SEMINGGU lalu, saya baru saja membeli buku. Di sebuah toko sebelah rumah. Kenyataannya saya tidak benar-benar ingin membeli buku. Awalnya hanya ingin membeli keperluan mandi sehari-hari. Kemudian satu buah map buat menaruh surat-surat penting.
Tapi
tiba-tiba mata saya tertuju pada satu etalase khusus yang menyediakan buku.
Tanpa pikir panjang saya bergegas. Melihat-lihat. Dari rak atas sampai rak
bawah, juga sebaliknya.
Saat
itu hal aneh terlintas di dalam benak. Rasa-rasanya, toko yang hampir mirip
mini market ini kok bisa menjual buku-buku. Setahu saya, di manapun mini market
atau sejenisnya, tak ada yang menjual buku-buku.
Sepintas
banyak buku-buku agama dijual. Beberapa novel, juga buku motivasi. Sampai
akhirnya ada satu buku membuat saya tertarik. Tanpa diduga-duga mata saya
mengeja satu nama akbar di dunia sufisme: Nasruddin Khodja.
Nama
Nasruddin Khodja membuat saya lebih serius menyisir deretan bermacam-macam
judul buku. Mungkin saja ada nama-nama besar sekaliber tokoh yang dikenal
“bahlul” itu.
Sembari
meniatkan bakal membelinya, saya tersentak sebuah buku lain bersampul cokelat.
Tak
disangka, di situ tertera nama-nama seperti Leon Tolstoy, Oscar Wilde, O.
Henri, Guy de Maupassant, Saki (H.H. Munro), dan dua nama lagi; Charles
Perrault, H.C. Andersen. Harapan saya benar.
Dan,
tak memerlukan waktu lama. Sekali menghitung jumlah uang di kantung, cukup
membeli dua buku yang dahsyat itu. Tentu dengan resiko bakal lebih banyak
pengeluaran. Namun, apa boleh dibilang, buku ditukar dengan uang yang setimpal
tak jadi soal. Malah banyak manfaatnya.
Saya
mulai menduga-duga, jika mini market seperti ini banyak berdiri, bisa jadi tak
pernah lagi kita mendengar statistik minat baca rendah di negara ini.
Saya percaya, minat baca yang rendah bukan karena malasnya orang-orang membaca
buku, tapi karena minimnya akses mendapatkan buku.
Coba
bayangkan jika kios-kios di pinggir jalan menyediakan buku-buku buat dibaca.
Bengkel motor, penjual gorengan, atau warung kopi yang dijaga nenek-nenek. Dan
semuanya disediakan dibaca cuma-cuma, yakin dan percaya pasti ada yang bakal
membacanya.
Ketika
menyadari “keanehan” di toko sebelah rumah (walaupun mungkin di kota-kota maju
tidak demikian) saya berkeyakinan kalau pemilik mini market yang saya tak tahu
siapa orangnya, memiliki kepedulian terhadap ilmu pengetahuan. Walaupun buku
bukan item utama di mini market itu.
Kepedulian
terhadap ilmu pengetahuan berarti peduli dengan peradaban. Alangkah menariknya
kalau kesadaran ini diyakini semua orang. Seperti termasuk pemilik mini market
di atas.
Selain
mini market, di kabupaten saya hanya baru ada --kalau tidak salah ingat—dua
toko buku. Selain perpustakaan daerah yang tidak menarik, juga ada satu
perpustakaan komunitas. Bila dipikir-pikir, sarana yang macam demikian belum
bisa berbuat apa-apa terhadap kemajuan manusia di sini.
Namun
sayang, segala yang dilihat di dalam dunia maya belum bisa jadi apa-apa.
Barangkali ada kategori yang dimaksud dengan pembaca pasif, yakni pembaca
berita yang tidak punya kemampuan menilai baik buruknya informasi. Atau pembaca
negatif, yakni pembaca yang hanya melihat judul tanpa mau tahu isi beritanya.
Atau mungkin saja ada pembaca bodoh yang selalu menyebar berita-berita hoax
membikin bingung masyarakat.
Memang
di zaman sekarang kemampuan literasi bukan saja soal seberapa jauh menyerap
informasi, melainkan bagaimana seorang pembaca bisa juga menerapkan
kaidah-kaidah kebenaran di dalam apa yang dibacanya. Juga akan lebih baik jika
itu dilanjutkan dengan menuliskannya kembali.
Hanya
dengan cara itu kemampuan literasi seseorang (masyarakat) bakal berkembang.
Seperti juga, jika di samping rumahmu berdiri mini market yang menyediakan buku
buat dibaca. Akan lebih menarik bukan?