya. Kata-kata
adalah sesuatu yang masuk dan keluar dari diri kita. Ikut membentuk pemahaman
kita terhadap dunia. Kata-kata menjadi jembatan ke tempat lain kata Marcos,
ibarat sebuah buku yang menjadi jendela dunia. Bahkan, kata-kata, berbicara
untuk memperbarui dunia kita, diri kita. Marcos boleh saja percaya kepada
kekuatan kata-kata, sebagai suatu senjata, bahkan. Tapi bagi Platon, filsuf
Yunani antik yang dikenal keras kepala itu berkeyakinan sebaliknya. Kata-kata
hanya selubung, bahkan bayang-bayang. Dia tidak mewakili kenyataan, dan tidak
mampu menggambarkan kenyataan. Itulah sebabnya, Platon menganjurkan
berhati-hati dari kata-kata. Kata-kata bisa menipu. Dia gua yang memerangkap
pengetahuan. Gegar kebudayaan hari ini seperti fenomena yang dinyatakan
seorang sosiolog Amerika, Anthony Giddens: masyarakat sedang berlari tunggang
langgang, merupakan masyarakat gegar kata-kata. Narasi kebudayaan hanyalah
bunyi-bunyi bahasa tanpa makna, tanpa gagasan. Juggernaut adalah istilah
yang dipilih Giddens untuk mengilustrasikan bagaimana kebudayaan masyarakat
bergerak melesat tanpa kontrol. Bahasa sebagai matra kebudayaan, ibarat hewan
buas yang berlari tanpa sepenuhnya bisa dikendalikan. Bahasa
hanyalah lorong kosong tanpa suatu arah pengertian. Kata-kata akhirnya
ibarat jazad bahasa tanpa reaksi. Tergeletak begitus saja tanpa berarti
apa-apa. Narasi, lapis dunia simbolik yang memberikan asupan bagi sang manusia,
seperti yang didakukan Platon, tidak membuktikan apa-apa. Di titik itulah
narasi tidak tampak sebagai senjata. Dia hanyalah desakan tanpa daya. Peluru
tanpa efek. Selongsong kosong yang hampa pengertian. Reflektifitas,
kemampuan itulah yang belakangan kehilangan kedudukan dalam masyarakat a la
juggernaut Giddens. Masyarakat dikepung kata-kata banal,
simbol-simbol, kode-kode yang dekaden membuat setiap orang kehilangan ruang
permenungan. Reflektifitas, digantikan oleh -meminjam bahasa Jean Baudrillard-
simulakrum: dunia imajinatif yang tidak otentik. Itulah sebabnya, mengapa
kita mesti memperjuangkan apa arti intelek itu sebenarnya. Atau, bagaimana
menjadi bagian dari kehidupan yang berbau intelektual. Reflektifitas
dengan kata lain, setidaknya adalah kemampuan daya intelek manusia mengambil
jarak pengetahuan, untuk menimbang-nimbang, menakar kembali atas segala apa
yang telah dicapainya. Itu artinya, usaha mendudukkan intelektualisme
dalam konteks ini, sama artinya dengan membuka ruang reflektif agar terjadi
keadaan pemahaman yang sarat bobot dan bernas. Kadang memang, dari titik
itu semuanya mesti mengambil suatu langkah berpulang, melihat kembali dari
balik punggung kemajuan, tentang segala hal yang dilakukan secara
otentik. Setidaknya, di masa sekarang, daya intelek bukan saja berarti
bekerjanya fungsi kritis manusia, atau kemampuan khas manusia dalam
maksimalisasi peran logos, melainkan menjadi instrumen pembebasan martabat
manusia. Namun, untuk tidak menjadi logos yang sekadar instrumentalistik,
daya intelek mesti bersih dari kepentingan-kepentingan ideologis. Logos pada
akhirnya tidak sebagai ekspresi yang hanya menggambarkan tujuan jangka pendek,
melainkan juga tujuan jangka panjang. Kehidupan pasca kebenaran seperti
yang ditandai dari kacaunya dasar-dasar pemikiran dan betapa longarnya bahasa
dalam merujuk kepada suatu pemahaman, membuat relasi pemaknaan terhadap
kebenaran terhambat akibat-akibat sentimen-sentimen sempit. Di saat itulah daya
intelek manusia harus dimaksimalisasi sampai batas
terjauhnya. Intelektualisme dengan begitu tidak saja sepadan dengan logos,
tapi juga sebagai dasar pengetahuan yang menjadi kebiasaan etis, atau bahkan
politis, karena tanpa itu, belakangan kata-kata hanya menjadi kulit bawang,
seperti yang didakukan Platon, tidak ada inti di dalamnya. Makanya,
kata-kata tidak mudah untuk dipercaya. Dia bisa menjadi gua yang memerangkap
pemahaman, atau sebaliknya, seperti kata Marcos, “kita menggunakan
kata-kata untuk memperbaharui diri kita.” Eike kira dalam kalimat terakhir
itulah, mengapa intelektualisme mesti diperjuangkan.