A
nation without clean toilet is a nation without culture. Begitu slogan
World Toilet Organization tentang toilet sebagai indikator keberbudayaan.
Bangsa tanpa toilet bersih, adalah bangsa yang tak berkebudayaan.
Cina kerap jadi momok dari pada pokok belajar di negeri
ini, bahkan juga bilang: kalau tidak punya toilet bersih, adalah negara
yang tidak memiliki masa depan.
Seberapa pentingkah toilet itu sebenarnya, sampai-sampai
menjadi tolok ukur kebudayaan?
Toilet, seperti juga ruang lain diciptakan, juga
representase dari cara pandang kebudayaan tertentu. Dengan kata lain, toilet
–seperti beragam bentuknya di tiap bangsa-- sebenarnya cara manusia membaca dan
mengeja kebudayaannya.
Barangkali itulah sebabnya toilet juga penting "dimanusiakan".
Toilet, bukan sekadar tempat "sisa-sisa" aktivitas perut dibuang,
tapi bagaimana tubuh manusia menjadi lebih nyaman di dalamnya.
Ketika manusia masih belum terpisah dengan alam, buang hajat
sering dilakukan dengan cara konvensional. Biasanya dilakukan di belakang
pohon, di pinggir kali, atau di sekitar semak-semak belukar. Tapi, sejarah
mencatat, manusia mahluk berbudaya, manusia mahluk yang punya rasa malu, itu
akibatnya manusia perlu toilet yang mencerminkan rasa malunya, juga tentu
kebudayaannya.
Kompas (Minggu, 12 Maret) menurunkan berita bagaimana
beberapa tempat-tempat umum di Jakarta, sudah memandang toilet dengan cara
berbeda. Toilet di berita diturunkan Kompas akhir pekan ini, dibuat lebih
menyerupai kamar-kamar merepresentasekan budaya-budaya luar Indonesia.
Sebut saja tempat seperti Grand Indonesia mendekorasi
toilet seperti sebuah ruangan berdesain Maroko. Atau membuat toilet dengan
tema-tema ruangan seperti kereta api.
Juga misalnya, pusat perbelanjaan Pondok Indah Mal mendesain toiletnya berdasarkan konsep keluarga. Sehingga, jika Anda berbelanja
dan menyempatkan buang hajat di sana, Anda tidak mesti repot akibat anak-anak
yang tidak memiliki toilet khusus.
Pergeseran cara memberlakukan toilet seperti ini menjadi
perubahan khas bahwa toilet juga sebenarnya representasi kebudayaan tertentu.
Bagaimana tubuh dipandang dan dinyatakan walau hanya di dalam toilet.
Sayangnya sekarang tidak semua toilet ditemui seperti ditunjukkan tempat-tempat di atas. Bahkan, toilet masih jarang ditemukan
di ruang publik tempat mayarakat beraktivitas. Tapi jika ada, itu hanya dibuat
seadanya. Minim perawatan.
Tidak bisa dipungkiri toilet masih menjadi ruang terabaikan dengan mengistilahkannya sebagai "kamar
kecil", "kamar belakang" dan atau "kamar pipis", yang
semuanya menganggap remeh toilet.
Padahal sebagaimana aktivitas tubuh yang lain, toilet harus
mewakili tempat tubuh dapat beraktivitas dengan baik. Anggapan bahwa aktivitas
pipis atau buang hajat bukan aktivitas primer manusia, seolah-olah membuat
toilet hanya diperlakukan seadanya.
Tidak tersedianya toilet higienis di tempat-tempat umum
menandai bahwa tubuh masih menjadi arena prasangka yang menempatkan jiwa lebih
agung dari tubuh. Persepsi kebudayaan seperti ini, mungkin saja yang menguat di
kehidupan sekitar kita.
Saya ambil contoh mengapa toilet masjid masih jauh
lebih kumuh dibanding pusat-pusat perbelanjaan. Atau, mengapa toilet higienis
sangat susah dipraktikkan dalam rumah kita sendiri? Itu akibat tubuh masih jauh
lebih rendah dari jiwa manusia. Atau masih dianggap remehnya hal-hal yang
berkaitan dengan tubuh.
Sudah dikatakan sebelumnya, toilet merupakan tempat tubuh
beraktivitas. Di mulai dari toilet, orang-orang memugar dan memoles tubuhnya.
Coba Anda berlama-lama di dalam toilet pusat perbelanjaan, pasti di sana
lengkap dengan cermin banyak orang bersolek ria. Itu berarti tubuh adalah
ikhwal yang juga penting diperhatikan.
Tapi itu juga berbeda di tempat umum yang belum canggih. Di pusat-pusat perbelanjaan, toilet sudah
mencerminkan pandangan berorientasi kesehatan. Namun, jika berkunjung di
tempat-tempat lain selain seperti itu, toilet malah menjadi tempat menjijikkan.
Perbedaan ini akibat selain minimnya perhatian, tentu juga
disebabkan toilet yang mencerminkan perbedaan kelas masyarakat. Toilet yang
ditemukan di pusat-pusat perbelanjaan di atas, sangat wajar jika nampak sehat
dan bersih tiada lain akibat dikelola dengan budget yang tinggi. Bahkan memang
di tempat-tempat itu menjadi lokasi perputaran modal yang pesat. Toilet di
semisal mal, hotel, kantor-kantor dlsb., memang kawasan kelas menengah
beraktivitas.
Tapi, sebaliknya, toilet di tempat umum yang mudah diakses di
pasar-pasar, terminal, rumah sakit, merupakan tempat-tempat yang tidak sama
sekali mencerminkan kepentingan kelas tertentu. Imbasnya, toilet akhirnya
diberlakukan seadanya.
Toilet yang nampak seadaanya dan bahkan kotor dapat dilihat
dari siapa-siapa yang sering kali menggunakannya. Di mal-mal, bisa saja yang
menggunakan toilet adalah orang-orang kelas menengah yang teredukasi
dengan baik bagaimana memperlakukan toilet. Mereka bahkan tahu menggunakan
alat canggih di dalam toilet yang jarang ditemukan di dalam toilet di
tempat lain.
Tapi, jika di terminal, di pasar-pasar tradisional, misalnya,
toilet menjadi buruk akibat orang-orang yang belum memahami arti penting
kebersihan toilet. Bahkan, toilet yang kotor dianggap sudah biasa.
Hal yang penting dari kebersihan toilet juga adalah ada
tidaknya pengelola. Sangat jarang toilet-toilet umum dibekali dengan pengelola
yang mengerti arti penting kebersihan. Di pom-pom bensin, misalnya, toilet
hanya dikelola orang-orang dengan seadanya tanpa pengetahuan kebersihan yang
memadai.
Sangat lucu, jika mendengar bahwa perlu satu abad hanya mau
mengubah mindset masyarakat kita dalam memperlakukan toilet dengan baik.
Padahal, sebenarnya jika tubuh adalah juga sebagaimana jiwa yang mesti dirawat,
tentu saja toilet juga mesti mewakili kesadaran semacam itu. Di dalam ruang
yang bersih, terdapat toilet yang bersih pula.
Syahdan, sekarang kalau mau jujur, sulit menemukan toilet
bersih di sekitar Anda. Toh kalau ada, itu hanya ada di tempat-tempat mewah nan
mentereng. Makanya wajar jika suatu waktu Anda berkendara di jalan, apabila
terjebak macet, misalnya, butuh menunggu lama sampai ke tempat yang Anda duga
menyediakan toilet umum. Sialnya, ketika sampai, toilet yang Anda pakai tidak
menyediakan gayung dan air yang cukup. Memang, butuh satu abad untuk menemukan
toilet seperti yang Anda harapkan.