Literasi Kenangan Melawan Pusara Waktu

---terinspirasi dari gagasan Alwy Rachman dalam Anging Mammiri karya Abdul Rasyid Idris.

Bagi penyair, kenangan memudahkan “pekerjaan” kesusastraannya menjadi lebih dinamik. Bahkan kenangan menjadi senyawa aktif untuk menghidupkan bahasa.

Penyair, dan pekerjaan sejenisnya adalah orang-orang yang teguh meriwayatkan kenangan sebagai bagian dari kehidupan eksistensialnya. Masa sekarang kenangan mesti direbut dari “memori buatan” alat-alat canggih, semisal gadget.

Agar kenangan dapat terus mengabadi, maka tiada jalan lain dengan mengangkatnya sebagai literasi kenangan.

Juga, musuh abadi kenangan kadang muncul menjadi berupa sosok-sosok iliterasi. Sosok-sosok iliterasi adalah siapa pun yang hari ini selalu antipati terhadap segala upaya literasi agar dapat terus bergerak dan bekerja sebagaimana fitrahnya.

Sosok iliterasi yang paling nyata di era sekarang, selain teknologi memori buatan adalah negara. Kadang negara menjadi tokoh antagonis untuk memberangus aktivitas anak-anak bangsa demi mengabadikan kenangannya.

Kenangan yang tak lain adalah saudara kembar sejarah, dianggap berbahaya jika itu diparaskan dalam bentuk literasi. Sejarah barangkali memang medan yang selalu dapat dikontrol negara, tapi literasi yang bersifat spontan dan otentik adalah geliat yang sulit diringkus negara demi penertiban ingatan.

Negara yang memusuhi kenangan bisa melakukan apa saja. Apabila dikembalikan kepada perangkat kerja negara berupa aparatus ideologi, maka negara dalam wujudnya yang paling terang adalah totalitarianisme.

Pengalaman Indonesia setengah abad merupakan ilustrasi kongkrit bagaimana kenangan diberangus dan diberlakukan secara diametrial dengan sejarah (ingat sejarah 65). Sejarah yang bersifat derivatif dan analitik, membuat dirinya menjadi kisah yang mudah ditekuk berdasarkan suatu sistem pemikiran tertentu.

Sementara kenangan yang diliterasikan, akibat sifatnya yang spontanik dan otentik memudahkan dirinya bebas bergeliat di antara tenunan sejarah yang dibuat negara.

Itulah sebabnya, sejarah versi negara dan kenangan versi penyair (sastrawan dlsb) merupakan dua ekstrim yang sulit dipertemukan dalam meja dialog. Imbas totalitarianisme negara, meja dialog disingkirkan demi memusuhi kenangan yang transparan menjadi cermin pengingat peristiwa masa lalu.

Literasi kenangan bagi saya pribadi adalah suatu upaya sederhana untuk menyandingkan partikularitas-subjektif berhadap-hadapan dengan segala sistem yang berusaha mengkerangkeng ingatan, negara misalnya. Itu artinya, literasi kenangan yang memerdekakan ingatan mesti mengetahui satu-satunya cara untuk melawan hanya dengan meriwayatkan ingatan menjadi periwayat kenangan.

Akhirnya ini akan kembali kepada suatu kalimat dahsyat: ikatlah ilmu hanya dengan cara menulisnya. Hanya denga menulis, seseorang bakal mengabadi, ucap Pramoedya Ananta Toer.

Literasi kenangan apabila diacu berdasarkan garis waktu, merupakan kerja literatif yang menengahi tegangan masa lalu dengan masa depan. Dengan kenangan, seseorang dapat menghidupi kembali masa lalu dan menerangi masa depan di waktu kekiniannya. Itulah sebabnya mengapa kenangan sangat mudah membuat seseorang mengalami “perasaan mengabadi”, suatu perasaan yang sulit ditampik.

Kenangan memang urusan masa lalu, tapi secara eksistensial dia sulit diantisipasi. Apalagi jika itu kemudian ditangkap menjadi literasi kenangan. Maka dengan sendirinya itu merupakan cara seseorang menghidupi diri dan membesarkan masa depannya.

Sampai di sini saya malah berpikir, setiap orang pada hakikatnya adalah kenangan. Atau paling tidak, semua orang memiliki hasrat untuk mengabadi dengan cara ingin dikenang.

Itulah sebabnya kenangan menjadi poros eksistensi manusia. Dalam ilmu-ilmu sosial, manusia diungkapkan sebagai mahluk sejarah. Manusia mengalami dan menikmati waktu. Manusia mewaktu dengan cara membuat kenangan dan membesarkan kenangan. Begitu kira-kira.

Sementara melalui ilmu psikologi manusia diartikan sebagaimana persepsi mengenal dirinya. Manusia adalah apa yang ia persepsikan. Dengan kata lain, manusia adalah mahluk yang hanya dikenal melalui bagaimana ia mempersepsi dirinya. Seseorang bertindak sebagai pahlawan karena dia mempersepsikan dirinya sebagai pahlawan. Manusia berlaku sebagai penguasa karena dia mempersepsi dirinya sebagai penguasa. Begitu seterusnya.

Bagaimana dengan kenangan? Sebagaimana persepsi, manusia adalah mahluk yang dikenalnya dengan  cara mengenang dirinya. Dengan menyandarkan kepada kenangan, manusia membangun diri dan seluruh aktivitas dirinya.

Barangkali karena itu, kenangan juga menjadi pusat dari seluruh kitab literasi umat manusia. Apabila menunjuk semua kitab suci dan kitab kebudayaan, hampir sebagian besar isinya adalah kenangan yang diparaskan dalam bentuk kisah-kisah kemanusiaan. Kenangan adalah inti kitab suci dan kebudayaan.

Akhirnya , literasi kenangan ingin saya artikan sebagaimana Alwy Rachman (dalam Angging Mammiri) mengartikan bahwa ingatan yang dituliskan adalah cara untuk keluar dari masyarakat yang mudah amnesia. Literasi kenangan dengan cara meriwayakan kembali kenangan, sampai di sini,  bukan saja cara untuk melawan negara ataupun segala hal yang berusaha menghapus dan memberangus kenangan, melainkan suatu jalan agar seseorang dapat kembali. Suatu cara seseorang untuk melawan dirinya sendiri dari pusara lorong waktu.