Cermin benda yang bermanfaat dalam
kehidupan praktis manusia. Cermin bagi dunia mode, misalnya, merupakan salah
satu perkakas yang paling elementer. Tanpanya, sang pesolek tak mampu melihat
bayangan dirinya. Apakah sempurna atau tidak, semuanya bergantung kepada
cermin.
Seperti sang pesolek, masyarakat
umum juga membutuhkan cermin agar bisa menunjang penampilannya. Tak bisa
dipungkiri, mulai dari anak sekolahan sampai orang dewasa menjadikan cermin
sebagai wadah menilai dirinya. Apa yang nampak indah di dalam cermin, maka akan
nampak indah pula ketika bergaul di tengah masyarakat.
Itu sebabnya dalam melihat dirinya,
orang-orang sangat membutuhkan cermin. Tanpa cermin tak ada bayangan tubuh yang
mampu ditangkap kembali. Dengan cermin, orang-orang membangun replika dirinya
di atas pantulan layar kaca, untuk menilai dirinya, juga memahami dirinya.
Artinya, melalui cermin, kita membutuhkan “diri” yang lain agar mampu melihat
diri kita sendiri. Ini yang disebut sifat reflektif cermin, yakni sifat yang
mampu memantulkan apapun ketika tampak di hadapannya.
Zaman sekarang, ketika tubuh begitu
dominan dipertontankan, fungsi cermin semakin tinggi nilainya. Bahkan tubuh dan
cermin merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Tanpa cermin, tubuh tak mampu
menilai dirinya. Sebaliknya, tanpa tubuh, cermin hanya benda yang teronggok
begitu saja.
Itu sebabnya, cermin dan tubuh
ibarat kesatuan yang saling mengisi. Cermin sebagai layar kaca berfungsi
menjadi wadah bayangan bagi tubuh, juga tubuh menjadi objek cermin agar cermin
bernilai guna.
Kisah Cermin Rumi
Alkisah di dunia mistisisme, cermin
bukan saja berfungsi secara material-biologis bagi tubuh. Cermin, secara
fungsional di dalam dunia mistisme, dipakai secara metaforik-spiritual untuk
menjelaskan tubuh manusia dalam keadaannya yang paling transparan. Cermin bagi
dunia mistisisme adalah benda metafor untuk melihat paras manusia dalam wujud
tubuh-spiritual. Bahkan di dunia mistisisme, cermin juga merupakan bagian
integral bagi tubuh-spiritual sebagai wadah eksistensinya.
Jalaluddin Rumi, sufi berpengaruh
dari abad 13 memiliki kisah bagaimana cermin menjadi analog dengan tubuh.
Dikisahkan, dua pelukis ulung bertemu dengan maksud melukis jagad raya di atas
kanvas dalam suatu perhelatan. Perhelatan bertujuan mencari pelukis yang mampu
melukis dunia semirip mungkin di atas kanvas sampai akhir acara. Dengan cara
berhadap-hadapan satu sama lain dan dipisahkan tirai di tengahnya, kedua
pelukis dengan cekatan mulai melukis jagad raya. Namun aneh, salah satu pelukis
bukannya melukis, justru malah membersihkan permukaan kanvas dengan cara
mengelapnya. Begitu seterusnya hingga mengkilap.
Sampai tiba waktunya dinilai,
alangkah terkejutnya pelukis yang telah bersusah payah menggambar jagad raya
semirip seperti yang ia saksikan. Pasalnya, setelah tirai diangkat, pelukis
yang hanya membersihkan pemukaan kanvas sedari awal sampai akhir lomba, tak
disangka dari kanvasnya yang mengkilap, memantulkan kembali gambar dunia dari
pelukis yang berada di hadapannya mirip tanpa ada perbedaan sedikitpun.
Kata Rumi, jiwa manusia ibarat
cermin yang mampu memantulkan keindahan dan keluasan jagad persada, jika
seandainya dia membersihkannya dari ikatan-ikatan dunia. Seperti pelukis yang
membersihkan permukaan kanvasnya, tubuh-spiritual manusia yang bersih, dengan
sendirinya akan mampu memancarkan keindahan semesta yang ada di
hadapannya. Dengan kata lain, tubuh-spiritual atau jiwa, melalui yang
dikisahkan Rumi adalah cermin tempat paras manusia dipancarkan.
Jiwa yang bagai cermin tidak dengan
sendirinya terbentuk. Manusia adalah mahluk yang diliputi segala macam
persoalan. Pikirannya seluas masalah yang dihadapinya. Jiwanya sesempit apa
yang dirasakannya. Itulah sebabnya manusia butuh refleksi, suatu usaha
penjarakan terhadap problem yang dihadapi. Atau dengan kata lain, manusia harus
bisa menengok ke dalam cermin dirinya, melihat tepat di hadapannya, tiada lain
untuk membersihkan tubuh-spiritualnya. Tiada lain kalau bukan dengan cara
permenungan.
Minus Permenungan
Kisah cermin Rumi adalah kisah agar
manusia menjadikan cermin-jiwa sebagai pantulan refleksi kehidupannya. Bukan
cermin-material yang hanya mampu memancarkan tubuh-material yang selama ini
diutamakan sebagai poros perhatian. Namun malang, kebanyakan manusia lebih
banyak memerhatikan tubuh-materialnya dengan cara memoles, menyuntik,
mempermak, dan memotong agar nampak lebih estetik di hadapan
cermin-cermin-material di sekitarnya.
Cermin-material, pada akhirnya
menjadi benda kosmetik paling berharga demi menunjang eksistensi tubuh-material
dibandingkan tubuh-spiritual. Di atas cermin-material, tubuh-material menemukan
keseluruhan eksistensinya. Melalui cermin-material, tubuh-material menjadi
organ tontonan yang dipresentasikan agar sempurna ketika tampil di tengah
masyarakat. Juga dengan cermin-material, tubuh-material diharapkan mampu
menggandakan kepercayaan dirinya.
Tubuh-material malangnya, bukan
saja mencari pantulan refleksinya di atas cermin-material yang beterbaran di
sekelilingnya. Melalui kekuasaan, nama besar, kepatuhan, bahkan jabatan, juga
menjadi cermin bagi tubuh-material untuk mencari harga diri di dalam kehidupan
sosialnya. Semakin besar kekuasaan, semakin tinggi kepatuhan orang-orang, dan
semakin berlipatganda harta dan jabatan, maka semakin besar pula harga dirinya
ketika menjadikan semua itu sebagai tempat bercermin diri.
Pada akhirnya, sebagian kita mirip
sang pesolek atau pelukis yang sibuk menduplikasi semesta jagad untuk
menumbuhkan tubuh-material dari cermin dunia di luarnya. Kita lupa seperti
dikisahkan Jalaluddin Rumi, manusia pada hakikatnya memiliki cermin-jiwa jauh
di dalam lubuk hatinya, yang mampu mengembangkan tubuh-spiritualnya jika
kita mau bercermin di hadapannya. Sungguh, barangsiapa yang telah kehilangan
cermin?
Terbit juga di Kalaliterasi.com