Mengakhiri Fanatisme dan Literalisme

Murthada Muthahhari
Pemikir Islam Iran
sekaligus penggerak Revolusi Islam Iran 1979


Catatan kecil Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman

SEPANJANG manusia bergerak atas dorongan ilmu pengetahuan, sepanjang itu pula ia tidak akan lepas dari rintangan-rintangan yang menghambat perkembangan pemikirannya. Bahkan, secara epistemik, pengetahuan manusia tidak serta merta terbebas dari rintangan yang inheren menawannya. Dengan kata lain, sejauh pengetahuan disebut pengetahuan, maka ia  mesti dibebaskan dari gejala-gejala yang memenjarainya dari dalam.

Apabila mengacu kepada empat konsep ego Murthada Muthahhari, seorang pemikir modern Iran, pengetahuan manusia secara berangsur-angsur akan jauh lebih baik jika mampu melewati empat lapis ego yang menjadi rintangannya.

Pertama ego diri. Ego diri adalah jenis hasrat yang mengacu kepada individu sebagai titik tolaknya. Ego diri, dalam kaitannya dengan pengetahuan, hanya memfungsikan pengetahuannya berdasarkan kepentingan pribadinya. Rasa egoisme, yang kerap muncul sebagai gejala kejiwaan, adalah salah satu cara ego diri beroperasi untuk memenuhi kebutuhannya dirinya.

Kedua, ego kekeluargaan. Ego keluarga merupakan jenis ego diri yang skalanya mencakup ikatan sedarah atau keturunan. Ego kesukuan, ras, dan kebangsaan, merupakan perkembangan mutakhir yang dapat dilacak bersumber dari ego kekeluargaan. Ego kekeluargaan, sebagaimana prinsip ego diri, merupakan ego yeng mengedepankan kepentingan-kepentingan keluarga dari pada kepentingan lainnya.

Ketiga adalah ego kebangsaan. Dalam kehidupan yang lebih luas, ego kebangsaan seringkali dirumuskan di dalam konsep-konsep seperti nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air dlsb, yang menghendaki bangsa sebagai kesatuan utama dari ikatan-ikatan lain yang bersimpangan dengannya.

Yang keempat adalah ego universal, atau ego alam semesta. Ego jenis ini adalah ego yang mendudukkan kepentingan alam semesta sebagai hal yang paling utama. Ego semesta hanya dapat difungsikan jika menerapkan prinsip-prinsip berpikir berdasarkan akal universal. Ego universal, sering disebutkan Murthada sebagai capaian akhir dari segala kepentingan yang dipunyai umat manusia.

Ilmu pengetahuan sebagai pencapaian manusia, selain seringkali menemukan hambatannya dari empat ego di atas, juga banyak dipenjara dari apa yang diistilahkan Francis Bacon sebagai konsep idola.

Konsep idola sebagaimana ego yang merupakan kodrat inheren dalam jiwa manusia, juga merupakan model penjara yang bekerja secara epistemik di balik pengetahuan yang menyimpang.

Empat idola yang dikatakan Bacon sebagai godaan yang mesti dihindari adalah, pertama, idola tribus (idols of the tribe). 

Idola tribus adalah keputusan yang diambil tanpa pertimbangan rasional yang matang dan hanya didasarkan kepada pengetahuan banyak orang (tribus). Idola tribus akibat sifatnya yang cenderung irasional dalam interaksi masyarakat akan membentuk prasangka-prasangka kolektif yang mengikutkan sentimentalisme tanpa mengindahkan etika sosial yang berlaku.

Kedua, idol of the cave. Ibarat teori alegory of the cave Platon, idol of the cave merupakan kecenderungan pengetahuan yang ditawan minat ataupun pengalaman pribadi dalam melihat dunia objektif sehingga menghalangi dan mengaburkan pandangan yang sebenarnya.

Ketiga, idola pasar (idol of the fora). Idola jenis ini merupakan idola yang paling banyak dialami masyarakat hari ini. Opini publik yang sering kali dijadikan cara pandang dan belum terverifikasi berdasarkan kriteria logis dan rasional adalah pengertian yang dirujuk idola ini. Dengan kata lain, kebenaran tidak dilihat dalam pengertian yang koheren, teruji, dan terpercaya, melainkan sejauh mana pengetahuan itu lahir dari suara yang massif dan total.

Keempat adalah idola theatra, atau idol of the theatre (teater). Idola teater diartikan ketika kecenderungan pengetahuan seseorang yang hanya menerima dogma-dogma, atau teori-teori dengan begitu saja tanpa melibatkan penyelidikan di dalamnya. Dalam perspektif Bacon ketika dia hidup, idola teater dipresentasekan dengan jatuh bangunnya pandangan-pandangan filosofis akibat lahirnya pandangan-pandangan baru. Jadi semacam teater, teori-teori datang silih berganti dan dilupakan pasca dipentaskan.

Fanatisme sebagai gejala sosial, yang menguat bersamaan dengan lahirnya keyakinan-keyakinan politik dan beragama abad 20, dapat ditelusuri dan ditengarai dari delapan penjara yang merintangi pengetahuan dari kodratnya sebagai eglightment of reality.

Artinya, fanatisme tidak dapat dimungkinkan terjadi apabila pengetahuan manusia tidak menjadi tawanan seperti yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, fanatisme secara epistemologi merupakan jalan mundur dari “kehadiran akal sehat” sebagai jalan utama pengetahuan itu sendiri.

Absennya akal sehat yang melahirkan fanatisme, dalam konteks keyakinan, dalam praktiknya (dan seperti yang dialami belakangan ini)- bahkan bisa berujung kepada pandangan-pandangan yang formalistik dan irasionalistik. Dalam agama, misalnya, fanatisme merupakan saudara kembar dari fundamentalisme keagamaan.

Budi F. Hardiman dalam esainya, Kesalehan dan Kekerasan di Kompas  Januari lalu mengemukakan menguatnya fundamentalisme, bukan sekadar peristiwa yang melibatkan ayat-ayat suci belaka, melainkan hilangnya akal sehat yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam berkeyakinan.

Secara tersirat, fanatisme yang sering menjadi latar belakang aksi-aksi kekerasan atau pelecehan terhadap kelompok lain, dapat terjadi akibat tidak mampunya ayat-ayat suci Tuhan didialogkan dengan realitas masa kini yang diperantai akal sehat.

Fanatisme selain merupakan saudara kembar fundamentalisme, juga disebabkan oleh tindak membaca realitas yang artifisial. Kenyataan yang berlapis-lapis baik secara epistemik maupun ontologik, yang tidak dapat diurai dan dipresentasekan berdasarkan jenis dan kelompoknya, dengan serta merta akan berdampak kepada cara pandang yang literal, baku, dan kaku.  

Dampak dari cara pandang demikian dengan sendirinya akan melahirkan pandangan yang monoton dan sempit. Selain itu, cara pandangnya hanya berkisar kepada apa yang diacunya saja dengan mengenyampingkan dialog sebagai efek sampingnya. Dengan kata lain, cara pandang literal adalah pemahaman yang didapatkan lewat cara baca terhadap konteks tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan yang mengitarinya.

Kaitan literalisme dengan teks sebagai sumber pengetahuan, apabila melihat cara pemahaman yang dialami kelompok-kelompok fundamental, disinyalir akibat cara memahi teks dengan menyingkirkan model pembacaan yang melibatkan konteks yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, teks semata-mata hanya dipahami hanya berdasarkan arti harfiahnya belaka.

Literalisme yang menjadi jalan membangun keyakinan, hanya karena menerima makna yang diterakan dalam teks itu sendiri, akhirnya akan menjadi makna final dari sebuah pencarian keyakinan. Artinya, bagi seorang literalis apa yang telah diungkapkan dalam teks tidak merujuk kepada sesuatu di luarnya, melainkan apa yang telah dituliskan dalam teks itu sendiri.

F. Budi Hardiman dalam Seni Memahaminya menyatakan literalisme dapat muncul dalam berbagai bentuk seperti misal dalam bidang hukum, politik, sejarah, dan bahkan agama. Hardiman juga menyatakan literalisme yang paling banyak dikenal dan menguat belakangan ini adalah literalisme skriptualis yang mengemuka dalam sebagian besar orang-orang beragama.

Mengacu kepada Seni Memahaminya F. Budi Hardiman, ada tiga alasan pokok mengapa literalisme skriptualis sangat penting untuk diantisipasi.  Pertama berkaitan dengan agama sebagai cara pandang yang telah mengakar kuat dalam pemahaman dan pembatinan masyarakat. Keyakinan yang kuat ini berasal dari teks kitab suci sebagai dasar utama membangun keyakinan. Dalam konteks ini kitab suci menjadi satu-satunya ukuran kebenaran yang jika menyimpang darinya akan dianggap sebagai pemahaman yang tidak murni.

Kedua, berkaitan dengan yang pertama, kitab suci sebagai satu-satunya sumber otoritatif diyakini sebagai satu-satunya pengetahuan yang mewakili pandangan yang sebenarnya. Akibat sifatnya yang otoritatif, keyakinan terhadap apa yang telah diterakan dalam kitab suci merupakan satu-satunya keyakinan final yang mengatasi ruang dan waktu maupun nalar. Imbas dari posisi yang demikian, keyakinan yang lahir di luar dari teks kitab suci akan dianggap sebagai pemahaman yang tidak memiliki kebenaran sama sekali.

Ketiga, kitab suci yang bersifat otoritatif, ketika bersinggungan dengan kekuasaan akan melahirkan legitimasi bagi kelompok tertentu untuk membenarkan perilakunya. Secara politis, keberadaan kitab suci bakal menguatkan posisi status quo kekuasaan tertentu.

Berkaitan dengan tiga hal pokok di atas, Hardiman menyatakan telah banyak menyeret orang kepada keyakinan membabi buta. Tanpa cara membaca yang beraneka ragam, secara pemaknaan akan melahirkan pemahaman  yang tunggal dan monolitik.  Dalam kegiatan politik, cara pandang keagamaan yang dangkal dan monoton sering kali tampak menjadi gerakan fundamentalistik.

Dalam Islam dan Radikalisme Telaah atas Ayat-Ayat Kekerasan dalam Al Quran, Dede Rodin berkesimpulan lahirnya penarikan kesimpulan terhadap teks al quran yang berbicara perang dan jihad, misalnya, akibat parsialnya pemahaman dalam memahami teks itu sendiri. Dede Rodin menunjukkan kata perang (iqtal) dan jihad (jihad) merupakan dua terma yang sama sekali berbeda, namun akibat pemahaman yang dangkal (literal) mengakibatkan untuk menunjukkan perbedaan yang dimaksud malah sulit dilakukan. 

Sementara berdasarkan penjelasan Muhammad Harfin Zuhdi melalui tulisannya yang berjudul Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis menjelaskan, kekerasan atas nama agama atau apa yang dikenal sebagai gerakan fundamentalisme Islam disebabkan pemahaman yang literal atau tekstual belaka. Akibatnya, pemahaman yang lahir dari cara memahami demikian disebutkan Harfin Zuhdi sangat lemah terhadap subtansi yang sebenarnya.

Coen Husain Pontoh dalam artikelnya yang berjudul Agama Dan Negara: Jejak Persilangan Kekerasan di situs Indoprogress menyatakan pula bahwa kekerasan agama sering kali ditengarai akibat pemahaman yang tekstual terhadap teks-teks dalam kitab suci. Bahkan dalam tulisannya itu, Coen Husain Pontoh menerangkan lebih jauh agenda-agenda politik kelompok keagamaan yang bepandangan tekstualis untuk merebut dan membentuk negara Islam.

Dari beberapa temuan di atas, dapat disimpulkan secara hipotesis bahwa fanatisme dan fundamentalisme agama diakibatkan pemahaman yang didasarkan kepada cara memahami teks kitab suci secara literalis dan tekstual. Dampak terjauh dari cara pandang yang demikian, seperti yang dialami di sekitar kita, adalah aksi-aksi kekerasan baik berupa kekerasan verbal berupa pengkafiran yang gampang disematkan kepada keyakinan yang berbeda, dan kekerasan fisik seperti yang sering ditunjukkan melalui aksi-aksi penyerangan dan bom bunuh diri.

***

Hermeneutika dalam diskursus filsafat diartikan secara berbeda-beda oleh pemikir yang berkiprah di dalamnya. Secara historik, hermeneutika juga dibagi berdasarkan pembagian periode klasik dan modern. Bahkan pengertian hermeneutika secara modern, sudah jauh lebih luas dari model hermeneutika klasik yang selama ini dipahami.

Secara etimologik, hermeneutika terkait dengan Hermes, tokoh mitologi Yunani yang bertindak sebagai utusan dewa-dewa untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada manusia. Sebagai kegiatan yang menghubungkan pesan antara bahasa dewa-dewa dan alam berpikir manusia, Hermes memiliki keahlian memahami bahasa dewa-dewa dan kemudian menerjemahkannya seperti maksud yang diinginkan dewa-dewa.

Kemampuan memahami yang dimiliki Hermes dinyatakan F. Budi Hardiman memiliki kerumitan tersendiri. Pertama, pihak yang menyampaikan pesan harus memahami pesan yang dibawanya. Kedua, agar maksud pesan dapat disampaikan, sang pembawa pesan harus membuat artikulasi yang sesuai dengan maksud pemberi pesan. Kesenjangan yang terbentang antara pemberi pesan, penyampai pesan, dan penerima pesan inilah yang nantinya menjadi medan kerja hermeneutika.

Sementara apabila diasalkan kepada arti Yunaninya, hermenueuein, hermeneutika berarti “menerjemahkan” atau “bertindak sebagai penafsir”. Di dalam kegiatan yang bersinggungan dengan teks, hermeneutika berarti kegiatan mengungkap dan menyingkap makna sebuah teks. Sementara yang dipahami teks di sini adalah jejaring makna atau struktur simbol-simbol yang tertuang entah dalam bentuk teks ataupun bentuk lainnya. Dengan kata lain, sebagai sebuah jejaring makna, teks juga dapat diartikan dalam bentuk sikap, perilaku, tindakan, norma, benda kebudayaan, hukum, ideologi, dlsb.  Sebagai sebuah makna yang ditangkap manusia, semua yang disebutkan sebelumnya, bahkan kebudayaan, agama, politik, masyarakat, dan negara adalah teks itu sendiri.

Erik Sabti Rahmawati melalui makalah Perbandingan Hermeneutika dan Tafsir, menjelaskan sebagai sebuah metodelogi, hermeneutika dapat dilihat dari tiga bentuknya. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya.

Yang kedua menurut Fazlur Rahman dalam Islam dan Modernitas adalah hermeneutika subjektif yang dikembangkan Hans-Georg Gadamer  dan Jacques Derrida. Hermeneutika yang diandaikan baik Gadamer atau Derrida bukan kegiatan mencari makna objektif seperti yang diasumsikan hermeneutika objektif dengan cara membayangkan alam pikiran penulis teks, melainkan memahami apa yang ada dalam teks itu sendiri. Bahkan berdasarkan pendirian hermeneutika Derrida, objektifisme tidak bisa dimungkinkan akibat makna teks itu sendiri hanya berupa jejak atas jejak makna dari teks sebelumnya.

Dalam Islam, Hassan Hannafi dan Farid Esack adalah dua tokoh yang memperkenalkan kegiatan menafsirkan teks sebagai intrepetasi untuk aksi. Jenis hermeneutika yang ketiga ini dikenal dengan nama hermeneutika pembebasan. Menurut Hanafi hermeneutika adalah rangkaian proses wahyu menjadi kenyataan, dari ilmu menjadi praktis, dan juga transformasi wahyu yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat kemanusiaan.  Dalam arti yang lain, kegiatan hermeneutika pembebasan melibatkan kesadaran historis dalam menegaskan makna yang sesungguhnya untuk memahami teks. Melalui kegiatan ini, kritik terhadap sejarah juga dilibatkan dalam memahami teks.

Sebagai pengantar untuk membaca Seni Memahaminya F. Budi Hardiman, saya akan mengemukakan uraian dua pemikir hermeneutika modern yang dibahas dalam buku  yang disebutkan. Yang pertama adalah Paul Ricoeur. Pemikir Perancis ini mengandaikan kegiatan hermeneutika sebagai cara menafsirkan teks sekaligus cara kenyataan dipahami di luar dari teks itu sendiri. Bagi Ricoeur, memahami teks tidak semata-mata merujuk di dalam teks, melainkan dunia di luar teks.

Dalam memahami teks, Ricoeur menyatakan refleksi sebagai hal yang penting dalam kegiatan hermeneutis. Melalui kegiatan refleksi, teks bukan satu-satunya sumber pemaknaan, melainkan dari teks itu sendiri juga mencerminkan makna hidup manusia. Dengan memahami teks, itu berarti jalan manusia untuk memahami kehidupannya.

Ricoeur juga menyatakan tanpa peran logos yang diperantai refleksi, kegiatan hermeneutis akan gagal menemukan makna baru yang bermanfaat bagi kehidupan.

Peran hermeneutis yang didasarkan atas peran logos melalui refleksi ini, merupakan bentuk “kesangsian” terhadap teks-teks sakral maupun simbol-simbol. Menurut Ricoeur, kesangsian ini dilakukan sebelum “memercayai” teks-teks sakral secara kritis yang akan dimediasi oleh logos. Ini berarti, memahami merupakan tindakan paling awal sebelum kepercayaan itu sendiri.

Konsep kunci dari Ricoeur adalah korelasi antara “memahami dan menjelaskan”.
Memahami dan menjelaskan dalam pemahaman Ricoeur hanya bisa dibedakan melalui  “penjarakan” sebagai konsep yang ditemui dalam hermeneutikanya. Distansiasi atau pengambilan jarak terjadi ketika seseorang menjelaskan teks yang sebelumnya mengambil bagian di dalamnya dengan sikap memahami. Di sini memahami berarti keterlibatan di dalam teks dengan menafsirkan, sementara menjelaskan merupakan kegiatan yang merefleksikan dan menganalis teks.

Di dalam kegiatan pemaknaan, distansi dianggap perlu bagi Ricoeur agar penafsir memiliki peluang memberikan makna baru yang tidak harus disesuaikan dan berkewajiban dengan maksud penulis teks. Ini sekaligus perbedaannya dengan Gadamer yang tidak mengindahkan distansiasi karena membuat penafsir berjarak dan sekaligus terasing dengan maksud penulis teks itu sebenarnya. 

Dengan sikap demikian, teks bagi Ricoeur adalah otonom. Penjarakan yang mengakibatkan teks dan penulis teks adalah sebab mengapa teks akhirnya mampu otonom dari “maksud” penulis teks. Ini juga merupakan upaya Ricoeur mengobyektifkan teks dari kegiatan pemaknaan yang bersumber dari penulis teks.  Implikasinya, makna dengan sendirinya bukan berada “di belakang” teks yang harus disesuaikan dengan maksud penulis teks, melainkan seperti yang diungkapkan Budiman, berada terang “di depan” teks yang kemudian menyingkap diri dihadapan pembaca.

Apabila mengacu ke dalam pemikiran Ricoeur, terutama bagaimana dia menempatkan hermeneutika bukan saja semata-mata kegiatan menafsirkan teks, melainkan juga kehidupan itu sendiri, maka kegiatan itu juga dapat ditarik kedalam problem merebaknya metode penafsiran atas teks yang selama ini cenderung memandirikan teks bagi konteks saat ini. Terutama penafsiran-penafsiran teks-teks keagamaan yang seringkali melahirkan penafsiran telanjang tanpa mempertimbangkan maknanya bagi konteks kehidupan itu sendiri.

Konsep refleksi yang ditawarkan Ricoeur juga menjadi penting bagi kegiatan menafsirkan karena dengan cara itu memungkinkan pemaknaan atas teks tidak serta merta dilahirkan atas keyakinan yang buta. Refleksi dalam hermeneutika Ricoeur adalah konsep yang penting karena melalui itu teks dapat dijadikan media untuk memahami makna kehidupan itu sendiri.

Refleksi juga memberikan peluang bagi perang logos agar mampu memberikan input kritis bagi kegiatan pemaknaan terhadap teks. Jika pengertian ini diterapkan ke dalam teks-teks kitab suci, terutama yang bercerita tentang iman, refleksi dapat menjadi cara untuk meningkatkan iman itu sendiri dengan cara “menaifkan” secara kritis. Sebagaimana iman yang baik selalu lahir dari kritisisme, maka “menaifkan” secara kritis teks-teks suci juga cara Ricoeur menawarkan cara mengimani teks dengan cara yang lebih kritis.

Konsep relasi “memahami dan menjelaskan” apabila digunakan sebagai pendekatan dalam memahami teks-teks sakral akan memberikan suatu cara memahami yang sebelumnya menempatkan peran logos di dalamnya. Melalui cara itu, penafsiran yang lahir dari memahami teks akan jauh lebih berkembang akibat tidak selalu mengikuti makna literlet yang dikandung teks itu sendiri. Hal ini tentu berkesesuaian dengan “distansiasi” yang bagi Ricoeur memberikan “keleluasan” bagi penafsir untuk menemukan makna baru tinimbang “di situasikan” sebagaimana makna yang sudah dimaksudkan penulis teks di belakangnya.

Pemikir yang kedua adalah Derrida. Walaupun dikatakan Hardiman ada kesan pemaksaan memasukkan Derrida sebagai bagian dari pemikiran tokoh yang mendaras hermeneutika, namun setidaknya ada satu alasan yang dikemukakan Hardiman mengapa pemikiran Derrida terutama melalui dekonstruksinya dikategorikan sebagai hermeneutika.

Disebutkan Hardiman, dekonstruksi yang merupakan salah satu konsep kunci Derrida, mengandaikan suatu tindakan interpretasi yang dilakukan secara radikal. Hardiman menyebut hermeneutika Derrida dengan sebutan “hermeneutika radikal”. Bagaimana itu mungkin?

Pertama, seperti yang sudah dijelaskan (hal278-282) dekonstruksi berbeda dari konsep-konsep yang dikemukakan pemikir hermeneutika sebelumnya. Jika dari Schleiermacher sampai Gadamer, hermeneutika bertujuan untuk membangun kembali makna asli atau memproduksi makna baru sesuai dengan horizon yang baru, maka dekonstruksi Derrida justru bukan dalam rangka memproduksi atau merekonstruksi kembali makna yang sudah ada. Dengan kata lain, dekonstruksi bukan untuk memahami susunan makna yang ditemukan di dalam atau di balik teks, melainkan menunda makna apa pun yang dapat diputuskan dalam suatu teks.

Kedua, sebagai kegiatan menafsirkan, dekonstruksi memberikan peluang yang besar kepada penafsir kepada “the other meaning” agar dapat dipertimbangkan sebagai makna yang baru dari makna yang ditunda. Artinya, kegiatan menunda dan “memagari” makna yang dimungkinkan dalam dekonstruksi bukan dalam rangkan memahami teks lewat “ketunggalan” makna, melainkan lebih kepada pengelolahan makna-makna yang beragam.

Saya kutipkan langsung apa yang dikatakan Hardiman tentang hermeneutika radikal Derrida: “dekonstruksi merupakan sebuah hermeneutik radikal karena mengandaikan bukan hanya tiadanya makna primordial yang dicari dalam interpretasi, melainkan juga menunjukkan tidak mungkinnya koherensi makna suatu teks, sehingga interpretasi bergerak sampai tak terhingga”.

Konsep kunci Derrida lainnya yang memiliki relevansi terhadap hermeneutika adalah differance. Kata ini tidak ada dalam kamus bahasa Perancis. Itulah sebabnya disebutkan Budiman, kata ini tidak dapat disebut konsep akibat tidak tersedianya pengertian harfiah yang diberikan kamus bahasa Perancis. Budiman menyebut differance sebagai nir-kata.

Differance disebutkan Budiman mengandung dua hal; pembedaan (spasialisasi) dan penangguhan (temporalisasi). Ini disebabkan menurut Derrida, differance tidak dapat dituturkan dengan mehilangkan pembedaan tulisan yang ditemukan dalam dan antara kata differance dan difference.  Derrida menyatakan: “differance harus dipahami mendahului pemisahan antara “deffering” sebagai penangguhan dan “differing” sebagai karya aktif pembedaan. Artinya ketika differance  harus dimaknai sebagai suatu konsep, maka dia semata-mata mengandung dua arti sekaligus, yakni membedakan dan menangguhkan. 

---



Sumber bacaan:
  1. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. F. Budi Hardiman.
  2. Manusia dan Alam Semesta. Murthada Muthahhari.
  3. Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. F. Budi Hardiman.
  4. Islam dan Modernisme. Fazlur Rahman.
  5. Kesalehan dan Kekerasan. Kompas terbitan 6 Januari 2017. F. Budi Hardiman
  6. Perbandingan Hermeneutika dan Tafsir. Erik Sabti Rahmawati: http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Perbandingan-Hermeneutika-Dan-Tafsir.pdf
  7. Agama Dan Negara: Jejak Persilangan Kekerasan. Coen Husain Pontoh. https://indoprogress.com/2011/10/agama-dan-negara-jejak-persilangan-kekerasan/
  8. Islam dan Radikalisme Telaah atas Ayat-Ayat Kekerasan dalam Al Quran. Dede Rodin: http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/1128
  9. Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis.  Muhammad Harfin  Zuhdi: http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Religia/article/view/176
  10. Memahami Seni Memahami (catatan ringkas atas Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman). Bahrul Amsal: http://alhegoria.blogspot.co.id/2017/02/memahami-seni-memahami.html
---

*Disampaikan dalam diskusi di Pojok Bunker, 9 Maret 2107