Pramoedya Membakar Sampah




“Perang, kekuasaan, kekayaan, seperti unggun api dalam kegelapan dan orang berterbangan untuk mati tumpas di dalamnya.”

“Sejarah saya sejarah perampasan.”

--Pramoedya Ananta Toer

Sampai masa tuanya, Pramoedya Ananta Toer masih meneruskan kebiasaan membakar sampah di pagi dan sore hari. Bahkan kebiasaan ini sudah dilakoninya semenjak ia kecil. Sudah semenjak jaman pendudukan Jepang.

Di rumahnya di Bojonggede, kebiasaan itu dilakukannya dengan bebas. Maklum, di rumah sebelumnya, di Utan Kayu, Pram kurang leluasa melakukannya akibat khawatir mengganggu tetangga.

Di Utan Kayu, sering kali warga setempat melihatnya berjongkok sambil menatap berlama-lama api yang membakar habis sampah.

“Sebagai tetangga, kebiasaan dia itu selalu membakar sampah dengan bertelanjang dada, dan merokok. Sampah siapa saja selalu dikumpulkan, lalu dibakar. Itu yang saya ingat betul”, ungkap Erry Ryana Hardjapamekas, tetangga Pram saat di Utan Kayu.

Potret Pram ketika sedang membakar sampah pernah saya lihat di majalah dewasa Playboy Indonesia. Potret itu menampilkan tubuh Pram yang kurus dibalut kaus oblong berwarna putih polos. Rambutnya memutih dengan kaca mata yang bertengger di atas hidungnya. Tangan kanannya mengapit sebatang rokok. Kala itu dia berjongkok menggunakan sarung bermotif kotak-kotak.

Kebiasaan Pram ini sebetulnya adalah rutinitas yang dimulainya sejak pagi belum merekah. Sejak pukul dua dini hari Pram bangun. Membaca koran dan memilih-milih berita yang menurutnya layak disimpan. Kliping memang pekerjaan di hampir seumur hidup Pram semenjak bekerja di kantor Domei. Bahkan dari kebiasaannya itu ia memiliki rencana membuat ensiklopedia Indonesia. Pekerjaan yang akhirnya tidak pernah rampung sampai akhir hayatnya.

Sebelumnya, di waktu yang hampir bersamaan, Pram membuat catatan dari koran yang dibacanya. Dengan menggunakan mesin tik, rutinitas itu dilakukannya hingga pagi. Pukul tujuh kemudian ia beristirahat, setelah membaca koran pagi.

Membakar sampah bagi Pram mungkin memang peristiwa yang subtil. Bahkan sublim. Di situ apapun yang dijilati api bakal menguap menjadi asap. Menghilang mengapung di udara. Persis perwatakan dunia yang menggambarkan suatu proses perubahan.

“Untuk meluapkan emosi. Apalagi dia bakar sampah sampai habis tak bersisa. Itu kepuasaan buat dia,” kata Astuti Ananta Toer, putri keempat Pram.

Keakraban dengan api tidak secara kebetulan dekat dengan hidup Pram. Orde baru banyak membakar buku-bukunya. Dan  jika bukunya lolos dari pantauan pemerintah, orang-orang mesti sembunyi-sembunyi membacanya.

Dua bagian Panggil Aku Kartini, dan dua bagian Gadis Pantai adalah beberapa contoh dari karya Pram yang dihanguskan api orde baru.

Dalam hal ini, bagi Pram, api bisa memiliki arti yang jauh lebih kompleks. Ketika naskah-naskahnya dibakar, itu berarti sama halnya melarangnya menggunakan pikiran-pikirannya. Api secara harfiah memiliki daya untuk membuat beda antara terang dengan gelap, tapi justru nyala pijarnya secara kontradiktif membakar habis tanpa sisa segala apa yang disentuhnya.

Nasib Pram ibarat suatu ironi ketika di satu sisi api kekuasaan melumat dirinya, sekaligus di sisi lain mengangkat namanya menjadi pokok dalam benak setiap pembacanya.

Atau sebaliknya, hasil yang malah diraihnya hingga akhir hidupnya ibarat olok-olok bagi buah tangan dan pijar api pikirannya. Karya-karyanya dipuja di luar bangsanya sendiri, tapi tidak sebaliknya. 

Itulah barangkali peristiwa membakar sampah, di masa tua Pram menjadi semacam adegan yang dramatis. Berlama-lama di hadapan lidah api, menatap terang sekaligus menghayati benda-benda yang hilang di dalamnya.

Suatu permenungankah itu? Yakni suatu sikap puncak dari pengalaman hidup yang getir di hadapan nasib yang penuh ironi? Atau mungkin suatu suwung?

Yang pasti seperti yang ia katakan, sudah tak ada lagi hal apapun yang diinginkannya. Tidak ada apa-apa. Sejarah saya sejarah perampasan, katanya ketika di wawancara Playboy.

Begitu juga dendam. Atas perlakuan kekuasaan orde baru terhadapnya, dia hanya mengatakan ibarat latihan olahraga. Mungkin seperti permainan. Kalah ya kalah, menang ya menang. Yang utama apa yang ditemukan dari permainan, tubuh dan jiwa menjadi lebih kokoh. Dendam hanya merusak keduanya

Karena itu untuk apa memelihara dendam. Memelihara api dalam benak, apalagi dalam jiwa.

Api jika berarti bagi Pram mungkin dapat disebut sebagai suatu alat untuk melangkah ke alam baka. Sesuatu yang diartikan secara eskatologis. Seperti sampah, tubuhnya akan hilang ditelan di dalamnya.

Seperti pengakuan sahabatnya yang juga penerjemah Das Capital, Oey Hay Djoen, mengatakan, Pram sempat berpesan kelak ketika ia mangkat, jasadnya minta dibakar dan abunya ditebarkan ke penjuru bumi persada.

Namun seperti yang telah terjadi, jasadnya dikuburkan  di TPU Karet Bivak dengan diiringi banyak orang, terutama kaum muda, yang saat itu melepasnya dengan lagu perjuangan mahasiswa Darah Juang.