Seringkali saya menyaksikan
pengalaman saudara perempuan saya di waktu ia beranjak remaja. Ketika itu
menulis diari adalah suatu kebiasaan --barangkali bagi sebagian besar perempuan
seumuran di zamannya. Di tiap malam, pengalaman itu membentuk persepsi saya,
bahwa perempuan memiliki rahasia yang diucapkannya melalui "bibir
kedua", tempatnya berbicara. Berhari-hari kebiasaan itu dilakukannya.
Menulis apa saja yang datang dari pikiran dan perasaannya. Berlembar-lembar
halaman dihabiskan hingga selanjutnya dia harus bersekolah jauh dari rumah.
Sampai akhirnya, saya tidak pernah lagi melihatnya menulis di buku yang
disimpannya entah di mana.
Setelah selama ini sedikit
mempelajari posisi dan peran perempuan dalam sejarah perkembangan masyarakat,
peristiwa itu saya refleksikan kembali. Saya cari apa hubungan diari perempuan
sebagai medan ekspresifnya dengan alam kebudayaan tempat perempuan hidup.
Berdasarkan pemikiran Luce Irigaray, seorang feminis Prancis, yang mengandaikan
eratnya subjektifitas dalam bahasa, saya menemukan suatu hubungan berkenaan
subjektifitas perempuan di dalam bahasa. Saya berhipotesis dalam kasus saudara
perempuan saya itu, bahasa adalah medan di mana perempuan dapat menentukan
dirinya. Diari, buku kecil yang menjadi representasi bahasa, dalam kasus
saudara saya adalah alam kebudayaan yang dibentuknya sendiri. Dengan kata lain,
kakak saya itu sedang menulis kembali budayanya, bukan sebaliknya, ditulis oleh
budayanya.
Perempuan melalui dunia patriarki,
adalah sosok asing yang juga sekaligus diberlakukan asing. Jika di situ ada
hirarki yang mengitarinya, maka perempuan diposisikan subordinat. Jika dicari
asal usulnya dalam ayat-ayat suci, perempuan ditafsirkan sebagai mahluk nomor
dua. Jika perempuan ditulis di lembar kebudayaan, maka dia menjadi kata kerja
pasif. Perempuan pada akhirnya, dikemukakan mengalami penindasan berlapis-lapis:
beban kerja ganda, diasingkan, diperbudak, didomestifikasi, dan diseksualisasi.
Tapi, jika mau mengambil hikmat
dari pengalaman saudara saya, perempuan sebenarnya memiliki peluang. Dengan
segala kemampuannya perempuan mampu menjadi subjek bahasa, subjek budaya,
politik, sosial, atau subjek sejarah, jika perempuan mau bersuara.
Mengemansipasi dirinya melalui media. Berpikir tentang dirinya, menulis tentang
dirinya, dan juga berbahasa melalui bahasanya sendiri.
Citra perempuan dalam media
Hubungan perempuan dan media
hakikinya adalah hubungan yang kompleks dan problematis.[1] Pertama, dalam
konteks zaman millenial, seperti ramalan Alfin Tofler, perempuan dalam ranah
informasi yang berkembang pesat akibat kemajuan teknologi informasi, hanya menjadi
objek pasif dari kepentingan nalar patriarki yang bekerja di belakang media
massa. Kedua, perempuan dalam visualisasi media massa, hanyalah alat akumulasi
modal berdasarkan streotipenya sebagai objek hasrat. Ketiga, perempuan dalam
pemberitaan-pemberitaan media massa seringkali menjadi korban akibat reportase
yang tidak berperspektif perempuan.
Penelitian yang dilakukan PBB
tentang peran media dalam perbaikan status perempuan, menunjukkan dua gejala
patologis, pertama, betapa perempuan di pelbagai media di dunia dicitrakan
hanya berdasarkan stereotipe tinimbang mewakili aspirasi perempuan. Kedua, dalam kaitannya dengan dunia kerja
perempuan di institusi media, perempuan hanya terlibat sebatas kerja-kerja administratif
belaka dan tidak banyak sampai pada posisi strategis untuk dapat mengambil
keputusan-keputusan penting.
Patologi pertama dalam temuan di
atas menandakan bahwa ketika perempuan dicitrakan melalui pelbagai wadah –dalam
kasus ini adalah media, perempuan tidak lepas dan hanya menjadi objek kekerasan
simbolik dari suatu cara pandang tertentu. Kedua, melalui cara pandang yang
mendeskreditkan perempuan, dalam dunia kerja juga berlaku aturan main yang
merepresentasikan pandangan yang menomorduakan perempuan.
Penelitian Nurul Islam melalui
Perempuan dalam Media Massa di Indonesia mengemukakan adanya hubungan industri
media yang ditopang ideologi kapitalisme dengan perempuan sebagai objek
penindasannya. Akibat didorong kepentingan bisnis, perempuan seringkali
dijadikan alat bisnis dengan membangun visualisasi sebagai mahluk yang seksi,
erotis, dan berpenampilan minim demi mengejar profit.
Iklan, sinetron, film, adalah
media-media visual yang menurut Nurul Islam adalah tempat perempuan mengalami
eksploitasi demi melanggengkan bisnis, produk, ataupun cara pandang, dari
pelbagai bentuk tubuh, cara bicara, karakter, dan sifat yang dimiliki
perempuan. (Kita sendiri seringkali menyaksikan iklan rokok, mobil, atau
pemutih kulit, yang dekat sebagai contoh-contoh yang berkaitan dengan proposisi
di atas).
Analasis Michel Foucault, sosiolog
berkebangsaan Prancis dalam hal ini telah menerangkan bahwa tubuh merupakan
pusat kenikmatan dan sensasi. Artinya tubuh menjadi politis akibat menjadi
arena kekuasaan. Dalam konteks kekuasaan kapitalisme melalui industri medianya,
tubuh perempuan dikategorisasi dan diidealisasi menjadi bukan sekadar tumpukan
daging belaka, melainkan melibatkan penilaian atas dasar seksualitas dan
erotisme di dalamnya.[2]
Narasi yang sama juga dikemukakan
Yasraf Amir Piliang melalui Dunia yang Dilipat:Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan, yakni tubuh dalam kategori economy-politik of the body, telah
mengalami semacam “ideologisasi” penandaan yang mengaitkan tubuh perempuan
dengan penandaan erotis demi melipatgandakan hasrat dalam sistem kerja
akumulasi modalnya.[3]
Perempuan yang distereotipekan
negatif juga tidak hanya berlaku dalam media elektronik. Melalui Wajah
Perempuan dalam Media Massa, Nurul Arifin menuliskan pelabelan-pelabelan
negatif terhadap perempuan selamai ini juga ditemukan dalam media cetak. Jika mengandaikan
media massa sebagai reperesentasi cara berpikir budaya patriarki, maka media
cetak banyak mengadopsi cara pandang demikian ketika menuliskan perempuan
sebagai bahan beritanya.
Itu artinya perempuan sebagai suatu
konsep dan sekaligus objek, melalui tindak penulisan pemberitaan mengalami
diskrimanatif dengan kata-kata yang merendahkan perempuan.
Coba perhatikan judul-judul berita
di bawah ini:
1. Tergiur Tubuh Molek, Pria Bejat
Tega Nodai Anak Tiri (Kamis, 30 Maret 2017. Sindonews.com)
2. Gadis 17 Tahun di Buleleng
Digilir Tiga Pria di Kamar Mandi (Kamis, 6 April 2017. Sindonews.com)
3. Bripda Muthia , Polwan Cantik
Jadi Korban Penganiayaan (25 Mei 2016. Liputan6.com)
4. Bikin Iri, Dokter Gigi Cantik
Ini Usianya Sudah Hampir 50 Tahun! (Selasa, 4 April 2017. Vemale.com)
5. Ingat Syekh Puji? Siapa Sangka
Begini Kehidupannya Sekarang Bersama Istri Mudanya (Minggu, 16 April 2017.
Tribuntimur.com)
Judul nomor 1, 3, dan 4 dengan
terang merupakan judul yang bombastis, tidak berkeadilan gender, dan
mengesankankan mengobjektifasi perempuan. “Molek”, dan “cantik”, adalah pilihan kata yang tidak
mencerminkan keberpihakan kepada perempuan. “Molek” dan “cantik” secara
fungsional sengaja dipakai agar menarik secara konotatif imajinasi hasrat
pembaca, terutama pembaca laki-laki. Dikatakan tidak berkeadilan gender dan
tidak berpihak kepada perempuan karena di situ perempuan mengalami kekerasan
dua kali lipat. Selain dia korban tindakan diskrimantif seperti yang
diberitakan, juga mengalami objek kekerasan bahasa yang menjadikannya objek
hasrat dari kata-kata yang merendahkan.
Sementara nomor 2 dan 5 adalah
judul yang mencerminkan perempuan sebagai barang/benda yang bisa “digunakan”
semaunya. Apabila ditelisik, di balik dua judul ini mewakili ideologi patriarki
yang “membendakan” perempuan. Perempuan yang dijadikan benda sama halnya
dilucutinya perempuan dari aspek-aspek manusiawinya yang khas perempuan. Bahkan dalam judul nomor 5,
nampak sekali makna eksploitatif terhadap perempuan dengan mencantumkan “istri
muda” sebagai diksi yang mencerminkan perempuan sebagai objek hasrat.
Tidak saja melalui bahasa,
perempuan seringkali mengalami pelecehan, diskriminasi, dan kekerasan melalui
simbol-simbol. Mulai dari iklan, film, sinetron, talkshow, hingga gambar
pendukung dari sebuah berita, perempuan sering menjadi penanda simbolik demi
tujuan-tujuan tertentu. Tubuh perempuan yang kebanyakan sering dijadikan “alat”
pendongkrak, dalam hal ini seperti yang dinyatakan dalam objetification theory
oleh Fredrickson dan Roberts adalah “...that women exist in a culture which
their bodies are ‘looked at, evaluated, and always potentially objectified”.[4]
Artikel yang ditulis Nurdin Abdul
Halim, Media dan Pencitraan Perempuan, cukup menarik diulas karena menerangkan
hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam penelitian itu dikemukaan
dari aspek pemberitaan media cetak, berita kekerasan perempuan masih lebih
banyak diberitakan dibandingkan dengan kiprah positif perempuan dalam ranah
sosial. Riset ini juga menunjukkan
akibat etika jurnalistik yang tidak mumpuni, perempuan paling banyak menjadi
korbannya. Bahkan ketika merekonsruksi informasi, perempuan jarang dilibatkan
sebagai sumber informasi yang mengakibatkan banyak aspirasi perempuan tidak
sampai.
Keterlibatan perempuan dengan media
Luviana melalui Jejak Jurnalis
Perempuan, Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia menuliskan
bahwa hingga tahun 2011 Dewan pers mencatat jumlah media cetak mencapai 1.076,
jumlah radio 1.248 dan jumlah stasiun televisi mencapai 76, serta terdapat 176
stasiun televisi yang mengajukan izin baru.
Hubungan perempuan dan media akan
nampak timpang jika melihat dari segi keterlibatan perempuan sebagai pemilik
atau pendirinya. Untuk dijadikan sebagai contoh, di Indonesia, seluruh pemilik
10 media siar stasiun televisi tidak sama sekali mencatatkan seorang perempuan
di dalamnya. RCTI, MNCTV dan Global TV dimiliki Hary Tanoe Sudibyo, TV One dan
ANTV kepunyaan Aburizal Bakrie, Trans TV dan Trans 7 Chairul Tanjung, Metro TV
dipunyai Surya Paloh, SCTV dan Indosiar dimiliki Eddy Kusnady Sariaatmajaya,
Kompas TV kepunyaan Jakob Oetama, dan terakhir jaringan Net TV dimiliki
Wishnutama.[5]
Sementara bagi media cetak –untuk
menyebut beberapa di antaranya, di Jawa Pos Group mencatatkan Dahlan Iskan
sebagai pemiliknya, Goenawan Mohamad dan Yusril Djalinus sebagai pendiri
Majalah Tempo, di Koran Kompas ada P.K Ojong dan Jakob Oetama, berkerjama sama
dengan Surya Paloh, Teuku Yousli Syah
membesarkan Media Indonesia, Lampung Post, Borneo Newa dan Prioritas. Di
Sulawesi Selatan Harian Fajar yang merupakan bagian dari Jawa Pos tertera nama Alwi Hamu sebagai pimpinan
perusahaannya. Sementara Tribun Timur yang merupakan bagian dari Kompas
Gramedia pimpinan P.K Ojong dan Jakob Oetama.
Persoalan di atas juga dapat
kita telisik lebih dalam mengenai apakah
dalam jajaran keredaksian suatu media, perempuan memiliki keterlibatan aktif di
dalamnya? Apakah ada jajaran redaksi yang dipimpin oleh seorang perempuan? Jika
ada, berapa banyakkah mereka? Berapa banyakkah perempuan jurnalis tercatat?
Apakah pembawa berita perempuan di siaran-siaran televisi dapat dinyatakan
sebagai kemajuan keterlibatan perempuan dalam media?
Sementara itu Luviana juga
menyertakan hasil riset dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di tahun 2012
yang mengatakan rendahnya perbandingan perempuan jurnalis dengan jurnalis
laki-laki. Dari 10 jurnalis hanya ada 2-3 perempuan jurnalis. Dengan kata lain
dari 1000 jurnalis laki-laki, maka 200-300 di antaranya adalah jurnalis
perempuan.
Hasil riset AJI juga melaporkan
apabila di Jakarta perbandingan jurnalis perempuan dan laki-laki berkisar
antara 40 berbanding 60, justru tidak terjadi di luar Jakarta tekhusus
kota-kota madya yang disebutkan sangat memprihatinkan.
Nurul Qomariah menyebutkan bahwa di
Indonesia tidak seperti negara-negara maju yang memiliki perempuan jurnalis
yang hampir merata dengan jurnalis laki-laki. Walaupun tidak spesifik menyebut
negara mana –kecuali finlandia mencapai 49%, melalui artikelnya yang berjudul
Jurnalis Perempuan dan Citizen Jurnalisme mencapai angka 30%-40%. Keseimbangan
ini disebutnya karena di negara-negara maju jurnalis merupakan profesi yang
sudah populer sebagaimana dokter, guru,
maupun artis seni peran.
Sementara di Indonesia, walaupun
sampai hari ini perkembangan media massa berkembang pesat, jurnalis belum
menjadi profesi yang populer di kalangan perempuan-perempuan Indonesia. Itulah
sebabnya sampai tahun 2003, berdasarkan data Persatuan Wartawan Indonesia
jumlah wartawan perempuan di Indonesia hanya berkisar 10,5% atau 1.079 orang
dari 10.278 anggota PWI yang terdaftar.
Salah satu yang menarik dari
artikel Nurul Qomariah adalah ulasannya tentang perempuan jurnalis dan majalah
perempuan di masa perjuangan (di mulai dari tahun 1904) yang berorientasi
menghapus penidasan perempuan dari kolonialisme dan ketidakadilan gender.
Bahkan di artikel itu melalui penelitian Myra Sidharta, peneliti sastra
Tionghoa, beranggapan bahwa majalah perempuan pertama adalah Tiong Hwa Wi Sien
Po, yang terbit pada 1906 dan diasuh seorang perempuan peranakan, Lien Titie
Nio.
Selanjutnya berturut-turut terbit
majalah perempuan Poeteri Hindia yang dipimpin R. T. A. Tirtokoesoemo, Bupati
Karanganyar, yang kemudian menjadi Ketua Perkumpulan Boedi Oetomo. Di Padang,
Soenting Melajoe, terbit pertama kali pada 6 Juli 1912. Surat kabar mingguan
ini diterbitkan oleh Snelpersdrukkerij. Juga "Orang Alam
Minangkabau", dipimpin Datoe Soetan Maharadja yang diselingi pantun dan
syair-syair. Sementara terbit pula majalah yang menggunakan bahasa lokal yakni
Perempuan Sworo yang terbit di Pacitan, Jawa Timur. Di Solo Hesti Oetama,
majalah perempuan dwimingguan yang terbit pada 1918.
Sementara buat perempuan keturunan
Arab, terbit majalah bulanan Isteri Worosoesilo, 1918, yang menggunakan aksara
dan bahasa Arab serta tidak berilustrasi. Puncak euforia majalah perempuan era
20-an ditandai munculnya Doenia Isteri, dwimingguan yang mengaku soerat chabar
perempoean yang esa di Hindia ini. Dicetak pertama kali dengan teknik handset
serta berhias foto hitam putih, pada 1922 Doenia Isteri mendorong kemajuan yang
berguna untuk kaum perempuan.”[6]
Patut disayangkan sebagaimana juga
disebutkan dalam tulisan itu, telah terjadi pergeseran orientasi yang
melibatkan perempuan di dalam pemberitaan media. Jika disebutkan di masa-masa
perjuangan media-media perempuan yang bermunculan adalah dalam rangka mengangkat
harkat dan martabat perempuan dari penjajahan, sebaliknya, di era kemajuan
media massa, perempuan justru berbalik menjadi objek pemberitaan dengan
unsur-unsur konsumtif dan hedonis.
Perempuan memanfaatkan media
Ada empat fungsi media massa. Pertama,
pengawasan (surveillance), terhadap ragam peristiwa yang dijalankan melalui
proses peliputan dan pemberitaan. Kedua, menghubungkan (correlation),
mobilisasi massa untuk berpikir dan bersikap atas suatu peristiwa atau masalah.
Transmisi Kultural (cultural transmission), pewarisan budaya, sosialisasi.
Keempat, Hiburan (entertainment)[7]
Dalam konteks transformasi sosial,
empat fungsi media di atas sangat signifikan dalam memangkas hambatan-hambatan
sosial-kultural perubahan sosial. Melalui fungsi pengawasannya, arus informasi
dapat cepat menembusi sekat-sekat jarak dan waktu dengan implikasi informasi
yang akan cepat menyebar luas. Fungsi korelasi yang dimiliki media, ditunjang
dengan platform baru berupa jaringan internet mampu menggerakkan masyarakat
menjadi kelompok-kelompok kritis yang tanggap persoalan akibat terliterasikan
melalui arus informasi. Melalui proses itu, proses sosialisasi akan diiringi
dengan internalisasi nilai-nilai dalam proses transmisi kultural.
Perubahan sosial yang digerakkan
media, terutama media sosial dalam konteks hari ini dapat disaksikan dalam
beberapa peristiwa semisal Arab-Spring, Occupy Wall Street, hingga Revolusi
Payung Hongkong. Bahkan dalam kasus-kasus seperti terpilihnya Barack Obama,
Jokowi, hingga Anis-Sandi sebagai presiden dan gubernur, media massa sangat
berperan dalam membangun suatu kelompok bukan saja sekadar ajang kampanye,
tetapi juga menggerakkan sampai tingkatan praktis.
Penelitian Rehia.K.I Barus dalam
Pemberdayaan Perempuan melalui Media Sosial menarik diungkapkan di sini tentang
pemanfaatan media sosial sebagai wadah aktif dalam gerakan pemberdayaan
perempuan. Melalui studi kasusnya terhadap Hapsari, suatu organisasi
pemberdayaan perempuan di Sumatra Utara, dikemukakan bahwa media sosial sangat
berpeluang dijadikan sebagai salah satu unsur yang signifikan dalam
menggalakkan pemberdayaan perempuan. Melalui penelitiannya itu, media sosial
facebook yang digunakan Hapsari, sangat efektif menggalang opini dalam
pembentukan mindset yang seharusnya tentang perempuan dan perannya di
masyarakat.
Salah satu kesimpulan dari
penelitian itu adalah, walaupun sudah memanfaatkan media sosial sebagai
strategi pemberdayaan, tetap ditemukan kendala berupa minimnya pengahayatan
tentang kemanfaatan penggunaan media sosial sebagai salah satu strategi dalam
mengawal agenda-agenda perubahan. Kendala itu disimpulkan menjadi dua, yakni
kurangnya SDM dan manajerial yang tidak terkoordinir di dalam menggunakan media
sosial.
Terlepas dari penelitian yang
dikemukakan di atas, perempuan sangat berpeluang mengemukakan aspirasinya
dengan memanfaatkan kemudahan teknologi media informasi. Namun sebelumnya,
penting disadari bahwa perempuan mesti membangun sendiri bahasanya, menulis
sendiri pikiran-pikirannya, yang melalui cara itu akan jauh lebih otentik dan
bebas dari stigma-stigma bernada maskulin yang juga beroperasi melalui bahasa.
Dengan kata lain, perempuan harus mencari teksnya sendiri, membangun budayanya
yang lebih egaliter dan emansipatif melalui medianya sendiri.
Daftar bacaan:
1.
Amsal, B (2012). Media Massa dan Budaya Populer (Studi pada Mahasiswa
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar).(Skripsi)
2.
Andriani, T. (2011). Media Massa dan Konstruksi Gaya Hidup Perempuan.
(Jurnal Marwah UIN Sultan Syarif Kasim Riau). Vol. 10. No. 2 hal. 1-16
3.
Arifin, N. (2001) Wajah perempuan dalam media massa. (Jurnal Online)
http://download.portalgaruda.org/article.php?Article=117021&val=5336
4.
Barus, R.K.I. (2015). Pemberdayaan Perempuan melalui Media Sosial.
(Jurnal Simbolika Univeritas Medan Area). Vol. 1. No. 2. Hal. 113-123.
5.
Halim, N. A. (2011). Media dan Pencitraan Perempuan. (Jurnal Marwah UIN
Sultan Syarif Kasim Riau) Vol. 10. No. 2 hal. 14-25.
6.
Ilyas. (2010). Perempuan Dalam Pengelolaan Surat Kabar Di Sulawesi
Tengah (Studi Posisi dan Peran Perempuan dalam Media Cetak). (Jurnal Academica
FISIP Tadulako). Vol. 2. No.1. Hal. 359-372.
7.
Islam, N. (2008). Perempuan Dalam Media Massa Di Indonesia: Analisis Isi
Media Massa Tentang Sosok Perempuan Dalam Paradigma Kritis. (Jurnal Yin Yang
IAIN Purwekerto). Vol. 3. No. 01 hal.89-100.
8.
Luviana. (2012). Jejak Jurnalis Perempuan, Pemetaan Kondisi Kerja
Jurnalis Perempuan di Indonesia. (Online) https://ajiindonesia.or.id/upload/content/Jurnalis-Perempuan-FA.pdf
9.
Nayahi, M. (2015). Objektifikasi Perempuan oleh Media: Pembakuan
Identitas Perempuann dan Dominasi Kekuasaan Laki-Laki (Jurnal Online)
http://www.jurnalperempuan.org/blog2/objektifikasi-perempuan-oleh-media-pembakuan-identitas-perempuan-dan-dominasi-kekuasaan-laki-laki
10. Piliang, Y. A. (2004). Dunia
yang Dilipat:Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan
11. Qomariah, N. (2011). Jurnalis
Perempuan dan Citizen Jurnalism. (Jurnal UIN Sultan Syarif Kasim Riau). Vol.
10. No. 2 hal. 1-13.
---
Catatan belakang:
[1] Seorang feminis yang juga
pengamat media, Lisbeth van Zonen kemudian memberikan masukan tentang bagaimana
melihat kiprah perempuan di media-media: 1. Berapa banyak perempuan yang sudah
terlibat di media? 2. Apakah mereka sudah dalam posisi sebagai pengambil
kebijakan dalam proses produksi/dalam redaksi? 3. Potensi apa saja yang mereka
punyai untuk membawa isu perempuan di media? Feminis multikultural, Angela Mc
Robbie kemudian menambahkan teori untuk melihat bagaimana posisi perempuan di
media: 1. Apakah perempuan telah tampak di media? Jika tidak, mengapa? 2. Jika
perempuan tampak, lalu di mana posisi mereka? 3. Bagaimana cara mereka
menegosiasi keputusan? 4. Strategi apa yang mereka lakukan untuk mengorganisir
dirinya?
[2] Piliang, Y. A. Dunia yang
Dilipat:Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan
[3] Parmato, K. Tubuh dalam
manifesto sejarah, Michel Foucault, dan seksualitas Deskripsi
Dokumen:http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=20159860&lokasi=lokal
[4]
http://www.jurnalperempuan.org/blog2/objektifikasi-perempuan-oleh-media-pembakuan-identitas-perempuan-dan-dominasi-kekuasaan-laki-laki
[5] Luviana melalui Jejak Jurnalis
Perempuan, Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia menuliskan
bahwa hingga tahun 2011 Dewan pers mencatata jumlah media cetak mencapai 1.076,
jumlah radio 1.248 dan jumlah stasiun televisi mencapai 76, serta terdapat 176
stasiun televisi yang mengajukan izin baru. Akan sangat menarik jumlah pasti
perempuan di dalam banyaknya media yang ada.
[6] Qomariah, N. Jurnalis Perempuan
dan Citizen Jurnalisme
[7] Amsal, B (2012). Media Massa
dan Budaya Populer (Studi pada Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Makassar).
---
Terbit juga di Kalaliterasi.com