Sekali Lagi, Filsafat itu Bercakap-Cakap, Bung!

Kemiskinan sejatinya bukanlah sehari tanpa makanan, melainkan sehari tanpa berpikir. Dr. Ali Syariati

Percuma saja mempelajari filsafat jika masih mengandaikan tindakan subjektif sebagai satu-satu kemungkinan perubahan. Di mana-mana filsafat tidak dimulai di dalam kamar kosong. Bukan dimengerti dengan cara memaksa diri ke dalam kubangan kesendirian. Mirip petapa yang terasing dan mengasingkan diri.

Filsafat lahir dan hidup dengan cara melibatkan dua atau lebih subjek. filsafat itu kata kuncinya bercakap-cakap, berdialog. Itulah kenapa filsafat bermakna  sahabat, kekasih (philos), yang berarti kita harus mencari sahabat untuk berbincang-bincang. Dengan begitu lahir cinta (philia) dan dengan sendirinya akan saling mencintai (philein).

Bukankah percakapan yang didasari rasa cinta di antara dua sahabat dengan sendirinya menimbulkan kebijaksanaan (sophia). Dengan kata lain, itu berarti kebijaksanaan hanya mungkin terjadi jika ada saling pengertian di antara dua orang yang berbeda. Saling menghargai di antara pendapat-pendapat yang berlainan. Ya, kebijaksanaan hanya akan ada jika ada perbedaan-perbedaan di antara dua orang. Jika tidak, otoriter namanya jika kebijaksanaan datang dari keseragamaan. Tidak ada maknanya kebijaksanaan jika di dasarkan atas dasar keterpaksaan.

Dari itu semua, filsafat itu sudah dari sananya berwatak sosial. Philos yang mengandaikan percakapan di antara dua orang, dan sophia yang mengandaikan kebijaksanaan menghadapi perbedaan dengan sendirinya adalah ajaran moral, yaitu suatu anjuran untuk hidup secara serempak dan gotong royong.

Maka dari itu barang siapa mempelajari filsafat, tiada dirinya selain menjadi orang yang inklusif terhadap keragaman. Bukan menjadi orang yang hidup layaknya katak dalam tempurung. Hidupnya serba terbuka dan ringan menghadapi segala macam kemungkinan-kemungkinan.

Mempelajari filsafat, berarti menghindarkan diri menjadi seorang yang individualis. Mempelajari filsafat berarti mau bekerja sama dengan siapapun sebagai bagian dari jiwa inklusifnya. Mau menerima pendapat dari luar. Mau membuka diri dan memperbaiki diri menjadi jauh lebih baik.

Kebenaran merupakan satu-satunya harapan dan tujuan dari mempelajari filsafat. Bahkan kebenaran adalah hasrat filsafat. Gairah yang senantiasa haus atas sesuatu. Tapi, kebenaran dalam filsafat bukan kebenaran yang lahir dari kesendirian. Kebenaran dalam filsafat diperjuangkan bersama-sama seperti wataknya yang sosial itu.

Itu artinya kebenaran dalam filsafat selalu hadir dari cara percakapan yang terbuka melalui semangat kebersamaan. Tidak ada kebenaran filsafat yang lahir dari ruang sunyi dan gelap. Sampai kapanpun kebenaran dalam filsafat selalu berwajah ceria dan terang.

Jadi, tanggalkan cara mempelajari filsafat dengan hanya mengandalkan akal pikiran pribadi. Sampai-sampai tidak ingin melibatkan diri dari percakapan. Itu terjadi akibat cara berfilsafat yang mengartikan kebenaran sebagai sesuatu yang lahir dari refleksi pribadi. Itu akan membuatmu menjadi seorang individu yang senang menyendiri dan individualis. Filsafat, sekali lagi harus berdua-duaan. Berdialog.

Sekarang, keluarlah dari kamar kesendirianmu. Cari sahabatmu, teman yang bisa kau panggil bercakap-cakap. Berdua membincangkan segalanya, sembari menahan diri untuk menghargai perbedaan di antara kalian. Berdialoglah, dalam keceriaan menyamput fajar kebenaran.
Sekali lagi, atas itu semua filsafat bukan tindakan subjektif. Bukan berpikir ke dalam diri. Filsafat itu berpikir ke luar, bekerja sama. Bercakap-cakap.