Bila mereka berkata
Siapa yang peduli bila satu dari
banyak cahaya redup?
Di langit sejuta bintang
Berkedip, berkedip
Siapa yang peduli kapan waktu
seseorang habis?
Bila sesaat itulah kita
Kita lebih cepat, lebih cepat
Sipa yang peduli bila satu dari
banyak cahaya redup?*
Dia mati. Kamis, 20 Juli lalu.
Tewas di rumah pribadinya, di Palos Verdes Estates Los Angeles. Tak lama
setelah itu beritanya viral. Banyak penggemarnya dibuat mendung matanya. Siapa
menduga dia mati dengan cara yang tragis: gantung diri.
Kabarnya dia tertekan. Ingatan
kelam masa kecilnya menyeruak dalam benak. Tumbuh dan berkembang biak bagai
kanker. Trauma itu disebutnya begitu menjijikkan. Banyak laporan menyebut ia
depresi. Barangkali ia kalah, atau lelah, karena itu ia bunuh diri. Namun,
siapa yang tahu pasti?
Yang pasti Chester Bennington,
vokalis Linkin Park itu, satu dari banyak orang yang mati bunuh diri di tengah
keadaan mayarakat yang dikepung ketidakacuhan.
Tapi, depresi memang soal kejiwaan.
Soal individual. Hanya saja, tidak ada soal sekarang yang bisa dicabut dari
konteks sosialnya. Kalau begitu, bagaimana depresi itu bisa terjadi dan
kemudian langgeng, tidak semata-mata soal pribadi. Mengingat bentuk kehidupan
mutakhir, depresi tidak bisa tidak dicabut dari konteks sehari-hari era kiwari.
Itu artinya, depresi, seperti juga
bunuh diri, adalah konsekuensi kehidupan sosial yang diancam sepi dan boyak.
Banyak sebab seseorang atau
masyarakat mengalami depresi. Mutakhir, media sosial semakin totaliter jadi
sebab asal muasal depresi. Juga sebelumnya adalah kekosongan di antara
meregangnya relasi sosial yang disebabkan individualisme dan syakwasangka. Situasi kultural yang
mengakibatkan kekeroposan pemaknaan atas jati diri, juga merupakan biang keladi
terjadinya depresi.
“Totalitarianisme” media sosial
dapat diasalkan kepada fenomena masyarakat yang sehari-harinya bersinggungan
dengan dunia virtual. Media sosial telah menjadi semacam jaringan sistem yang
mengintervensi di hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Bahkan,
pengalaman atas ruang dan waktu
kehilangan nilai ontologisnya akibat diringsek habis oleh apa yang
disebut Jean Baudrillard sebagai simulakrum.
Dampak nyata simulakrum, selain
mengubah kenyataan menjadi pencitraan, juga memberikan dampak negatif berupa
terganggunya tatanan sosiopsikis masyarakat. Akibat besarnya kesenjangan antara
dunia citraan dengan realitas yang sebenarnya, orang-orang yang terjebak
simulakrum akan sulit membedakan antara kenyataan dengan fantasi. Imbas dari
itulah seringkali terjadi banyak gangguan mental. Contoh dari semua itu adalah
menguatnya individualisme naif yang dinyatakan dengan merebaknya budaya selfie
dan narsistik.
Dari sisi lain, kekosongan dalam
relasi sosial dibilangkan Emile Durkheim, seorang sosiolog Prancis sebagai
peristiwa anomali. Yakni hilangnya peran sumber-sumber nilai untuk memberikan
pemaknaan terhadap kelangsungan hubungan antara individu. Di situasi ini,
agama, norma-norma, dan juga etika, menjadi mandul mengawal agenda-agenda
perubahan masyarakat.
Jalin kelindan beragam nilai
kebudayaan, juga melahirkan ekses negatif berupa hilangnya otonomi atas “aku”. Manusia di hadapan kebudayaan yang cair,
dibuat sulit menentukan jati dirinya. “Aku” otonom ihwal yang sulit dicapai.
Itulah sebabnya, krisis eksistensial melanda. “Aku” sebagai basis kendali
kehilangan pusat dan keseimbangan di tengah deru “massa-budaya”.
Mengacu kepada Sigmund Freud, orang-orang yang depresi juga besar
pengaruhnya akibat kehilangan objek yang dicintai. Kehilangan cinta juga berarti
hilangnya hubungan kebermaknaan di antara dua person. Dengan kata lain, raibnya
cinta sama artinya dengan hilangnya “saluran” yang “emansipatif” dan
inspiratif.
Itulah sebabnya, pembebasan secara
emansipatif, membutuhkan cinta sebagai kekuatan pendorongnya. Kekuatan
inspiratifnya. Pembebasan emansipatif tanpa cinta bakal membuat seseorang
menjadi tiranik. Sebaliknya cinta tanpa pembebasan justru mengubah manusia
menjadi budak.
Hilangnya hubungan kerelaan atas
nama cinta juga mengakibatkan kesepian. Lubang yang ditinggalkan kesepian tidak
jarang membuat orang akhirnya berduka. Tenggelam dalam dislokasi perasaan yang
mengancam jiwanya. Dan kemudian larut di dalamnya.
Barangkali, akibat kedukaan, dan
hilangnya perhatian antara sesama membuat orang-orang yang depresi menjadi
lebih rentan. Tidak ada tempat untuk berbagi, tiada wadah untuk saling bertukar
pengalaman. Terisolasinya masyarakat lantaran individualisme naif, menjadi
salah satu sebab mengapa persoalan depresi menjadi masalah yang tidak kalah
penting.
Dengan konteks demikian, situasi di
atas sama dengan keadaan alienatif yang dialami seorang individu karena
keterasingan dari dan terhadap sesamanya. Karena itu situasi ini jauh lebih
berbahaya, oleh sebab, selain depresi yang menyebabkan hilangnya kontrol
terhadap kesadaran, alienasi yang dialami seseorang juga berakibat keterasingan
dari dirinya sendiri melalui dirinya itu sendiri.
Itulah sebabnya mengapa penting
membangun relasi kebermaknaan sesama anggota masyarakat. Menghidupkannya dengan
cara membangun perhatian dan kesetiaan berbasis nilai kemanusiaan tinimbang
ikatan yang dibentuk moral masyarakat kapitalistik era kiwari. Melalui itu,
hubungan dialogis dapat terbangun lebih dari sekadar sarana interaksi yang
bersifat kebendaan dan instrumentalistik. Lebih jauh daripada itu, agar supaya
kebudayaan manusia tidak semata-mata hanya bersifat produktif semata, tetapi
juga reflektif-kontemplatif.
Di sisi lain juga penting melihat
hubungan relasional yang memerdekakan individu dari kekuatan di luar dari
dirinya berupa institusi masyarakat yang sering kali menjadi rezim totaliter.
Dengan kata lain, individu tidak ditotalisasi oleh rezim intitusi untuk
menemukan kreatifitas dan kebebasannya yang berbasis keagenan yang dipunyainya,
begitu juga sebaliknya, agar masyarakat tidak dikontrol secara sepihak oleh
superioritas keagenan individu.
Tegangan dan tekanan yang terlalu
besar dari tirani masyarakat, berupa misal intervensi nilai-nilai kolektif
terhadap individu, sedikit banyak akan membuat keagenan individu berupa
kebebasan dan kreatifitas menjadi sulit berkembang, atau bahkan akan mengalami
pemenjaraan. Namun, kemerdekaan individu bukan berarti segalanya di dalam
masyarakat. Kemerdekaan individu juga mesti mempertimbangkan tegangannya
terhadap sistem nilai yang dikandung di dalam masyarakat itu sendiri agar
terbangun alam kehidupan yang seimbang.
Syahdan, depresi tentu dapat
dihindari apabila tekanan-tekanan sosial dapat dimerdekakan melalui basis-basis
emansipatif dan edukatif yang dimiliki masyarakat itu sendiri. Basis
emansipatif dan edukatif berupa misal, komunitas bakat dan minat, kelompok
kreatifitas kepemudaan, organisasi kemahasiswaan, sampai lembaga study club,
dapat menjadi saluran pembebasan dari sirkulasi sosial-psikis-mental yang
seharusnya bekerja dengan baik dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
---
*Petikan dan terjemahan dari lagu
One More Light, Linkin Park
---
Telah terbit di Kalaliterasi.com