Seorang
ibu berbadan gempal masuk ke bilik kamar, tidak berapa lama dia keluar dan
menenteng beberapa bungkus kantungan hitam. Tanpa pikir panjang, bungkusan itu
dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang beranjak pulang.
Saya yang duduk
tak jauh dari pintu masuk, sudah tahu isi kantungan itu. Saya hanya menatap
peristiwa itu sebagai bagian dari tradisi yang selama ini ditemukan ketika
merayakan kelahiran nabi terakhir.
Peristiwa itu
menandai merayakan Maulid Nabi adalah suatu cara untuk berbagi kebahagiaan,
berbagi berkah. Sokko, makanan yang terbuat dari beras ketan
itu tidak semata-mata tanda biologis belaka, melainkan sebagai simbol
silaturahim. Suatu tanda umat Muhammad mengikat kembali simpul-simpul
kekerabatan.
Begitulah, malam
itu saya berkesempatan ikut merayakan hari kelahiran baginda Rasulullah di
kediaman Sulhan Yusuf, di Bantaeng. Setelah sebelumnya kami melantunkan syair
puja-pujian atas kelahiran manusia suci berabad-abad lalu.
“Saya ingin
mengembalikkaan tradisi Barasanji ke rumah-rumah,” ucap Sulhan Yusuf sebelum
acara dimulai.
“Sekarang tradisi
Maulid sudah banyak berubah ketika dirayakan oleh institusi-institusi formal.”
Begitulah petikan
obrolan yang masih sempat saya ingat.
Malam itu
beberapa orang belum beranjak pulang. Di antaranya duduk berdiskusi
menyambung perbincangan siang tadi, sambil menyalakan rokok. Selang berapa lama
senampan gelas berisikan sarebba dibawa Sulhan Yusuf dari bilik belakang.
Di tangan kanannya masih ada setengah ceret persediaan ketika sewaktu-waktu ada
yang meminta tambah.
Saya hanya ikut
mendengar diskusi yang berlangsung alot. Sembari menahan kantuk merebahkan
badan di dinding rumah. Tidak lama berselang, Javid, satu-satunya anak lelaki
Sulhan Yusuf datang menghampiri.
“Masih ada Sarebba, Abi?”
***
Inti dari dialog
itu saya kira seperti yang dikemukakan Mahbub di akhir diskusi sore yang
mendung. Kedaulatan dan kemandirian negara menjadi poin penting dari telikungan
neoliberalisme. Tanpa itu, kehadiran negara hanya menjadi kaki-tangan dari
agenda-agenda neoliberal selama ini.
Negara, intrumen
kekuasaan yang sejatinya harus berdaulat, ketika berhadapan dengan
neoliberalisme, mesti mendahulukan kepentingan warga negaranya dibanding
kekuasaan pasar yang sering kali banyak merinsek masuk mengguyah tatanan
kenegaraan.
Itulah sebabnya
di bawah kebijakan liberalisasi, swastanisasi, dan privatisasi yang menjadi
prinsip kerja neoliberalisme, negara harus mampu mengelola kebijakannya tanpa
harus kehilangan kendali atasnya. Itu artinya, di hadapan pasar sebagai
satu-satunya kekuatan ekonomi selama ini, politik kenegaraan penting bagi
negara-negara yang ingin membangun kemandirian.
Agenda besar
konsep neoliberal sesuai dengan Konsesus Washington, dirumuskan John Williamson
di tahun1989. Konsensus Washington bertujuan sebagai mekanisme reformasi bagi
negara berkembang jika ingin menyetarakan diri seperti negara-negara maju.
Konsesus ini
melahirkan 10 item agenda besar liberalisasi ekonomi. Pertama, disiplin
anggaran pemerintah (ingat kebijakan perdana, menteri keuangan Sri Mulyani
ketika resmi bergabung di Kabinet Kerja Jokowi-JK!). Kedua, pengerahan
pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama sektor
pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan (ini yang menjelaskan mengapa
institusi pendidikan diarahkan seperti pengelolahan swasta). Ketiga, reformasi
pajak.
Keempat dan enam item lainnya berturut-turut: tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara ril, nilai tukar yang kompetitif, liberalisasi pasar, perlakuan yang sama antara investor asing dan domestik untuk menarik investasi asing, privatisasi BUMN, deregulasi aturan main pelaku pasar, dan keamanan legal bagi hak kepemilikan.
Keempat dan enam item lainnya berturut-turut: tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara ril, nilai tukar yang kompetitif, liberalisasi pasar, perlakuan yang sama antara investor asing dan domestik untuk menarik investasi asing, privatisasi BUMN, deregulasi aturan main pelaku pasar, dan keamanan legal bagi hak kepemilikan.
Ciri khas konsep
neoliberal adalah mengusung ide pasar bebas, tetapi bukan berarti persaingan
yang tercipta di pasar berlangsung secara bebas. Dengan kata lain, kebebasan
ekonomi yang terjadi adalah kebebasan bagi korporasi bukan bagi masyarakat.
Itu sebabnya,
senjata neoliberalisme dalam merealisasikan agenda besarnya yang menjadi item
liberalisasi menggunakan kekuatan aktor utamanya yaitu IMF, WTO, dan Bank
Dunia.
Melalui tiga
lembaga internasional ini agenda neoliberal kerap membangun “hubungan
kemanusiaan” terhadap negara dunia berkembang berupa bantuan program-program pemberdayaan
demi pemerataan ekonomi dunia. Walaupun dengan dalih pemerataan ekonomi, tetap
saja pemerataan yang dimaksud adalah keuntungan kapital bagi kepentingan
negara-negara maju.
Kira-kira
begitulah diskursus yang berkembang dalam dialog akhir tahun oleh Boetta
Ilmu-Rumah Pengetahuan. Komunitas yang berdomisi di Bantaeng ini, sengaja
mengakhiri akhir 2016 dengan mengundang beberapa elemen masyarakat Bantaeng di
bawah tajuk Dialog Akhir Tahun, Persembahan Akhir Tahun.
Saya mendapat
kesempatan mewakili Paradigma Institute Makassar menjadi pemantik selain Mahbub
Emha Alahyar, direktur Bonthain Institute Bantaeng.
Dialog ini
merujuk kepada buku Petaka Neoliberalisme: Membongkar
Proyek Pembangunan Sosial Sebagai Kuda Troya Neoliberal yang sengaja dibedah di Balla Lompoa
Letta.
Di sela-sela
persiapan acara, Sulhan Yusuf mengemukakan kegiatan seperti ini akan rutin
dilakukan setiap bulan. Ketika berdiskusi di teras rumahnya, Sulhan berharap,
Boetta Ilmoe, komunitas yang dirawatnya bersama pemuda-pemudi Bantaeng, bisa
menjadi wadah tempat semua orang bertukar pikiran, membangun silaturahmi
pemikiran.
“Saya ingin
Boetta Ilmoe jadi semacam tempat kembali pegiat sosial Banteng, untuk
membesarkan masyarakat Bantaeng.” Ungkap Sulhan Yusuf.
Saya kira,
komunitas semacam ini yang perlu dilipatduakan, semacam rumah pemikiran, ruang
bersama tempat segala kepentingan didialogkan. Kemudian merumuskan suatu
program yang memiliki visi memajukan daerah tanpa harus kehilangan
lokalitasnya.
“Barangkali ada
maksud mengapa kita melakukan kegiatan ini di Balla Lompoa? Mungkin ingin
menegaskan bahwa kebudayaan adalah benteng terakhir segala ancaman yang berbau
neoliberal.” Begitu kira-kira suatu ucapaan salah satu peserta kala diskusi
berlangsung.
“Saya berharap
ruang publik di Bantaeng dimanfaatkan Boetta Ilmoe untuk kegiatan seperti tadi
itu (dialog publik), itulah sebabnya mengapa Balla Lompoa
yang dipilih sebagai tempat kegiatan.” Beber Sulhan Yusuf sebelum
beranjak shalat Magrib.
Ruang publik
memang, juga menjadi arena yang sarat persitegangan. Era kiwari, tempat-tempat
umum menjadi ruang eksterior yang menyuplai hasrat hedonistik masyarakat.
Imbasnya, jamak ditemui ruang publik malah menjadi arena pertukaran modal
tinimbang gagasan.
Kapitalisasi
ruang semacam inilah yang mesti dialihmaknakan setiap komunitas berbasis
gagasan dan gerakan, menjadikan ruang publik semata-mata ruang diskursif. Ini
penting dikarenakan seharusnya ruang publik menjadi media masyarakat untuk
meningkatkan dimensi interiornya dibanding eksteriornya. Dengan begitu, ruang
publik hadir untuk mengangkat dan mewarisi “pengetahuan lintas generasi”
yang menjadi pembatinan kolektif masyarakat.
Jika merujuk
kepada Pierre Bourdieu, sosiolog Perancis, masyarakat adalah aktor yang
memiliki perangkat episteme, dan paling memungkinkan merebut dan
menciptakan ruang antara yang dimediasi habitus.
Dengan kata lain,
habitus yang diciptakan masyarakat memungkinkan setiap aktor memiliki
kewenangan yang sama mendaur ulang setiap modal sosial yang dimiliki demi
peningkatan kapasitas pemahaman masyarakat itu sendiri.
Syahdan, ruang
publik di mana pun mesti diterjemahkan ulang berdasarkan kerangka kerja
berbasis “pencerahan” dan “pergerakan” seperti yang menjadi tujuan utamanya,
yakni menggerakkan gagasan dan wacana.
***
“Buku ini
memiliki satu kekurangan, tidak jelas memaparkan apa petaka dari neoliberalisme
itu sesungguhnya,” Mahbub membeberkan kekurangan buku yang diacungkan tangan
kirinya. Di hadapannya, peserta dialog nampak serius menunggu petaka macam apa
yang ingin dijelaskan pria murah senyum ini.
Saya yang duduk
di sampingnya dibuat kaget. Bergegas bersiap mencatat enam petaka neoliberal
yang disebutkan Mahbub secara lantang:
Pertama. Disebut
bencana akibat neoliberalisme merusak tatanan alam berpikir bangsa. Ketika
ideologi berbangsa dirusak dengan semangat individualisme. Jika cara memahami
dunia diperantai dengan cara pandang yang menjunjung kebebasan moral.
Kedua.
Menghancurkan kedaulatan dan kemandirian bangsa. Ketergantungan secara ekonomi
bagi negara berkembang terhadap negara maju berimbas kepada pudarnya kedaulatan
dan kemandirian. Situasi ini sudah dimulai dari era Orde Baru hingga sekarang
dengan warisan hutang yang semakin hari semakin bertambah.
Ketiga. Petaka
neoliberalisme ditandai dengan dikeruknya aset-aset negara berupa sumber daya
alam ataupun aset-aset kekayaan lainnya.
Agenda utama
neoliberalisme dalam privatisasi aset-aset merupakan cara menguasai kekayaan
Indonesia. Periode 1991 – 2001 pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN
dengan jumlah 12 BUMN yang diprivatisasi. Periode 2001-2006 pemerintah juga 14
kali memprivatisasi BUMN dengan 10 BUMN yang diprivatisasi. Pada tahun 2007
pemerintah melalui Komite Privatisasi memutuskan untuk memprivatisasi 34 BUMN
dan melanjutkan privatisasi 3 BUMN yang tertunda pada tahun2007 sehingga total
BUMN yang diprivatisasi sebanyak 37 (www.jurnal-ekonomi.org).
Keempat, dan dua
petaka lainnya yaitu: Semakin banyaknya kaum miskin, pengangguran dan lapangan
kerja yang kompetitif, hancurnya tatanan moral dan sosial yang ditandai dengan
cara hidup hedonistik dan korup, dan generasi muda yang bodoh dan apatis akibat
kebijakan pendidikan yang tidak berpihak kepada golongan kelas bawah.
***
“Mohon maaf
karena saya terlambat menghadiri kegiatan ini,” suara seorang perempuan remaja
ketika diberikan kesempatan terakhir untuk bertanya, “saya tidak terlalu
mengerti apa yang dibicarakan tadi, tapi kenapa dari tadi disebutkan jika
Indonesia selalu peringkat nomor dua dari bawah?”
Saya tidak tahu
berdasarkan kriteria dan segi apa Indonesia mengalami urutan terbawah dari
pertanyaan anak SMA perempuan itu. Tapi, seperti yang saya rasakan, menjawab
rasa keingintahuan dari anak ini, tidak sesederhana yang dibayangkan.
Begitulah,
pertanyaan itu dibiarkan tidak terjawab. Di akhir penutup acara, Sulhan Yusuf
berpesan jika pertanyaan siswi perempuan itu harus ditindaklanjuti melalui grup
Boetta Ilmoe via facebook.
Tak lama
berselang, sore berlahan-lahan berubah gelap. Masjid-masjid berkumandang.
Magrib telah tiba.