Yang
menarik dari seorang Nietzsche adalah pandangannya tentang kebenaran. Di mata
Nietzsche, paras kebenaran tidak lebih dari atas kekuasaan moral tertentu.
Artinya, genetika kebenaran di mana pun itu dilahirkan bukan semata-mata
berasal dari rahim epistemologi manusia, melainkan sudah dikukuhkan oleh
pandangan moral tertentu. Dalam konteks ini, kebenaran tidak diverifikasi dari
benar atau salahnya suatu proposisi, tapi etis (boleh) tidakkah pernyataan itu
diberlakukan.
Bahkan lebih
subtil dari itu, Nietzsche bukan sekadar memproblemkan hakikat kebenaran itu
sendiri, namun mengapa kebenaran itu dinyatakan sebagai kebenaran? Apa dasar
terdalam di balik benar salahnya suatu proposisi? Apa yang mendasari kebenaran
itu mesti ditegakkan?
Di balik ungkapan
proposisi yang mengandung kebenaran, pada hakikatnya hanyalah dorongan atas
absolutisme. Deskripsi ini dinyatakan Nietzsche akibat dari sifat dasar manusia
untuk merasakan keutuhan, suatu kebutuhan untuk “percaya” atas sesuatu yang
mutlak.
Yang naif dari
itu, jika “yang mutlak” itu mendapat tantangan dari luar dirinya, maka akan
bekerja dengan sendirinya suatu mekanisme untuk membela diri dengan cara
mengecam dan menyingkirkan yang lain. Bahkan sampai melenyapkan.
Itu artinya, jika
ada yang mati-matian mempertahankan suatu kebenaran tanpa memerhatikan
asas-asas yang menyertainya, pada konteks ini hanyalah suatu usaha agar tampak
absolut. Absolutisme, di mana pun itu pasti dan selamanya akan mempertahankan
dirinya. Karena itu, kesalahan tidak dapat diterima. Karena itu juga agar
kebenaran enggan dikatakan salah.
Perasaan atas
“yang mutlak” inilah yang banyak memecah kohesi sosial belakangan ini.
Kebenaran bukan bahasa universal yang menembus sekat-sekat pemikiran dan
kebiasaan. Bahkan, sebaliknya, setiap segmentasi dan stratifikasi kelas
masyarakat memiliki nalar negasi dengan memproduksi kebenarannya masing-masing.
Itulah sebabnya,
tidak ada kode sosial yang bisa sertamerta adaptabel dengan purnaragam paras
masyarakat. Agama, yang dalam kaca mata Durkheim sebagai kunci pengikat
masyarakat, kehilangan fungsinya dan lebih tampak sebagai faktor pemisah.
Akibatnya, masyarakat tersegregasi oleh agama itu sendiri. Dan bahkan agama
kehilangan nalar universalnya.
Yang tampak lebih
berbahaya, perasaan atas “yang mutlak” ikut dibesarkan dengan semangat
religiusitas keagamaan. Bahkan sumber kemutlakan yang didasarkan atas
teks-teks, dimodifikasi, dan dicomot dari konteks historis, demi menunjang
otoritas kekuasaan tertentu.
Belakangan agama
lebih tampak seperti legitimator dari keadaan yang timpang. Meminjam analisis
Marx, agama menjadi kekuatan yang mengekalkan “pembodohan”, bahkan memalsukan
pertentangan yang sesungguhnya sedang terjadi. Di saat demikianlah agama
berfungsi ibarat metamphetamine yang memberikan efek ilusif berupa rasa percaya
diri yang berlebihan, dan agresifitas yang meningkat.
Di dalam situasi
yang ilusif itulah, kecanduan yang berlebihan atas perasaan “yang mutlak”,
agama menjadi alat mengaburkan relasi-relasi problematis, misalnya, berupa
perseteruan dinasti politik, peperangan geo-politik, perebutan sumber-sumber
daya ekonomi, pembodohan dan pengerusan tradisi kebudayaan, peperangan atas
batas-batas teritori, perebutan otoritas suku dan klan, perebutan supremasi
etnik, penggusuran, dlsb.
Persoalan di atas
akan terus diabaikan dengan sengaja ataupun tidak akibat perangkat membaca
fenomena yang dibatasi dengan cara membaca yang esensialis. Sementara fenomena
dan relasi problematis yang mengemuka saat ini merupakan peristiwa historik
yang mesti ditelisik lebih jauh.
Krisis
epistemologi juga merupakan faktor penting yang minim mengapa keadaan sekarang
begitu tampak menjemukkan. Untuk mempresentasekan, misalnya, kebenaran,
senantiasa dilalui dengan cara agresif dan massal. Dua cara ini menjadi penanda
bahwa tiada diskursus yang menopang kebenaran sebagai produk yang lahir dari
toleransi atas keberagaman dan dialog. Bahkan hilangnya dua modal ini,
kebenaran selalu tampil dengan cara yang brutalistik dan histerik.
Lantas kepada
siapakah, atau apakah kita harus berpegang jika kebenaran bukan lagi paras yang
santun dan universal? Kepada dasar yang bagaimanakah jika perasaan atas “yang
mutlak” malah lebih banyak membawa korban dibanding pengorbanan?
Suatu
nihilismekah ini?