Akhir-akahir ini kemarahan begitu
gampang kita temukan. Bahkan, di layar kaca kemarahan malah menjadi tontonan
sehari-hari. Dan, itu semua akibat marah tidak sekadar marah. Marah yang ada di
layar kaca, bukan marah sembarangan. Itu marah yang politis.
Sebenarnya marah adalah hal yang
manusiawi. Semua orang bisa marah. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa.
Bahkan Tuhan pun bisa marah. Di dunia ini hanya satu yang tak bisa marah:
malaikat.
Sebab marah-marah bisa macam-macam.
Mulai dari hal sekecil biji jagung sampai sebesar buah semangka. Bahkan ada
sebab kemarahan yang sebesar negara ini.
Tapi siapa yang berhati malaikat.
Bukankah manusia diciptakan bukan dari cahaya belaka? Apakah manusia diciptakan
dari unsur yang sama dengan malaikat? Jangan sampai Anda lupa, manusia hampir
sebagian zatnya diambil dari lumpur yang hina dina. Dari kegelapan tanah tanpa
terang sedikit pun.
Maka dari itu, jangan heran jika
manusia khilaf, bisa saja kemarahannya muncul seketika. Apalagi jika kekhilafan
yang dialami tidak disadari sebelumnya. Itu celaka tiga belas. Sudah khilaf,
tidak disadari pula.
Sesungguhnya, kemarahan yang
disertai kekhilafan masih kalah berbahaya dibandingkan kemarahan yang politis.
Pasalnya, orang yang kemarahannya menyertakan khilaf biasanya akan segera
memohon maaf di belakang. Walaupun salah, kelak sesegera mungkin akan meminta
maaf. Itu terjadi akibat pasca marah ia menyadari kekhilafannya.
Sementara marah politis bukan marah
yang akan ada permohonan maaf di belakangnya. Ini akibat marah politis memang
marah yang disengaja. Marah yang direncanakan. Makanya tidak akan ada maaf
pasca kemarahan yang politis.
Karena itu marah politis tak tahu
sampai kapan redanya. Bisa-bisa besok kita ikut-ikutan marah akibat terlalu
lama. Malah bisa jadi tren. Sedikit-sedikit emosi. Sedikit-sedikit marah-marah.
Sebenarnya kemarahan itu tidak
salah. Bahkan manusia kalau boleh perlu marah. Hanya saja, kemarahan yang
dibolehkan jika memang diperlukan dalam konteks tertentu. Misalnya seorang ayah
yang marah kepada anaknya karena anaknya meninggalkan shalat lima waktu.
Sang ayah berhak marah karena dia
punya kewenangan. Apalagi sang ayah memang berhak marah sebagai orang tua yang
ingin melihat anaknya tumbuh baik. Itupun sang ayah hanya dibolehkan marah
dengan batas-batas kewajaran. Misalnya dalam rangka mendidik.
Yang bermasalah kalau kemarahan itu
datangnya dari sang anak. Ini bahaya karena tidak ada kewenangan anak untuk
marah. Dia tidak punya hak untuk marah. Justru dialah yang patut dimarahi
karena lalai dalam rangka menjalankan kewajibannya.
Sekarang di layar kaca hampir
semuanya marah-marah. Mulai dari atasan sampai bawahan marah-marah. Tidak di
kantor-kantor, tapi juga di jalan raya. Anehnya marah-marah di jalan raya
justru dilakukan beramai-ramai.
Sekali lagi marah itu boleh-boleh
saja. Itu manusiawi. Tapi kalau marah-marah justru malah mengajak orang banyak
itu yang aneh. Apalagi kalau itu dilakukan seharian penuh. Makin aneh kalau
kemarahannya terjadi berhari-hari. Sungguh aneh bin ajaib.
Mungkin itu yang dimaksud marah
politis tadi. Marah yang direncanakan, makanya bisa berhari-hari.
Tapi marah politis tetap saja tidak
baik. Alangkah lebih baik kalau itu marah manusiawi saja. Marah politis
biasanya ada maunya. Ada kepentingannya.
Marah memang bikin dada sesak.
Bukan main berapa kalori yang harus terbuang percuma. Coba bayangkan kalau
marah-marah dialihfungsikan kepada hal yang positif? Misalnya marah-marah
kepada pemerintah akibat semakin banyaknya orang miskin? Atau marah-marah
karena minimnya akses pendidikan di daerah terpencil? Dahsyat kalau itu justru
dilakukan oleh banyak orang. Alangkah lebih bagus kalau dilakukan seluas jalan
raya.
Masalahnya yang lain jika kemarahan
itu apakah memang berhak dilakukan. Apalagi apakah memang kita berwenang untuk
marah. Yang ribet kalau semua ingin marah tanpa memiliki hak untuk marah. Jadi
lebih runyam kalau yang marah malah tidak berwenang untuk marah. Apalagi
bawa-bawa nama Tuhan segala. Gawat.
Kalau marah ya sudah marah saja.
Tidak usah bawa-bawa nama Tuhan. Tuhan saja malah kalau marah justru yang
datang malah kasih sayangnya yang lebih duluan sampai. Itupun Tuhan kalau marah
ya memang wajar. Namanya juga Tuhan!
Lantas, siapakah yang berhak marah?
Yang layak harus marah? Kamu atau saya? Kalau kamu, ya sudah tidak usah
panggil-panggil orang banyak. Apalagi sampai harus bergerombol segala. Marah ya
marah, cukup sendiri saja. Itupun kalau berhak.