Iman

Ketika sedang di rumah sakit, tiba-tiba dari arah sebelah selatan jalan Veteran Utara terdengar pekik suara kerumunan orang. Tiba-tiba dari kejauhan, bersama raungan panjang suara truk, teriakan "Allahu Akbar" membelah jalan lenggang yang panjang. Mereka berbaju putih-putih, seperti berpakaian mau ihram.

Tapi, itu bukan barisan panjang calon jemaah haji. Itu peserta aksi bela Islam. Makassar, seperti ribuan orang-orang berkumpul di Bundaran HI, Jakarta, ikut menyatakan iman. Al Qur'an kritis. Bagaimanapun, ulumul kitab mesti dibela.

Dari jalan Veteran Utara, tempat saya takjub melihat peristiwa itu, barisan truk merayap beriringan menuju satu titik: masjid Al Markas Al Islami. Dari sana, seperti yang sudah diagendakan, bakal bergerak ke lapangan Karebosi. Dari sana, seperti yang sudah diketahui, satu nama bakal banyak disebut-sebut.

Rasa-rasanya, sepanjang pasca reformasi, tidak pernah ada kerumunan orang sebanyak di bundaran HI belakangan ini. Bahkan, tiga kali peristiwa itu membuat kita harus tahu, ini perkara serius. Itu sebabnya, gaungnya merebak ke berbagai daerah.

Di Makassar sendiri, dari subuh, masjid dekat tempat saya domisili sudah menghimpun perhatian. Dari toa di atas menara setengah jadi, suara paruh baya menggema: hari ini, tanggal 2 Desember, akan ada aksi damai. Bela Islam. Saya tak tahu itu ajakan atau sekadar penyampaian. Pendengaran sayup-sayup.

Nampaknya agama memang kekuatan sosial yang masih ampuh. Di zaman ketika iman menjadi ikhtiar pribadi, apa yang terjadi di Bundaran HI, bukan isapan jempol belaka. Kiwari, ada sesuatu dari agama masih bisa merangkul solidaritas. Masih kuat menyimpul umat yang terserak.

Tapi, apakah itu? Imankah? Atau, sesuatu yang lain? Sesuatu dari luar iman?

Saya tak tahu, apa kekuatan tersembunyi yang mampu menyatukan beribu umat Islam Indonesia akhir-akhir ini. Tapi, kita tak bisa mengelak, itu semua bermula dari ucapan yang dianggap teledor.

Ucapan boleh saja teledor, tapi iman tidak boleh salah. Iman, ketika itu menyangkut banyak orang, akibat ucapan teledor, maka itu penghinaan. Satu orang boleh legowo, atau sampai akhirnya ikhlas memafkan. Tapi, siapa bisa membujuk ribuan orang yang terlanjur dibakar emosi?

Api bisa cepat padam, namun mungkin, amarah?

Karena itulah, iman dan amarah mesti dibuat terang. Apa itu iman, apa itu amarah? Iman sudah pasti pernyataan keyakinan yang diperantai ilmu. Namun amarah? Semua orang juga tahu, itu hanya soal dada yang sesak. Suatu ruang yang gelap akibat ditinggal terang cahaya.

Maka, jika beragama hanya sebatang tiang keyakinan yang dikabut asap kegelapan, itu berarti segaris titik panjang yang redup dari kejauhan. Agama adalah cahaya yang mengusir kabut kegelapan. Seberkas terang yang membuat rimbun pohon tumbuh menjulang.

Adakah agama yang demikian? Iman yang membuat terang pohon-pohon tumbuh ke angkasa? Bukan tiang pancang yang tinggi tapi hanya sebilah guyah diterpa angin?

Itulah barangkali, iman kita belakangan ini sering kali dipertanyakan. Apakah iman kita adalah pohon-pohon yang tumbuhnya subur? Atau bisa jadi malah tiang besi yang menolak tumbuh? Di manapun itu, orang-orang yang mendaku beriman, adalah orang yang imannya mirip pohon. Berkembang. Tidak fix.

Beriman berarti mengikuti perkembangan zaman. Iman seluas apa yang dihadapi keadaan. Tak ada iman yang kuat jika keadaannya hanya mirip gulungan buih ombak. Iman yang baik, iman yang tumbuh di antara dalamnya lautan, bukan di tepi pantai.

Barangkali, ada maksudnya perkataan Rasulullah, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Yakni, berilmu, ketika ucapan itu di sampaikan saat Rasul di tanah Arab, harus sampai di negeri jauh dari tempat kabilah-kabilah Arab tinggal. Suatu negeri tempat kertas ditemukan.

Atau mencari ilmu, jangan bagai katak dalam tempurung. Ilmu adalah melampui garis kukuh yang dipancang dalam keyakinan. Berilmu, berarti melintasi batas yang engkau tempati. Tak ada iman tanpa ilmu, tak ada ilmu tanpa perbandingan.

Juga, galilah ilmu hingga ke liang lahat. Itu berarti tak ada ilmu yang berhenti di permukaan. Barangsiapa berilmu, dia pasti memiliki liang yang dalam. Dari sana, dia jauh berpikir. Menarik kebenaran dari dalam hati. Bukan dari bibir kata-kata.

Hari ini, mungkin saja iman itu bermula dari kata-kata. Tiba-tiba rasa persatuan menyeruak di jalan-jalan. Dari ucapan seorang yang dianggap menghina, perkataan seorang berdarah Tionghoa.

Lagi-lagi, apakah itu karena iman yang cemerlang. Yang membuat orang-orang tergerak hatinya. Berduyun-duyun ke jalan.

Indonesia sudah pernah banyak dibuat kelam akibat menyitir etnis tertentu. Sejarahnya compang-camping oleh amarah. Tiba-tiba, di pelbagai peristiwa itu harus ada identitas yang mesti dimenangkan. "Yang lain" harus enyah. Bahkan, mati.

Seperti sekarang, mesti ada yang menang. Agamakah itu? Mungkin saja iya. Atau malah bukan. Tapi, mari berharap, ini bukan medan pertarungan antara siapa paling beriman dan siapa yang mesti didepak. Jika demikian, apakah ini politik?

Sehari penuh di layar kaca, beribu-ribu orang mirip sekawanan semut. Bundaran HI yang lebih sering padat kendaraan, berubah menjadi medan aksi. Shalat Jumat, akhirnya digelar. Ini mungkin pertama kalinya, di Indonesia, shalat Jumat ditayangkan seantero negeri. Betapa dahsyatnya itu. Dalam sejarah.

Barangkali ada orang sanksi, aksi atas nama agama sudah ditinggal masa. Apalagi mampu mengubah banyak hal, melengserkan jabatan, misalnya. Tapi, bukankah itu terlalu politis, terlampau di dramatisir, agama dibawa-bawa hanya karena urusan tetek bengek begini.

Bukankah, seharusnya agama lebih jauh dari itu. Bergerak atas yang subtansil, membela kaum mustada’afin, salah satunya. Atau, seharusnya bergerak bersatu di jalan-jalan untuk menangkap koruptor? Atau, atau? Bukankah masih banyak yang esensil dari negeri ini, untuk dipikirkan?

Agama, jika hanya karena menyoroti urusan kata-kata, bukankah itu rendah? Apakah sudah lupa, segala yang terucap akan pergi bersama angin? Sementara pembodohan dan ketidakadilan di mana-mana, semakin abadi.

Dari sini saya mulai berpikir, orang-orang di atas truk itu, mirip pohonkah iman dia?