Membaca karangan fiksi sudah pasti
akan mendorong pembacanya merasakan betapa kejadian-kejadian yang
dibacanya bukan seratus persen dari kenyataan yang sedang dan sudah terjadi.
Dengan kata lain, apa yang ditemuinya hanyalah hasil akal-akalan sang
sastrawan. Bermain-main dengan imajinasi: itulah makna sastranya. Namun apa
jadinya jika ada laporan berupa karya nonfiksi yang mengandung unsur-unsur
sastra? Dengan kata lain suatu hasil dari kerja jurnalisme? Itulah sebabnya,
ketika membaca Kisah-Kisah Penculikan
(News of a Kidnapping) karya Gabo –nama panggilan Gabriel Garcia Marquez-
seolah-olah membaca karangan sastra. Padahal, karya ini merupkan karya
jurnalisme Marquez yang dikerjakannya selama tiga tahun bersama dua asisten
yang membantunya –Luzangela Artega seorang jurnalis yang membantunya dalam
melacak fakta-fakta sulit yang detail, dan Margarita Marquez Caballero, sepupu
dan sekertaris pribadinya ketika mengelola transkip dan memverifikasi
bahan-bahan kasar rumit, yang dikatakan Marquez bakal menegelamkan mereka. Saya
berkeyakinan karena latar belakangnya juga sebagai seorang sastrawan (di masa
hidupnya Gabo juga seorang reporter), sehingga membaca karya tangannya ini
seperti didorong dengan motivasi yang sama ketika membaca karangan fiksinya. Saya
seakan-akan terbenam dalam alur penceritaan jurnalistiknya yang seolah-olah
hasil rekaan imajinasinya. Dengan dorongan inilah sehingga saya dapat
menghabiskan seluruh laporan Marquez yang diterjemahkan dan diterbitkan penerbit
Circa di tahun 2016 kemarin –News of a
Kidnapping sendiri pertama kali terbit di tahun 1996 dan setahun kemudian
dengan versi Inggrisnya. Kisah-Kisah
Penculikan –disebutkan Marquez adalah karyanya “yang paling sedih dan sulit
dalam hidupnya”—adalah cerita 10 warga
Kolombia yang diculik oleh kartel Madellin (pimpinan Pablo Escobar, seorang
gembong narkoba di era 80 dan 90-an) yang di antaranya delapan jurnalis dan tiga
lainnya merupakan tokoh politik, salah satu di antaranya merupakan anak
presiden. Dengan tujuan politis, Pablo Escobar sebagai dalang utama dari
penculikan ini menginginkan suatu cara agar Kolombia tidak meneken perjanjian
ekstradisi dengan Amerika Serikat. Kisah yang dituliskan dengan akses terhadap
tokoh-tokoh penting yang jarang dipunyai seorang reporter sekaliber Marquez,
dibangun dengan pendekatan yang hampir sama dengan teknik metafora,
penyingkapan karakter, dan penggunaan teknik penceritaan seperti dalam karya
fiksinya, dan semua itu tidak ditemukan dengan sekali dua kali pengalaman
reportase. Buku ini juga mengetengahkan dengan gamblang bagaimana keadaan
politik yang dialami warga Kolombia tidak semata-mata dunia yang terpisah dan
bahkan mendapatkan tegangan dan intervensi yang intensif dari kelompok-kelompok
penyelundup obat bius. Apalagi dengan kehadiran Pablo Escobar, musuh nomor satu
Kolombia saat itu, membikin keputusan-kepustusan politik mau tidak mau harus
ikut memperhitungkan keberdaan orang-orang semacam Escobar. Khususnya Medellin,
tempat yang dinyatakan sebagai kawasan paling berbahaya di Kolombia, bahkan
dunia, yakni akibat betapa banyaknya kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di
sana, dan dengan nama Escobar yang “harum” akibat kedekatannya dengan
masyarakat tingkat bawah, membuat pihak pemerintah dalam mengambil jalan ketika
hendak memutuskan menyelamatkan para sandera menimbulkan perhitungan yang
mendalam. Di balik kisah semacam itulah Marquez menggambarkan bukan saja
peristiwa ketika para sandera mengalami penculikan, tapi juga saat-saat ketika
ia menerangkan betapa rumitnya kecemasan, kesabaran, kepusingan, kehati-hatian,
dan waktu yang dilalui pihak pemerintah –terutama presiden dengan timnya—saat
menentukan langkah-langkah antisipasi yang mesti diambil di tengah-tengah
konstelasi politik yang terjadi. Kehebatan Marquez juga nampak ketika dia
memiliki “keleluasan” dalam menggambarkan pihak penculik di saat menjalankan
tugas mereka ketika menjaga sandera selama berbulan-bulan. Dan, tentu bagaimana
dia menuliskan betapa peliknya perasaan manusiawi yang dialami penjaga para
sandera di tengah-tengah tugas berat mereka. Terutama terhadap pihak-pihak yang
disebutnya protagonis, kisah yang ditulisnya ini dikerjakannya bersamaan dengan
perasaannya yang disebutnya frustasi akibat “tahu bahwa tak satupun dari mereka
yang akan menemukan tempat di koran lebih dari sekadar cerminan pudar tentang
horor yang harus mereka tanggung dalam kehidupan nyata”. Dari semua itu
rangkaian wawancara yang dilakukannya merupakan “pengalaman manusiawi yang
memilukan hati dan tak terlupakan”. Pelajaran yang paling berharga dari
jurnalisme Gabo ini adalah menyadari betapa di saat membaca hasil kerjanya yang
luar biasa ini, saya masih bisa menangkap hampir secara utuh kejadian yang
sudah lampau terjadi melalui narasi yang dibangunnya. Ikut tenggelam dalam
suasana psikologis para korban, dan melihat sisi manusiawi yang lain dari
seorang penjahat sekaliber Pablo Escobar dan gerombolan kartelnya.
---
*sebagian kutipan yang ada dalam tulisan ini diambil dari tulisan Marquez yang menjadi pendahuluan dari bukunya yang diterjemahkan dan diterbitkan penerbit Circa