1 Orang Bodoh ditambah 1 Orang Bodoh?

Ada prinsip sederhana yang seringkali diingatkan mamak ketika saya masih bersekolah tentang cara praktis agar dapat memiliki otak encer: bertemanlah dengan orang-orang pintar, lebih baik bodoh di antara mereka daripada pintar di antara orang-orang bodoh.

Kelak ketika mulai dewasa, saya menduga anjuran ini mirip dengan nasehat agama untuk mengajak umatnya agar berkumpul dengan orang-orang saleh.

Mendengar nasehat itu membuat saya yakin seratus persen bahwa ketika bergaul dengan orang-orang pintar pasti dengan sendirinya saya akan tertulari kecerdasan seperti orang yang tertulari flu burung dari entah siapa yang baru saja melancong dari negeri Cina nun jauh di sana.

Anehnya ketika mendengar nasehat ini, saya seperti disadarkan bahwa diri saya bukan anak yang cerdas. Entah mengapa nasehat itu menjadi semacam sugesti bahwa saya memang bukan orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Itulah sebabnya, mamak selalu mengingatkan dengan nasehat demikian.

Tapi jika diingat-ingat, semasa bersekolah otak saya memang pas-pasan. Dari SD hingga SMA, saya tidak pernah mendapatkan rangking. Bahkan nilai-nilai raport saya jarang membuat bapak dan mamak terkesan.

Ketika SD saya memiliki sahabat yang sekaligus tetangga rumah. Kami bertiga seringkali berangkat ke sekolah bersama-sama, terutama ketika menjelang kelas enam. Yang membuat pertemanan kami semakin dekat ketika kami harus mengerjakan PR secara berkelompok di salah satu rumah teman kami.

Saat itu mengerjakan PR memang saya artikan semata-mata sebagai pekerjaan rumah belaka. Saat itu tidak ada konsep belajar yang saya ketahui sebagai pelajaran tambahan di luar sekolah yang bertujuan untuk melatih dan mendidik melalui tugas-tugas sekolah. PR hanyalah PR jika itu berarti saya dengan gembira bisa keluar rumah ketika magrib baru saja usai. Dan ini berarti sesuai pergaulan  yang dianjurkan mamak, berkawan dengan orang yang lebih unggul dari diri saya.

Rumah yang dituju adalah rumah ketua kelas kami. Seorang perempuan yang selalu mendapat peringkat pertama. Rumahnya lumayan jauh dengan berjalan kaki. Kami sering pergi dengan membawa buku tulis yang masih kosong dari PR yang diwajibkan. Satu-satunya harapan kami, saya tepatnya, adalah ketua kelas ini. Dari dialah nanti saya bisa menulis ulang PR yang pura-pura kami kerjakan bersama.

Di rumahnya kami selalu disambut baik orang tuanya. Mungkin kami dinilai sebagai anak-anak yang rajin belajar. Seringkali kami dibuatkan kue dan segelas teh ketika harus gelontoran di atas lantai mengerjakan soal-soal menghitung. Nur nama teman saya itu begitu cekatan menjawab soal-soal. Taufik, tetangga sebelah rumah saya juga nampak baik-baik saja mengikuti alur rumus yang dicontohkan Nur kepadanya. Masalahnya, adalah saya, rumus-rumus itu nampak hanya menjadi simbol-simbol yang membingungkan.

Di antara kami bertiga, saya sering merasa menjadi orang yang paling lambat menggunakan otak ketika berhadapan dengan rumus-rumus. Saya sering berandai-andai, mungkin saya memiliki otak yang paling buruk di antara mereka.

Sepertinya, pelajaran yang bersentuhan dengan angka-angka sangat tidak klop di kepala saya. Otak saya sepertinya lebih afdol kalau itu menghadapi pelajaran-pelajaran semisal bahasa indonesia, kesenian atau semacamnya.

Itulah sebabnya, ketika memasuki kelas enam, saya hanya hapal sampai perkalian empat dan lima, itupun dengan bersusah payah. Sementara rumus-rumus untuk menghitung bidang-bidang tak ada satupun yang bertahan lama di kepala saya.  

Sampai akhirnya saya kadang memikirkan jangan-jangan nasehat mamak di kala itu tidak berlaku. Saya tidak pernah merasa tertulari kecerdasan dari teman-teman saya. Kecerdasan mungkin tidak seperti penyakit.

Lain kasusnya jika saja kalau saya bersahabat dengan orang-orang yang bodoh. Bermain bersama, pulang bersama, dan mengerjakan PR bersama. Kecerdasan saya sudah pasti tidak akan bertambah dua kali lipat. Justru yang ada kebodohan saya akan jauh lebih meningkat. Dua orang bodoh di tambah satu orang bodoh tetaplah tiga orang bodoh.

Kecerdasan tidak dapat menular. Tapi malangnya, kebodohan sangat gampang berpindah dari kepala satu ke kepala lainnya. Ibarat penyakit, kebodohan sangat gampang menulari orang-orang yang kurang menggunakan akal sehatnya.

Sekarang, cara orang-orang bodoh menulari kebodohan jauh lebih praktis dengan menuduh dan menyalahkan siapa saja yang berbeda pikiran dengannya. Cara ini jauh lebih ampuh dibanding ketika orang cerdas menilai orang bodoh. Kecuali sebaliknya, tidak ada orang bodoh mampu mengenali orang cerdas.

Rumusnya masih sama: orang tolol hanya mampu mencium bau yang sama dengan orang yang tolol. Satu orang tolol ditambah satu orang yang sama, hasilnya tetap saja sama. Dua orang tolol.

Tapi coba kalau prinsip di atas dibalik menjadi: janganlah berkawan dengan orang-orang bodoh, lebih baik cerdas bukan di antara mereka, daripada bodoh di antara orang-orang yang sama. Pasti ceritanya menjadi berbeda!

Akibat kebodohan cepat menular, maka lakukanlah dia seperti penyakit. Hal pertama yang mesti di lakukan, jangan mencari orang bodoh untuk membantu Anda, sebab tiada orang bodoh mengenali apa sesungguhnya kebodohan itu sebenarnya. 

Hanya orang pintarlah yang tahu siapa yang tolol, siapa yang tidak. Ingat prinsip di atas, orang-orang tolol pasti gemar menilai orang menjadi bodoh bersama-sama. Itulah sebabnya, jika ada orang tolol yang Anda temui, maka tinggalkanlah dia secepat Anda ingin menyembuhkan penyakit Anda.

Dan memang demikian, ketika seseorang mulai sadar sedang digerogoti kebodohan, maka sebenarnya dia tidak benar-benar tolol!