Kami tersentak kaget dengan penuturan Muhary Wahyu Nurba yang
tidak dibayangkan sebelumnya, tentang kita kejamakan yang kehilangan banyak
ruang kontemplatif di era kiwari. “Kita” saat ia berbicara dengan suaranya yang
berat itu bukan saja ditujukan kepada peserta KLPI yang sudah menjadi rutin
itu. Melainkan juga kepada masyarakat yang dikepung gaya hidup modern. Ya,
orang-orang yang gila kerja, gila berbelanja, gila uang, gila jabatan, gila
media sosial, gila politik, gila agama, dan entah gila apa lagi (Anda bisa
menambahkan sesuka hati Anda di sini).
Sebenarnya, apa yang disampaikan Muhary hanya mengulang apa
yang sudah banyak disitir scholar
ilmu-ilmu sosial. Namun, melalui konteks pembicaraannya dalam kaitannya dengan
sastra, terutama puisi, membuatnya memiliki konotasi yang baru, setidaknya
menurut kami.
“Kita tidak akan lagi melahirkan Jalaluddin Rumi,” Ucap
Muhary dalam kaitannya dengan hilangnya ruang permenungan kala ingin melahirkan
syair-syair yang bernas. Kita tidak akan pernah lagi akan menemukan karya-karya
sepuitis Rendra, dan sederet nama penyair yang disebut Muhary, yang samar-samar
dalam ingatan kami. Tepat di bagian inilah kami kaget.
Kami mengira di pertemuan itu, penyair cum fotografer ini akan banyak mengajukan pemahaman dasar penulisan
puisi, atau paling tidak pendasaran teoritik puisi sebagai karya sastra, atau
sejarah puisi, atau mungkin juga bagaimana teknik menulis puisi bagi seorang
penyair. Namun, seperti yang kami katakan, dugaan kami meleset. Muhary
berbicara jauh lebih dalam dari dugaan kami. Sesuatu yang kami sendiri alami,
dan tidak dibayangkan sebelumnya. Ruang kontemplatif yang banyak dilupakan
orang-orang masa sekarang.
Era modern era yang massif menampakkan segalanya ke
permukaan. Budaya pamer menjadi tren. Apa yang dikonsumsi dipamerkan. Apa yang
dipakai dipamerkan. Apa yang dimakan dipamerkan. Apa yang dibeli dipamerkan.
Apa yang difoto dipamerkan. Bahkan hal yang seharusnya lebih bernilai jika
menjadi rahasia, ibadah pribadi misalnya, dipamerkan. Melalui media sosial,
semua itu akhirnya menjadi tontonan. Artifisial belaka.
Budaya pamer ini akhirnya membuat dunia pengalaman manusia
menjadi super sibuk. Bising dan ramai dengan permukaan: gambar-gambar,
pencitraan. Akhirnya yang “permukaan” menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi
tradisi.
Akibat sering pamer dan lebih mementingkan “pencitraan”,
“kedalaman” akhirnya diabaikan, atau terlupakan. Mungkin hilang dengan sendirinya.
Terkait kepenulisan puisi, “kedalaman”, “kesunyian” menjadi musykil dialami.
Sekarang, hampir semuanya dipenuhi keramaian. Bahkan di tempat paling privat
pun kita masih terhubung dengan “dunia luar”. Apalagi kalau bukan melalui
gadget. Sedikit-sedikit berbunyi, entah dari siapa, atau grup apa lagi yang
lagi ramai.
Dan, malangnya, massifnya ruang sepi yang diinvasi jaringan
internet melalui gawai, menandai juga semakin keponya kita untuk tidak kuat
menahan godaan untuk tidak tidak memerhatikannya. Sedikit-sedikit tangan kita tidak kuat
menahan godaan hasrat untuk mengintip info atau apa lagi yang masuk di gawai.
Toh kalau bisa menahan, sampai kapan kita bisa menolaknya? Paling lama mungkin
dua menit (ini tergantung pengalaman Anda).
Kami kira ruang permenungan bukan dibutuhkan bagi penyair
saja, tapi bagi setiap kita yang semakin ke sini makin “kalap”. Ruang
permenungan memang penting bagi seorang penyair ketika merefleksikan dirinya
dan segala soal manusia ketika melahirkan syair-syairnya. Namun, tidak kalah
penting juga bagi siapa saja yang masih ingin menjaga kewarasannya di era
“gila” ini.
Kami pribadi harus mengakui, semakin kasifnya waktu yang
mampu kami “gunakan” di antara kesibukan sehari-hari. Sementara kalau mau
menyelami “kedalaman”, waktu juga menjadi bagian penting selain penghayatan
atas ruang kita yang sekarang jadi super sesak.
Di pertemuan itu, sesaat Muhary tiba, dengan logat khas Makassarnya mengeluhkan suasana kota yang
semakin sesak dengan keramaian. Di perjalanan ketika menuju tempat kegiatan,
butuh waktu yang panjang dan lama yang tidak sesuai dengan lamanya waktu
berdasarkan jarak sebenarnya. Ketika hanya untuk sampai ke lokasi diskusi,
Muhary mengatakan butuh berjibaku denga padatnya kendaraan yang mengakibatkan
kemacetan.
Penghayatan atas waktu akibat keramaian dan kecepatan yang
menjadi ciri sekaligus momok zaman ini mengakibatkan masyarakat menjadi apa
yang dikatakan Muhary dipertemuan itu sebagai damned people. Sadis, Bung!
Merosotnya ruang kontemplatif, atau dalam istilah Muhary
sebagai waktu kudus, berimplikasi kepada kesadaran manusia yang tidak terhubung
dengan “kenyataan yang sebenarnya”. Orang yang baru saja ikut bermain peran
dalam film Silariang ini
mencotohkannya dengan tindakan seseorang terhadap buku. “Kita banyak membaca
buku, tapi jarang yang mengunyahnya”. Ini mirip-mirip konsep kesadaran Edmund
Husserl atau Heidegger, misalnya, yang membilangkannya sebagai hubungan
intensionalitas yang menghayati fenomena tanpa mengalami sekat terhadapnya.
Kami teringat dengan peribahasa Bugis, taro ada, taro gau. Simpan kata, simpan perbuatan. Manusia Bugis,
melalui peribahasa itu, jika mengucapkan sesuatu dalam ikrar, maka pantang
untuk tidak dilakukan. Orang-orang bilang, konsisten. Apa yang diucapkan itu
pula yang akan dilakukan, atau sebaliknya, yang dilakukan sudah pasti realisasi
dari ikrar yang sudah diucapkan. Dalam konteks contoh buku Muhary tadi, bisa
dibilang, kita ini tanpa disadari tidak betul-betul “mengalami” bahasa.
Itulah poin besarnya, pengalaman atas bahasa. Kami kira itu
yang menjadi hikmat dalam diskusi kami sore itu. Penyair atau orang yang
berkeinginan menemukan syairnya yang dahsyat mesti “mengalami” bahasa yang
diliterasikannya. “Ibaratnya hati kita yang kita taruh dalam tulisan kita”,
ucap Muhary sambil menggerakkan tangannya dari dada ke buku puisi Airmatadarah karangan Sulhan Yusuf,
owner Paradigma Intitute tempat kami bernaung.
Kami kira ini sindiran halus dari Muhary: banyak orang-orang
menulis syairnya, namun semuanya itu berjarak dari dirinya. Dengan kata lain,
apa yang disyairkannya, bukan lahir dari pengalamannya, dari hatinya. Itulah
sebabnya, kata Muhary syair macam demikian tidak dalam, tidak menggugah batin
dan kesadaran pendengarnya.
Inilah barangkali kalimat yang kami harus renung-renungkan
dalam-dalam: pengalaman atas bahasa. Yang dalam kaitannya dengan ruang kudus
tadi adalah usaha kita untuk mengalaminya melalui penghayatan dalam waktu dan
ruang. Hanya melalui itu bahasa yang diliterasikan menjadi luar biasa. Bagi
penyair, sajak-sajaknya besar kemungkinan sudah pasti menggugah sekaligus
menggugat!
Di sore itu, kami memang dibuat kaget. Syair hanya permukaan
bahasa, di balik itu ada proses kreatif penyair yang begitu banyak pengalaman
fundamental yang dari situ lahir kata-kata yang arkaik, sekaligus dalam. Muhary
memang tidak sedang berbicara di dimensi “permukaan”, sore itu terma “ruang
kudus” begitu menghentak kesadaran kami yang selama ini beria-ria di hal-hal
permukaan.
Begitulah pertemuan Minggu sore kemarin (April, 09, 2017),
sekaligus menandai pertemuan ke-8 Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar yang
sudah berjalan selama hampir dua tahun tanpa henti. Sampai waktu magrib tiba,
dan setelah kelas bubar, “ruang kudus” bergiang-giang di kepala kami.
---
Terbit juga di Kalaliterasi.com