Di mana-mana kota pasti adalah
pusat yang ramai. Orang-orang datang-pergi demi menuntut kebutuhan ekonomi,
mengejar pendidikan, mencari pergaulan kekinian, dan menghabiskan waktu luang.
Di kota, segala kebutuhan akan
segera dipenuhi. Asalkan kita mau mencarinya, dan tentu tercukupinya
kepemilikan modal untuk menunjang daya tukar dan transaksi.
Akibatnya, kota jadi lubang yang
menyedot banyak orang. Kota akhirnya menjadi lokasi yang menjadi titik tolak
bagi orang-orang yang melakukan perjalanan lintas spasial.
Demi pekerjaan, demi pendidikan,
dan demi segala hal lainnya, jarak spasial antara kota sebagai pusat dan
kawasan pinggiran hingga daerah-daerah di sekeliling kota beranjak menjadi
semesta kesibukan yang penuh sesak dengan beribu-ribu kendaraan yang
lalu-lalang.
Saya sendiri merasakan pengalaman
baru, betapa menjadi penduduk pinggiran kota adalah hal tak terelakkan yang
turut membuat arus mobilitas kota-pinggiran kota menjadi begitu sesak. Walaupun
sekarang, kodifikasi kota-pinggiran kota menjadi tidak relevan, tetap saja kota
kiwari adalah pesona yang mendorong orang-orang bergerak pulang-pergi
memperbaiki nasibnya.
Perlu saya katakan, daerah
Sudiang-Biringkanaya, lintasan perjalanan yang harus saya lalui belakangan ini menuju pusat kota Makassar, merupakan kawasan yang tak bisa ditolak menjadi
daerah padat kendaraan akibat bergeraknya kawasan pinggiran perkotaan menjadi
kawasan padat pemukiman.
Tidak bisa dipungkiri mobil adalah
kendaraan yang banyak berperan mengubah daerah pinggiran perkotaan menjadi
daerah kawasan padat penduduk. Makassar sendiri, dari hari ke hari, semakin
banyak ditemukan daerah perumahan kelas menengah atas dengan mobil
sebagai penghubung kawasan-kawasan baru sebagai tempat pemukiman.
Mobil dengan fungsinya yang mampu
membelah ruang geografis menjadi lebih efisien, tak terelakkan menjadi alat
transportasi yang mudah berpindah-pindah seiring aktivitas masyarakat
perkotaan. Bagi masyarakat kelas pekerja kerah biru, mobil sudah menjadi alat
mukim kedua selain rumah-rumah yang mereka diami secara permanen.
Dengan mobil –dan juga motor—bagi
masyarakat kelas menengah atas, menjadi lebih mudah mengakses pemukiman yang
terletak di pinggiran kota dengan pusat kerja yang identik di daerah perkotaan.
Dengan semakin baiknya infrastruktur jalan raya, jarak geografis yang jauh
antara pemukiman masyarakat kelas menengah atas dengan pusat-pusat aktivitas,
mobil sangat signifikan membuat pergeseran kota menjadi lebih luas sekaligus
kecil.
Kebutuhan masyarakat perkotaan
terhadap daerah pemukiman bersih, tenang, dan jauh dari keramaian, merupakan
kebutuhan mendesak akibat wilayah perkotaan yang semakin padat dihujam
perencanaan pembangunan.
Perkotaan yang semakin hari tidak
menjamin warganya menemukan kehidupan yang sejahtera mau tak mau turut mendesak
cara berpikir masyarakat agar keluar mencari daerah alternatif yang mampu
memenuhi aspek-aspek kemanan dan ketenangan.
Itulah sebabnya, selain minimnya
daerah mukim akibat pembangunan perkotaan tanpa ampun, membuat daerah pinggiran
perkotaan menjadi sasaran baru daerah-daerah alternatif.
Namun, malangnya, semakin
mendesaknya kebutuhan pemukiman yang bebas keramaian, daerah yang semula alternatif
berubah fungsi menjadi daerah utama pemukiman masyarakat kelas menengah atas.
Berdirinya pusat-pusat pendidikan
di daerah pinggiran kota, juga ikut mempengaruhi beralihfungsinya kawasan sepi
penduduk menjadi padat keramaian.
Di Makassar sendiri, sekira tahun 80-an ketika Universitas Hasanuddin dipindahkan ke daerah Tamalanrea, ikut mengubah kawasan yang semula penuh rawa-rawa menjadi salah satu kawasan yang paling sibuk di Makassar.
Di Makassar sendiri, sekira tahun 80-an ketika Universitas Hasanuddin dipindahkan ke daerah Tamalanrea, ikut mengubah kawasan yang semula penuh rawa-rawa menjadi salah satu kawasan yang paling sibuk di Makassar.
Hal ini bersamaan dengan ketika
kota-kota berkembang di tahun 80-an mengalami proses urbanisasi yang berdampak
terhadap tingkat pembangunan pemukiman penduduk.
Contoh mutakhir adalah berubahnya
kawasan Samata menjadi daerah pemukiman baru ditenggarai perencanaan jalur
Maminasata. Dipindahkannya Universitas Islam Negeri Makassar di daerah
Samata selain karena tidak mencukupinya ruang interaksi di kampus sebelumnya,
juga akibat kebutuhan daerah yang nyaman untuk menunjang proses
belajar-mengajar.
Akhirnya dengan sendirinya, dengan
semakin baiknya akses menuju kawasan yang dahulu dianggap terpencil,
daerah itu pelan-pelan secara pesat menyerap banyaknya penduduk seiring juga
berputarnya modal sosial yang serta merta mempercepat perubahan kawasan terpencil
Samata menjadi kawasan perkotaan baru.
Jelas sekali hubungannya antara
dibukanya kawasan pemukiman baru dan kawasan pendidikan, turut mempercepat
proses urbanisasi yang mana akan juga berimplikasi terhadap berubahnya
aktivitas warga di sekitarnya.
Berkat aktifitas kota-pinggiran
kota, mau tidak mau mengubah pengalaman warga perkotaan/pinggiran tentang
memahami jarak. Secara lokasional antara daerah Sudiang, misalnya, dengan
daerah Karebosi tidak sulit untuk dikatakan jauh. Namun, dari akivitas sosial-antropologiknya,
jarak antara kedua daerah tersebut menjadi dekat karena hubungannya dalam
pengertian ruang relatif (relative space) dan ruang relasional (relasional
space).
Karena itulah, saya misalnya
–beserta penduduk pekerja daerah pinggiran, rela menempuh jarak kurang lebih
dua puluh hingga tiga puluh kilometer, menuju kawasan perkotaan, untuk melakukan aktivitas
pekerjaan di tiap harinya. Dan, yang membuat semua itu tampak normal adalah
jarak relasional yang memberikan pengertian baru soal jarak itu sendiri.
Maka, sulit disangsikan hampir
setiap jam-jam sibuk, daerah yang menghubungkan kawasan kerja dengan kawasan
pemukiman di pinggiran kota, menjadi penuh sesak dengan kendaraan yang merayap
padat. Yang paradoks dari semua ini, walaupun dibantu dengan kendaraan, yang menganggap
setiap tempat mudah diakses dan dianggap dekat secara relasional, membuat
semakin hari sulit menemukan jalan raya yang lenggang dari kendaraan.
Makassar yang sedang bergerak
menuju kota dunia, bukan berarti suatu arah yang selamanya bermakna baik.
Antara Makassar yang berarti bagian dari kota yang berkembang dengan Makassar
sebagai kota dunia yang identik sebagai kota global, akan banyak menyisakan
persoalan semisal lonjakan kepadatan penduduk, kemacetan, hilangnya ruang
hijau terbuka, kriminalitas, pengangguran, polusi udara, merebaknya pusat
ekonomi baru, dan perampasan tanah atas warga miskin kota.
Pada akhirnya pergeseran Makassar
menjadi kota dunia, mau tidak mau harus disertai perubahan persepsi warganya
tentang bagaimana menjadi warga kota yang ideal. Hal ini tentu akan menyertakan
beragam cara untuk mengubah pola-pola interaksi sosial, intelektual, ekonomi
maupun kebudayaan demi memaksimalkan warga kota sebagaimana warga kota.
Satu hal yang paling mendesak bagi
kota Makassar untuk saat ini, yakni menyediakan akses jalan raya yang mencukupi
seiring dengan menekan penggunaan kendaraan pribadi yang semakin hari semakin
bertambah padat. Bertambah banyaknya warga kelas atas baru, harus diikuti
dengan perangkat pemahaman yang baik soal penggunaan hak-hak publik ketika di
jalan raya.
Maka akan mustahil bisa berjalan
maksimal ketika di satu sisi penyediaan sarana transportasi publik mampu
mengatasi kebutuhan transportasi warga, tanpa disertai pengawasan yang ketat
terhadap penggunaan kendaraan pribadi yang setamak-tamaknya.
Syahdan, dari semua itu, salah satu
indikator bagaimana Makassar
disebut kota dunia adalah
mencukupinya transportasi publik dan teratasinya kepadatan jalan raya di
waktu-waktu jam kerja. Tentu ini berkaitan dengan seperti apa warga kota
mampu mengindentifikasi dirinya sebagai citizen yang baik ketika menggunakan
ruang publik seperti jalan raya. Seperti bagaimanakah sikap seorang pengguna
jalan raya ketika menggunakan hak-hak publiknya di atas kendaraannya.