Semenjak duo Soekarno-Hatta
mendeklamasikan proklamasi, hakikatnya, republik Indonesia kala itu tidak hanya
menyatakan diri sebagai ruang geografis yang merdeka dari segala jenis
penjajahan, melainkan ruang publik kolektif yang bebas dari tirani manapun. Dalam
terma Habermas, seorang filsuf-sosiolog Jerman,
Indonesia sebagai ruang publik juga dapat disebut sebagai ruang bersama tanpa
sekat pembedaan dan kelas-kelas di dalamnya. Pasca proklamasi, di atas tanah
pertiwi, semua orang berdiri sama tinggi, duduk sama rata.
Apabila ditinjau dari pohon
keilmuan, bentuk negara republik Indonesia berakar panjang dari pemikiran
Aristoteles mengenai hunian negara-kota yang ditinggali individu-individu
sadar-diri. Konsep individu sadar-diri dalam imajinasi Aristotelian adalah warga
kota yang mampu memilah pembelahan antara ruang privat (res privata) dan ruang publik (res
publika) dengan perangkat logos sebagai hukumnya. Warga negara dalam negara-kota
adalah individu yang insaf mengenai etika publik dan posisinya dalam ruang
besama yang disebut negara.
Logos
atau kemampuan rasional manusia yang dikemukakan Aristoteles, pokok penting
dalam negara (res publika). Perangkat
ini, sebagai perwujudan logos adalah kualifikasi manusia yang membedakannya dari binatang melalui bahasa. Binatang hanya mampu berbunyi (phone), tapi tidak dengan manusia yang melibatkan bunyi bermakna
atau bahasa sebagai alat komunikasinya. Itulah mengapa bahasa melalui terang logos, ihwal penting dalam hidup
bersama/bernegara.
Hubungan individu, logos, dan
negara yang diperantarai bahasa, bisa berarti melalui cermin bahasa, dapat
diukur sejauh mana negara itu menjadi ruang publik yang bebas dan merdeka dari
jenis penjajahan. Dengan kata lain, sejauh bahasa adalah cermin logos warga
negara diucapkan dan dikomunikasikan dengan baik, maka sejauh itu pula
ruang publik bernegara dapat disebut bersih dari sampah penindasan.
Kasus Saracen yang muncul
belakangan ini adalah contoh mutakhir bagaimana ruang publik menjadi arena yang
dirusak dan boyak oleh bahasa bermuatan SARA dan hoax. Itu akibat bercampurnya kepentingan res privata (politik kepentingan) dengan res publika (negara) yang berdampak serius bagi keberlangsungan
hidup bernegara. Bahasa SARA dan hoax yang
tidak mengindahkan etika publik berupa menjaga tata tertib umum dan toleransi
yang dijunjung bersama.
Merebaknya gerakan radikalisme keagamaan
dengan memanfaatkan bahasa kekerasan, adalah contoh lain ketika kemampuan
rasional tidak diindahkan sebagai prinsip dalam membangun dialog komunikatif antara
latar belakang suku dan agama yang jamak menjadi takdir kebangsaan Indonesia.
Kuatnya sentimentalisme naif berupa ego kesukuaan, keunggulan ras, dan
kemurnian sebagai satu-satunya kelompok yang paling benar, mengindikasikan
tidak dihargainya ruang publik sebagai medan pertemuan antara warga negara yang
terbentuk berdasarkan keanekaragaman suku bangsa dan agama.
Ruang publik yang sebenarnya
berprinsip berkeadilan, keterbukaan, dan demokratis adalah wadah kehidupan
bersama yang semestinya dirawat berdasarkan cara berbahasa yang elegan dan
dialogis. Ruang publik yang diterjemahkan dari konsep republik itu sendiri
dalam konteks keindonesiaan sudah terang dimaknai dari slogan bhineka tunggal ika dengan maksud
membangun hidup bernegara dengan satu tujuan tanpa ada perbedaan dan saling
mengucilkan.
Hidup dalam ruang publik melalui
konteks negara republik, selain mengedepankan keadilan, keterbukaan, dan
demokratis, juga senantiasa memandang setiap individu memiliki derajat dan
posisi yang sama di hadapan negara. Setiap individu mesti diakui hak-haknya
dalam bernegara, dan sekaligus harus mampu menjalankan kewajibannya berdasarkan
konstitusi kenegaraan. Dengan kata lain, prinsip persamaan di ruang publik
harus dijunjung tanpa memandang individu berdasarkan logika sempit kesukuan,
melainkan individu sebagai bagian dari warga negara.
Negara yang atau menyediakan ruang
publik, dengan begitu harus menjadi wadah yang mendorong terealisasinya tujuan
bernegara. Menurut pendakuan Aristoteles, tujuan warga negara dalam hidup
bernegara tiada lain adalah demi mencapai kebahagiaan tertinggi. Dalam
terjemahan negara modern, kebahagian itu berarti dicapainya hidup antara warga
yang saling mengakui perbedaan dan eksistensi masing-masing individu dan
kelompok.
Kiwari, jika melihat alam kenyataan
Indonesia, ruang publik masih sering kali dikacaukan dengan kepentingan
pribadi, kepentingan kelompok, dan kepentingan golongan dibanding kepentingan
bersama. Bahkan di antara masih saling berselisih melalui bahasa yang
merendahkan, mengucilkan, dan mendangkalkan. Dengan kata lain, adalah tugas
bersama merawat ruang publik dari kecenderungan yang berakibat kepada
“mengerasnya” kepentingan pribadi tinimbang bernegara.
Syahdan, ruang publik hanya mampu
dipertahankan melalui individu yang secara etik menginsafi situasi dirinya
sebagai warga negara, yang mengedepankan etika kewargaan dengan maksud menjaga
dan melestarikan kehidupan bersama. Melalui tindak berbahasa yang dialogis komunikatif,
rasional, dan sadar hukum tanpa ada pembedaan kasta dari keragaman latar
belakang budaya, sosial, dan keagamaan. Dengan begitu merawat ruang publik agar
steril dari bahasa bermuatan SARA dan hoax,
sama berartinya merawat Indonesia.
---
Terbit sebelumnya di Harian Radar Makassar, Rabu 30 Agustus 2017
---
Terbit sebelumnya di Harian Radar Makassar, Rabu 30 Agustus 2017