Mari
memahami praktik berbahasa era kiwari tidak serta merta representasi kesadaran atas
persatuan. Justru sebaliknya akibat cermin ketidaksadaran. Atau lebih berbahaya
akibat false consciousness (pemahaman
palsu). Atau mungkin trauma kelam masa lalu. Atau juga didorong rasa dendam, bahkan
mungkin sentimentalisme sempit.
Artinya,
bahasa selama ini bukan cermin ilmu pengetahuan. Malah bahasa percakapan yang
dipraktikkan sehari-hari hanya cara manusia memanipulasi dirinya yang mengalami
hambatan perkembangan kejiwaan.
Ibarat
teori allegory of the cave-nya Platon,
filsuf Yunani purba, kiwari hampir semua bahasa percakapan ditengarai gelapnya
perangkap gua, bukan karena “cahaya” di luar gua. Imbasnya, bukan manusia yang
“menyarangkan” bahasa lewat praktik pemaknaan, tapi manusialah yang ditawan
bahasanya sendiri, bahasa samar dan gelap.
Itu
sebabnya, manusia terhambat mengetahui kenyataan lewat bahasa temaram yang
digunakannya. Kenyataan, hanyalah realitas palsu akibat tak terjamah terang
bahasa.
Masih
dalam ilustrasi allegory of the cave-nya
Platon, manusia hanya bisa bebas jika dia keluar dari gelapnya gua.
Meninggalkan bayangan palsu di tembok gua akibat tipuan api di belakangnya.
Hanya berjalan ke luar dan mencandra matahari di luar gualah manusia mampu mengalami
pencerahan bebas dari tipuan yang dialaminya selama ini.
Itu
artinya, manusia harus meninggalkan seluruh praktik kehidupannya di dalam gua,
termasuk bahasa. Manusia harus menggunakan bahasa percakapan yang tidak
terdistorsi kegelapan sebagaimana ketika di dalam gua. Sang manusia harus
menciptakan “bahasa baru”, bahasa yang lahir di bawah terang “mentari”. Hanya
dengan itu manusia “dewasa”.
Tapi,
“manusia dewasa” harus dahulu menyadari situasi dirinya ketika benar-benar
ingin dewasa. Praktik berbahasa “manusia dewasa” harus bersih dari gangguan traumatik
masa lalunya ketika masih berada di dalam kegelapan gua.
Psikoanalisa
Sigmund Freud menyatakan, orang-orang yang ketika dewasa mengalami hambatan mental,
dapat diterangkan dengan dua cara. Pertama, akibat tidak berkembang normalnya
struktur kepribadian di masa kanak-kanak, dan yang kedua, disebabkan oleh
trauma-trauma masa lalu.
Yang
menarik menurut Freud, pengalaman traumatik masa lalu, dapat mendorong lahirnya
sikap agresif ketika dewasa. Fenomena ini juga menerangkan, sikap agresif yang muncul
dari praktik berbahasa ataupun tindakan, merupakan relasi langsung dari libido
berupa insting kematian.
Insting
kematian berbeda dari insting kehidupan. Menurut Freud, keberlangsungan
interaksi manusia hanya bisa bertahan lama akibat insting kehidupan yang
beroperasi melalui regenerasi dan reproduksi. Sementara insting kematian
ditampakkan manusia melalui tindakan-tindakan agresif dan brutal yang mengancam
kehidupan itu sendiri.
Keluar dari mulut gua
Ibarat
mahluk gua, praktik berbahasa bangsa Indonesia sudah lama keluar dari gua
kegelapan. Sumpah pemuda, misalnya, merupakan penanda perjuangan bangsa
Indonesia merumuskan bahasa persatuannya. Ketika itu pemuda-pemudi merumuskan
“bahasa baru” yang harus dipakai selain “bahasa gua penjajahan.” Dengan bahasa
yang diterangi “matahari” kemerdekaan, bangsa Indonesia tumbuh menjadi bangsa
yang dewasa, bangsa bermartabat.
Bahasa kemerdekaan dipakai pasca keluar dari mulut gua penjajahan, bukan saja keinginan kuat keluar dari gua kegelapan penjajahan, melainkan meminjam istilah indonesais Benedict Anderson, karena suatu harapan yang dibayangkan bersama. Dengan harapan yang dibayangkan inilah bangsa Indonesia merumuskan dirinya sebagai komunitas merdeka melalui bahasa yang mencerminkan persatuan dan rasa persaudaraan sesama penduduk bangsa.
Bahasa kemerdekaan dipakai pasca keluar dari mulut gua penjajahan, bukan saja keinginan kuat keluar dari gua kegelapan penjajahan, melainkan meminjam istilah indonesais Benedict Anderson, karena suatu harapan yang dibayangkan bersama. Dengan harapan yang dibayangkan inilah bangsa Indonesia merumuskan dirinya sebagai komunitas merdeka melalui bahasa yang mencerminkan persatuan dan rasa persaudaraan sesama penduduk bangsa.
Era
kiwari, bahasa persatuan dan persaudaraan sulit diketemukan. Hari-hari
belakangan interaksi masyarakat dicabik-cabik histeria brutalistik. Hubungan di
tingkat individu dan komunitas banyak mengalami tegangan. Hubungan yang semula
langgeng kini menjelma ibarat kawat berduri, membelah persatuan berbangsa
bernegara. Praktik berbahasa malangnya justru saling meloncati perbatasan
normatifitas melalui kekerasan bahasa hingga meninggalkan “luka” dan “darah”
dibenak masyarakat.
Seperti
mahluk gua, praktik berbahasa masyarakat didorong temaram dinding gua. Bahasa
sehari-hari menjadi bahasa yang mencerminkan kekerasan dan rasa permusuhan.
Tidak di kehidupan kongkrit, di dunia virtual, bahasa dipraktikkan semena-mena
tanpa memerhatikan integritas dan perasaan kolektif bangsa. Bahasa kekerasan dan
bernada sentimen sempit akhirnya memunculkan perbedaan di mana-mana, menyulut
rasa syakwasangka. Bahkan dendam kelompok.
Gejala
agresifitas ditampakkan dalam praktik berbahasa demikian, bisa jadi masih
banyaknya bagian tubuh masyarakat dipenjara gua kegelapan. Imbasnya, kedewasaan
berbahasa akhirnya masih ditawan trauma kekerasan masa lalu. Atau akibat besarnya insting kematian
mengendap dalam sebagian tubuh masyarakat. Sehingga, sehari-hari kita masih
menemukan bahasa-bahasa yang memecah integritas bangsa.
Sudah
seharusnya kita menemukan kembali bahasa Indonesia yang hilang. Bahasa Indonesia
secara sosiologis, bahasa yang mencerminkan rasa persaudaraan dan kesantunan sebangsa
setanah air. Bahasa yang mendorong persatuan tinimbang perpecahan. Bahasa
Indonesia dengan begitu bahasa budaya persatuan yang tumbuh dari kesadaran
orang-orang dewasa, bukan bahasa yang dipakai mahluk gua yang terperangkap
kegelapan.
Syahdan, hanya dengan bahasa indonesialah “luka” dan “darah” akibat bahasa kekerasan dapat disembuhkan. Hanya melalui bahasa perdamaian yang didorong insting kehidupan, interaksi berbangsa bernegara dapat dipertahankan. Akhirnya, menemukan kembali bahasa Indonesia adalah pekerjaan kita membangun rasa kedewasaan dan persatuan antara sesama.
Syahdan, hanya dengan bahasa indonesialah “luka” dan “darah” akibat bahasa kekerasan dapat disembuhkan. Hanya melalui bahasa perdamaian yang didorong insting kehidupan, interaksi berbangsa bernegara dapat dipertahankan. Akhirnya, menemukan kembali bahasa Indonesia adalah pekerjaan kita membangun rasa kedewasaan dan persatuan antara sesama.
--
Terbit juga di Khittah.co