Tinimbang menulis, membaca
merupakan pekerjaan purba. Umurnya hampir setua manusia. Tiada perlu tulisan
jika hanya untuk memaknai sesuatu. Peristiwa alam dengan tanda angin, perubahan
suhu, bunyi kicauan burung, pasang surut air laut, konstelasi bintang dlsb., ialah
isyarat alamiah memulai ikhtiar pemaknaan.
Membaca tanpa disadari ialah
aktivitas di luar kesadaran manusia. Seperti bernapas belaka. Membaca tiada
perlu kontrol kesadaran bekerja. Dengan kata lain, membaca merupakan gejala otomatis
benak manusia. Mau tidak mau, manusia pasti melakukannya.
Sementara tulisan membutuhkan suatu
kecakapan. Suatu kesadaran. Berbeda dengan membaca yang dekat daripada alam
bawah sadar manusia, menulis mesti dikontrol, dilatih, dan dibiasakan. Di bawah
kesadaran manusia, menulis bisa disebut pekerjaan yang diteknologisasi.
Syahdan, membaca ialah peristiwa
yang diarahkan tanpa sadar. Dilakukan dengan cara bebas, otomatis, dan polos
belaka. Sementara menulis adalah aktivitas yang diatur sistem sadar manusia,
terarah, terkontrol, dan bertujuan.
Membaca membuat manusia lebih
intens mencerap apa-apa yang datang daripadanya, masuk melalui internalisasi.
Di hadapan saf-saf teks, membaca sepenuhnya pasrah seperti yang apa sudah
dituliskan. Diarahkan dan dituntun oleh teks, dan kemudian tujuan akhir
daripadanya ialah memaknai, bukan sebaliknya.
Sementara menulis jauh lebih teknis. Menulis selalu membutuhkan
pikiran. Kesadaranlah yang mengarahkan teks. Teks sudah selalu dikontrol dan
ditata. Dan tujuan akhir daripada menulis bukan pemahaman, melainkan ilmu itu
sendiri.
Di zaman sekarang, membaca menjadi
lebih krusial akibat berjuta-juta informasi datang silih berganti. Proggresnya kemajuan
teknologi informasi mendorong aktifitas membaca bukan lagi sekadar pekerjaan
alamiah dan sederhana, melainkan membutuhkan perangkat logis untuk menemukan
kebenaran dari segala jenis informasi yang beredar pesat.
Artinya, sebagaimana menulis,
membaca juga akhirnya harus dikontrol oleh kesadaran. Membaca juga membutuhkan
keteraturan dan keterarahan. Dengan kata lain, membaca bukan lagi aktifitas
yang bebas dan otomatis. Membaca sudah harus melibatkan kesadaran yang jauh lebih
mawas.
Hal ini perlu dilakukan karena
tidak semua informasi yang diterima patut dipercayai. Jika suatu informasi
mesti dipercayai, maka disitu mesti ada indikator yang mesti dipakai. Artinya,
untuk suatu informasi, dibutuhkan prinsip-prinsip berpikir logis hanya untuk
menyatakannya sebagai informasi yang benar.
Kadang, membaca menjadi tindakan
yang pilih-pilih. Sebelum seseorang membaca buku misalnya, dia punya kehendak
dan pertimbangan sendiri mengapa harus membaca buku bersangkutan, mengapa bukan
buku lain? Itu artinya, di balik tindakan membaca, seseorang sudah lebih dulu
memiliki kewenangan dalam menentukan bacaannya.
Artinya, jauh lebih utama dan fundamental
kesadaran di balik aktifitas membaca oleh karena sebelumnya tindakan
berkesadaran itulah yang bakal mempengaruhi konten apa saja yang akan kita
terima dari membaca suatu teks.
Namun akan menjadi lain jika dalam
tindakan membaca, seseorang tidak melalui momen berkesadaran dalam menentukan
teks-teks yang dipilihnya. Akibat ketiadaan “momen kritis” dalam menentukan
selera bacaannya, maka seseorang akan dengan mudah digiring oleh apa yang tidak
ia pahami dari teks yang dihadapinya.
Kasus merebaknya hoax dan informasi
berbau radikalisme merupakan salah satu contoh minus kesadaran masyarakat dalam
menjadikannya filter sebelum berhadapan dengan teks. Pasifnya masyarakat ketika
menggunakan pemahaman kritisnya inilah sehingga hoax begitu gampang dipercayai
dan diyakini. Malangnya, pasca itu, apa yang diyakininya dari informasi hoax
dituliskan tanpa memahami dampak sosial yang akan ditimbulkannya.
Hatta, di era kemajuan informasi,
saat seluruh informasi gampang digenggam dan berpindah tangan, pemahaman dan
kehendak sadar dalam memilih teks yang bernilai akan sangat berpengaruh dalam
mengubah kebiasan membaca dan berbagi informasi yang saat ini menjadi “tindakan
tanpa sadar” masyarakat saat menggunakan kemajuan media informasi.