Pasca
pindah sekolah menengah pertama, di hari pertama di kelas baru, saya sempat
mendapatkan tertawaan akibat dialek bahasa yang berbeda. Gaya saya berbicara
nampak asing bagi telinga orang Sulawesi Selatan. Maklum, ketika itu saya baru
pindah dari Kupang, suatu kota dari gugusan pulau di Nusa Tenggara.
Waktu
itu entah untuk mengetahui kemampuan murid baru, guru matematika kala itu
bertanya atas suatu soal yang sedang dibahas di atas papan tulis. Sontak
saya kaget akibat murid yang dimaksud dari pertanyaan itu tiada lain adalah
saya. Dengan terbata-bata saya menjawab seadanya seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Tepat di kala itulah hampir semua kelas menertawai saya. Menertawai
dialek saya tepatnya.
Buka
saja dialek, kesulitan selanjutnya di kelas baru, terutama adalah bahasa Bugis
itu sendiri. Seketika saya langsung menyadari, ada jarak antara saya dengan
bahasa percakapan sehari-sehari bagi orang-orang Bugis. Jika di Kupang kami
dipertemukan hampir semuanya dengan bahasa Indonesia, tapi di lingkungan baru
saya, hampir setiap percakapan didominasi oleh bahasa daerah.
Perbedaan
akibat bahasa yang berbeda, dengan sendirinya membuat saya menjadi terasing
secara komunikasi. Lebih jauh dari itu, bahasa yang belum saya kenali membuat
saya menjadi orang yang berbeda secara pengetahuan dan kultural.
Praktis,
di hari-hari pertama, dengan lingkungan baru, dan bahasa yang berbeda, membuat
dunia sosial saya tidak jauh dari penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri.
Sejauh bahasa Bugis digunakan, secepat itu pula saya dibatasi secara jarak dan
sosial.
Yang
paling penting dari itu, di lingkungan baru saya mesti dan membutuhkan
beragam pengetahuan yang berkaitan dengan soal-soal praktis.
Masalahnya adalah bahasa selalu menjadi batas pengetahuan. Tanpa mengerti arti
suatu bahasa, otomatis tidak ada suatu makna yang secara operasional dapat
membantu saya menggunakannya dalam berkomunikasi.
Pengalaman
ini lama saya alami, bersamaan dengan mulainya saya mengenal jenis huruf
lontara ketika menghadapi mata pelajaran bahasa daerah. Otomatis saya harus
menghapalnya. Juga saya harus mahir menulisnya ketika diajukan pekerjaan rumah
bahasa daerah.
Masih
segar dalam ingatan, ketika memasuki mata pelajaran bahasa daerah, hal yang
saya lakukan hanya diam mendengarkan kemudian hanya melihat huruf-huruf lontara
ditulis begitu saja tanpa saya pahami. Yang paling memalukan semua tugas hingga
ujian akhir sekolah untuk bahasa daerah, barangkali akibat kasihan, dikerjakan
diam-diam oleh teman sebangku saya.
Saya
terkesan dengan semua itu. Terutama keadaan diri saya yang merasa menjadi orang
asing di kampung sendiri. Bahasa Bugis dengan sendirinya membuat saya
menyadari, betapa saya teralienasi dengan bahasa ibu saya. Lidah pertama yang
seharusnya saya ketahui.
Semenjak
di Kupang, bahasa Bugis hanya saya alami secara pendengaran. Mamak dan bapak
sering menggunakannya sebagai percakapan sehari-hari. Tentang bagaimana saya
mengucapkan dan menggunakannya, itu lain soal. Kegunaan praktis bahasa daerah
kala itu belum saya temui seperti saat saya mulai bermukim di kampung halaman.
Walaupun
bahasa Bugis hanya dipakai di lingkungan rumah, tapi ingatan saya atas itu
membantu saya ketika mulai mempelajari satu demi satu kata yang paling sering
saya dengar digunakan dalam omongan sehari-hari.
Dalam
keadaan itu kemampuan mendengar dan mengonfirmasi dalam bahasa Indonesia
menjadi strategi saya untuk mempelajari bahasa Bugis. Setiap orang yang saya
dengarkan menggunakan bahasa Bugis, saya cari artinya melalui cara seseorang
membilangkannya. Sering juga saya melihat bagaimana mimik mukanya, atau dalam
aktivitas apa dia menggunakan kata ini dan mengapa bukan kata itu. Walapun
tidak membantu sepenuhnya, namun cara ini membuat saya lama-lama mulai mengerti
satu kata demi satu kata.
Pergaulan
sangat membantu ketika itu. Saya masih ingat ketika diajari hitungan angka satu
sampai sepuluh oleh teman sebangku saya. Kata calla yang ternyata bisa bermakna lebih dari satu. Kata kursi yang
disebut kadera. Juga kata macca yang sering dipakai untuk menunjuk
teman saya yang pintar kala itu. Dan macam-macam lainnya.
Melalui
bahasa, pengetahuan kultural saya mulai terbentuk perlahan-lahan. Saya bisa
mengerti alam berpikir orang-orang di kampung saya. Cara hidupnya,
kebiasaan-kebiasaanya, tradisinya, dan pada akhirnya kebudayaan orang-orang Bugis.
Hingga
suatu waktu saya juga menyadari bahwa selama ini saya tidak tahu apa-apa
tentang budaya leluhur saya. Pengalaman atas bahasa yang berbeda membuat saya
mengetahui bahwa sejarah leluhur orang-orang Bugis sangat berbeda dengan
sejarah yang diajarkan kepasa saya di kala masih di Kupang.
Sampai
nanti saya benar-benar yakin, sepenuhnya saya hilang dari kebudayaan leluhur
saya. Saya sulit mengidentifikasi asal usul diri saya. Itu dimulai ketika saya
harus mengenal "kembali" sanak famili saya yang hanya sekali dua kali
saya temui semenjak masih di tanah rantau.
Mengenal
keluarga besar juga sama dengan mengenal tradisi, kebudayaan. Dari keluargalah
saya juga belajar sedikit demi sedikit adat istiadat orang Bugis. Cara
hidupnya, bagaimana mesti marah, sedih dan senang, bagaimana memberlakukan
orang. Seperti juga seperti apa ketika harus menempatkan diri di antara banyak
orang.
Sampai
akhirnya selama bertahun-tahun pengalaman demi pengalaman, dialek dan
penggunaan bahasa daerah sudah mulai mampu saya gunakan. Namun, sampai sekarang
masih ada yang mengganjal, selain semakin jarang menggunakan bahasa daerah,
saya merasa belum yakin betul dengan tradisi orang-orang Bugis yang semakin
jarang saya temukan. Sebab utamanya sederhana, saya tidak tumbuh besar di
kampung halaman sendiri.
***
Pengalaman
saya ini, belakangan menjadi nampak lebih problematis ketika saya menjadi ingat
pemikiran Benedict Anderson tentang kaitan politik dengan bahasa nasional. Walaupun
berbeda konteks dan motifasinya terhadap pengamalan bahasa daerah, saya dapat
menyimpulkan pentingnya bahasa dengan ingatan suatu generasi terhadap sejarah
negerinya sendiri.
Temuan
penting Anderson berhubungan langsung ketika dia kembali ke Indonesia pasca
reformasi, dan melihat secara langsung ingatan generasi muda yang mulai
kehilangan pengetahuan atas sejarahnya sendiri akibat perubahan ejaan yang
diberlakukan rezim Orde Baru.
Perubahan
ejaan dari ejaan Soewandi menjadi EYD ternyata berdampak buruk terhadap
keberlanjutan ingatan publik dan menurunnya kreativitas anak muda Indonesia.
Peralihan ejaan Soewandi menjadi EYD, disebut Anderson memiliki agenda politik
untuk memutus ingatan masyarakat terhadap sejarah masa lalu bangsanya sebelum
rezim Orde Baru berkuasa. Dengan kata lain, dengan ejaan baru, itu sama artinya
dengan apa yang disebut Anderson sebagai agenda penghapusan sejarah.
Temuan
ini membukakan mata orang-orang kala Anderson menyampaikan pidato tentang
nasionalismenya di sekira tahun 2001, bahwa dengan mengontrol ejaan melalui
bahasa yang disempurnakan, sebenarnya dengan sendirinya paralel dengan
penguasaan atas pengetahuan (ingatan/pikiran) bangsa Indonesia. Sudah tentu
yang dimaksud Anderson juga adalah menyitir sikap praktis generasi muda yang
dengan gampang meninggalkan dan lebih memilih bacaan yang telah disempurnakan
alih-alih ejaan sebelumnya yang dirasa lebih gampang dan “enak” dieja dan
dibaca.
Selain
keterputusan sejarah, perubahan ejaan juga dengan sendirinya membuat
penyeragaman pengetahuan melalui ejaan yang disempurnakan. Padahal menurut
pendakuan Anderson, sebelum bahasa nasional “ditertibkan” dan disempurnakan,
bahasa Indonesia jauh lebih kreatif, majemuk, dan beragam. Dengan kata lain,
bahasa yang disempurnakan merupakan cara yang disadari Orde Baru berimplikasi
kepada hilangnya keberagaman cara berpikir demi membangun konsensus demi
menunjang pemerintahannya. Jelas di sini, bahasa dalam pemahaman Anderson bukan
sebagai kebutuhan pragmatis untuk berkomunikasi, melainkan lebih jauh dari itu
sebagai medium kekuasaan dapat berlaku semena-mena terhadap isi pikiran suatu
bangsa.