Sebidang Tanah dan Bagaimana Cara Kita Menyikapinya

Pagi ini setelah melihat beberapa berita di televisi, saya seketika berkeinginan menanam pohon. Entah mengapa dalam benak saya menanam pohon merupakan tindakan yang mulia. Mungkin karena pohon begitu penting bagi ekosistem kita. Tanpa pohon, kandungan oksigen di udara bisa menyusut. Apalagi kehidupan di perkotaan, oksigen sangat minim bagi aktifitas orang-orang di dalamnya.

Tapi di mana saya harus menanamnya? Sekarang, tempat tinggal saya tidak memiliki sebidang tanah tempat tanaman tumbuh. Di depan rumah, hampir semuanya adalah lantai beralaskan tegel batu. Sementara di depannya lagi sudah menjadi bagian jalanan umum. Ini masalah.

Dan saya kira masalah itu membuat hampir semua kawasan perumahan di kota kehilangan lahan tanam untuk menanam tanaman. Ketika diamati, hampir semua tetangga saya di sekitar rumah mengalami hal yang sama. Tanah terbuka yang banyak fungsinya itu nyaris tidak dimiliki setiap rumah. Saya kira, masalah banjir, misalnya, dimulai dari hilangnya sebidang tanah dari setiap rumah orang-orang.

Padahal jika mau dipikirkan baik-baik, menyisihkan sebidang tanah di pekarangan rumah memiliki banyak kegunaan. Manfaat yang paling sering didapatkan adalah menjadi tempat menanam beberapa tanaman. Misalnya saja beberapa jenis bunga-bungaan, atau sayur mayur yang gampang dikelola. Manfaatnya yang lain tentu menjadi penyaring polusi udara yang mengitari lingkungan kita. Bunga hias saja, walaupun itu hanya berupa kaktus, memiliki hubungan organik dengan udara dengan cara menetralisir kandungan beracun dalam udara.

Baiklah, akibat bergesernya alam berpikir manusia saat ini, rumah –sebagai daerah mukim-- bukan lagi satuan organik yang seharusnya terhubung dengan lingkungan sekitarnya. Akibat hilangnya sebidang tanah, apapun yang datang menggangu menyusup di dalam mukim akan segera disingkirkan secepat mungkin.

Misalkan saja, sebidang tanah dapat difungsikan sebagai tempat pembakaran sampah sehari-hari. Biasanya jika orang membangun rumah, sebidang tanah itu bagian penting yang harus ada. Entah berada di halaman depan atau belakang rumah, sebidang tanah yang dipunyai kadang dipakai untuk mengelola sisa-sisa sampah yang tidak dapat lagi dipakai. Entah dengan cara dibakar, atau dibuatkan pupuk bagi tanam-tanaman.

Sekarang, diperkotaan, khususnya di kompleks-kompleks perumahan, sampah menjadi momok yang sangat dibenci. Hilangnya sebidang tanah juga mengubah cara orang mengelola sampah. Sampah yang masih bisa dikelola secara mandiri, akibat tidak memiliki lahan pengelolahan, diserahkan begitu saja kepada petugas kebersihan. Padahal jika setiap rumah memiliki sebidang tanah, sampah-sampah yang sebenarnya masih bisa dikelola sendiri, bakal tidak akan membuat pemerintah kota repot hanya mengurusi sampah.

Saya misalnya, setiap dua hari sekali harus rutin menggantung sekantung sampah akibat tidak adanya sebidang tanah untuk digunakan sebagai tempat pembakaran. Bahkan sekarang saya agak sulit menemukan tempat-tempat sampah yang dibuat semi-permanen setiap rumah sebagai tempat pembungan sampah. Jika biasanya saya masih menemukan sekotak kecil di beberapa rumah sebagai tempat sampah, sekarang malah sebaliknya, yang ada adalah gantungan dua tiga kantung sampah di tiap pagar rumah.

Padahal, mengelola sampah, dengan cara dibakar, misalnya, adalah aktifitas yang tidak merugikan, bahkan mengasyikkan. Selama jumlah sampah tidak menghasilkan asap pembakaran yang mengotori udara (hal ini akan nampak adil jika tempat pembakaran tidak jauh dari daerah hijau yang ditumbuhi pepohonan), maka itu sah-sah saja.

Saya teringat Pramoedya Ananta Toer ketika di masa tuanya yang setiap sore sudah berjongkok-jongkok di belakang rumahnya membakar sampah. Membakar sampah, dikatakan Pram sebagai pekerjaan rutin di masa tuanya setiap sore. Begitu yang saya baca di salah satu artikel majalah Play Boy beberapa tahun lalu. Bahkan, membakar sampah bisa menjadi aktifitas yang ikut membersihkan pikiran dan perasaan yang banyak tercemari godaan sana-sini. Ini yang membuat membakar sampah menjadi mengasyikkan, duduk ikut merenung bersaaam dengan sampah-sampah yang terbakar habis.

Sebidang tanah juga berfungsi sebagai daerah resapan air jika hujan tiba. Apalagi jika di situ ditanami beberapa tumbuhan. Tapi, karena sebidang tanah yang banyak dialihfungsikan menjadi bangunan tambahan (lihat perumahan yang awalnya memiliki sebidang tanah, tapi ditutupi dengan alasan ingin menambah ruang baru, atau tempat parkir kendaraan), air yang datang ketika hujan, misalnya, seketika diarahkan langsung menuju selokan air. Malangnya, hampir setiap perumahan, lintasan air di selokan nyaris tidak terhubung dengan baik. Bahkan banyak di antaranya tidak memiliki ujung yang menuju tempat penampungan atau pembuangan akhir.

Di kota Makassar, jika musim hujan tiba, di beberapa titik kota bakal mengalami banjir. Selain minimnya daerah resapan air, hal itu akibat tidak terhubung baiknya selokan-selokan kota sebagai jalur lintasan air.

Berdasarkan kecamatan saja, Kepala BPBD Makassar M Yunus Said mengatakan ada empat kecamatan di kota Makassar yang rawan banjir ketika musim penghujan tiba. Empat di antaranya adalah Kecamatan Manggala, Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalate, dan Kecamatan Ujung Tanah (Tribun Timur.com).

Akibat empat kawasan itu yang dinyatakan rendah, juga disebutkan belum adanya sistem saluran air yang memadai yang mampu mengaliri genangan air ketika banjir.

Pemukiman rawan banjir disebutkan Sindonews.com, misalnya, sebagian besar di wilayah timur Makassar yakni Kecamatan Manggala meliputi, BTN Tritura RW, Makassar Indah RW16, Jalan Tamangapa Raya III, Kampung Bontoa RW05, Romang Tangaya RW06, Blok X dan Kompleks Pemda RW11, Perumnas Antang Blok VIII RW08, Kompleks IDI Jalan Laimena RW02 dan RW05, dan Jalan Swadaya Mas RW03.

Selanjutnya, Kecamatan Biringkanaya yang terdiri atas Kelurahan Paccerakkang Kampung Sipala RW04, BTN Mangga Tiga RW012, Katimbang RW015, Nusa Harapan Permai RW019, Bukkang Mata RW020, BTN Kodam III RW022. Kecamatan Tamalanrea meliputi Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Blok AC, AD, AE, AF, Perumahan Bung. Sedangkan kawasan banjir Kecamatan Panakukang yakni Asrama Polisi Panaikang RW1, RW2 dan RW7, serta belakang Kodam VII Wirabuana RW02 dan RW05 (Sindonews.com).

Sementara kalau diamati, hampir ada sepuluh lebih titik jalan raya di Makassar yang bakal kebanjiran jika hujan tiba. Jalan AP Pettarani, Boulevard, Masjid Raya, Maccini Raya, Batua Raya, Perintis Kemerdekaan, Jalan  Hertasning,  Jalan Malengkeri, Pongtiku, Pelita dan Jalan Sunu, adalah titik-titik rawan banjir akibat tidak tersedianya saluran air yang memadai (diambil dari berbagai sumber).

Seandainya saja setiap warga yang tinggal di kawasan perumahan disertai pengetahuan yang baik tentang eksosistem, sudah tentu hal-hal di atas minim ditemukan. Namun sayangnya, paradigma masyarakat perkotaan akibat paham kehidupan yang mekanik, kehilangan kesadaran mengenai cara hidup yang secara organik terhubung dengan lingkungan sekitarnya.

Misalnya, tindakan warga perkotaan yang lebih memilih meninggikan bangunannya daripada membersihkan selokan di sekitar rumahnya, adalah sikap yang mencerminkan cara hidup individualis-mekanistik tinimbang membangun hubungan kebermanfaatan terhadap daerah di mana ia tinggal.

Memilih menyerahkan urusan sampah kepada petugas kebersihan semata-mata, juga tindakan yang sebenarnya mencerminkan “tidak ingin repot” yang banyak dilakukan warga perkotaan. Cukup dengan membayar uang kebersihan tiap bulan, seolah-seolah masalah sampah telah diselesaikan.

Tindakan preventif daripada produktif seperti di atas dapat dibuat dalam daftar panjang, yang mencerminkan betapa diam-diam tanpa dipertanyakan secara kritis menjadi sikap batin masyarakat perkotaan. Malangnya hal-hal demikian sudah menjadi cara hidup sehari-hari warga perkotaan.

Kembali ke minimnya sebidang tanah, tidak dimilikinya sebidang tanah bagi warga pemukiman di perkotaan, juga berimbas kepada minimnya ruang publik. Ruang publik sebagai medan interaksi, justru menjadi medan yang sulit dirasakan warga kota akibat hilangnya sebidang tanah sebagai arena pertemuan. Jika dahulu sebidang tanah juga berfungsi sebagai arena pertemuan yang sewaktu-waktu bersifat publik, sekarang imbas diprivatisasi bertukar wajah menjadi areal terbatas bagi keluarga sendiri.

Padahal sebidang tanah secara sosial sangat menunjang interaksi antara warga pemukiman.  Namun, hanya karena baralih fungsi, dan dibangun dengan menggunakan pagar pemisah, ruang interaksi yang menjadi bagian fundamental dalam kehidupan berkomunitas menjadi hilang dan tidak berfungsi sama sekali.

Anak-anak kecil yang sekarang banyak ditemukan di pusat perbelanjaan yang menyediaka arena bermain, juga contoh sederhana ketika sebidang tanah yang bisa difungsikan sebagai areal bermain hilang akibat beralih guna. Kini, anak-anak justru banyak menyeruak di lorong-lorong, jalan raya, game station, akibat tanah yang dimiliki setiap rumah kadang diambil alih oleh kota demi perluasan jalan raya.

Apabila menelisik pembangunan yang massif belakangan, entah perluasan jalan raya, dan pembangunan daerah perkantoran dan pertokoan, sebidang tanah menjadi korban pertama demi perluasan bangunan. Toh jika ada, itu malah tidak sesuai dengan aturan perkotaan yang berlaku.

Bahkan sekarang, di perkotaan, sebidang tanah menjadi barang langka dan dijual mahal. Kelangkaan tanah dan mahalnya tanah, ditengarai akibat bukan melihat fungsi tanah bagi keberlangsungan ekosistem, melainkan dilihat sebagai properti yang bersinggungan dengan pembangunan.

Dengan cara pandang demikian tanah bukan lagi diukur atas dasar fungsi-fungsi ekosistemnya, tapi hanya sekadar berdasarkan nilai ekonomis belaka. Cara pandang demikianlah dalam skala yang massif akhirnya menciptakan kawasan perkotaan seperti hutan beton.

Dengan cara pandang yang sama membuat tanah di sekitar mukim saya menjadi langka. Akhirnya jangankan unsur-unsur biologis yang banyak terkandung di dalamnya, untuk menanam pohon saja begitu sulit dilakukan di atasnya.

Sepertinya keinginan saya ini sulit dipraktikkan. Atau bisa dikonversi menanam bunga-bungaan dalam pot-pot kecil dari botol kecil. Tapi, mau ditaruh di mana? Pekarangan rumah sudah menjadi parkiran motor. Selebihnya menjadi tempat jemuran pakaian.

Mungkin hal yang sama banyak dialami tetangga saya, atau orang-orang yang bermukim di sepanjang lorong-lorong kota. Sehingga hal yang mereka lakukan menggantung di mana saja tumbuh-tumbuhan sejauh jika memiliki tembok dinding. Ini pemandangan yang banyak akan Anda temui jika berkeliling di lorong-lorong sepanjang daerah pemukiman di Makassar. Anehnya, aksi ini menjadi program utama pemerintah kota. Menghijaukan lorong-lorong. Kok bisa ya?