Dua pekan belakangan, catatan
KLPI absen dari yang selama ini dilakukan. Sesungguhnya banyak yang bisa diceritakan,
tapi apa daya jika dua pekan sebelumnya, saya sebagai penyuguh catatan ini
berhalangan terlibat. Padahal, jika ketua kelas punya lain kesibukan,
harapannya peran ini bisa digantikan oleh kawankawan. Namun itu tidak terjadi,
walaupun pernah sekali Muhajir mengambil peran yang sama di pekan 24.
Begitu pula di dalam teknis
mekanisme forum. Sudah semenjak lama jika ketua kelas tak dapat ikut terlibat,
maka harus ada kesadaran dari kawankawan mau mengambil peran kepemimpinan saat
menyelenggarakan kelas. Aturan ini dibuat agar tidak ada patronase di dalam
KLPI. Semua berjalan karena sistem yang bekerja berdasarkan fungsi, bukan
status.
Di pertemuan terakhir kemarin
(pekan 31), kelas banyak belajar dari karya kawankawan yang bergenre nonfiksi.
Memang belakangan, banyak di antara kawankawan yang sering menyetor tulisan
bergenre cerpen. Termasuk dua kawan baru, Arni dan adiknya, Riska.
Walaupun begitu, dari tulisan
Arni dan Riska, kembali memantik perbincangan soal unsurunsur intrinsik dalam
karya cerpen. Seperti sudah dijelaskan dalam catatancatan sebelumnya, suatu
karya cerpen disebut cerpen jika memuat setidaknya tiga unsur intrinsik di
dalamnya, yakni tokoh, plot, dan konflik. Pengetahuan ini penting, setidaknya
memberikan kepada kawankawan pemahaman dasar untuk mengenali jenisjenis genre
di dalam karya sastra.
Hal lain turut jadi omongan
adalah soal tindak verbal yang kadang masuk menyusupi tindak menulis. Banyak
ditemukan dari karya kawankawan, sulit memisahkan kebiasaan ucapan verbal
dengan tindak berbahasa di dalam menulis. Mesti dipahami, aturan main berbahasa
baik verbal atawa tulisan punya hukumnya masingmasing. Contoh kasus bunyi
bahasa “bank” untuk menyebut tempat penyimpanan uang, berbeda dengan “Bang”
kalau merujuk panggilan kepada orang yang lebih tua. Walaupun bunyinya sama,
tapi itu tidak berlaku ketika dituliskan.
Hal demikian juga berlaku di
dalam tindak verbal masyarakat Bugis-Makassar yang memiliki ciri khas dialek
tertentu. Kadang kata yang berakhiran “n”, ditambahkan “g” sebagai
penekanannya. Begitu pula katakata yang tidak seharusnya ditambahkan “h” di
belakangnya, justru digenapi sebagai aturan berbahasanya. Aturan main ucapan
verbal semacam ini yang tanpa disengaja dan disadari, mengambil kesadaran
penulis di saat menulis karyanya.
Kelas kali ini juga turut
membahas karya Ilyas. Ilyas di kesempatan kemarin membawa cerpen yang sudah
lama di tulisnya di medio bulan Juli. Bahkan, dari pernyataannya, cerpen
bersangkutan sempat dikirim ke salah satu media cetak di Makassar, namun gagal
diterbitkan. Akibatnya, Ilyas penasaran apa yang membuat karya tulisnya itu
tidak dimuat dan selanjutnya membawanya ke kelas untuk didiskusikan.
Dari penelusuran bersama,
ditemukan ada beberapa poin yang luput dari perhatian Ilyas. Pertama adalah ada
ejaan yang kurang memerhatikan EBI. Kedua, --dan ini sifatnya subjektif,
menurut saya— gaya penulisan yang dibuat Ilyas tidak seperti cerpencerpen yang
sering dimuat di koran yang dimaksud. Sementara, cara membangun cerita Ilyas
sering memakai tehnik memenggal yang memotong adegan demi adegan penceritaan.
Konsekuensi dari gaya bercerita demikian membuat pembaca sering tidak utuh
menangkap keseluruhan peristiwa yang berada di balik penceritaan narator.
Dan, yang paling utama,
barangkali tema cerpen Ilyas yang kurang menyentuh aspekaspek aktual yang
sering kali menjadi bagian hidup manusia. Apa yang diceritakan Ilyas adalah
seorang anak kecil yang berjualan jalangkote akibat kehidupan ekonomi orang
tuanya yang di bawah ratarata, memang adalah kasus yang bisa dialami banyak
orang, tapi dari waktu tulisan itu hendak diterbitkan bisa jadi tidak sesuai
dengan apa yang sedang menjadi perhatian redaktur koran terkait. Kalau yang
ini, kita mesti paham, kadang suatu karya bisa bagus, tapi redaktur desktop
tempat kita tuju memiliki cara pandang yang lain.
Karya tulis terakhir yang
digeledah adalah buah tangan Hasyim, seorang kawan baru. Hasyim merupakan kawan
Ishak Boufakar, juga kuliah mengambil konsentrasi ilmu komunikasi. Mungkin
sebab itulah, karya pertama yang dibawanya tidak jauh dari tema ilmu
komunikasi. Unsur entristik inilah yang kuat mendominasi karya esai yang
dibuatnya.
Seperti kawankawan sering kali
mendaku ketika baru pertama kali menulis, tulisan Hasyim tidak nampak seorang
yang baru pertama kali menulis. Struktur kalimatnya terukur, pun argumentasinya
dibuat logis. Begitu juga tatanan bahasanya normal sebagaimana karangan esai
dibuat, tidak banyak mendayudayu juga tidak nampak ilmiah. Santai menggunakan
bahasa populer. Namun, seperti sering kali terjadi, juga sebagaimana kawankawan
lainnya, Hasyim masih sulit menghindari kesalahan ejaan yang selayaknya
dipahami sebagai kaidah berbahasa selama ini.
Pasca karya tulis Hasyim
digeledah, kelas akhirnya membubarkan diri.
***
Kelas sebelumnya juga
kedatangan Muhary Wahyu Nurba, sastrawan yang belakangan sedang mempersiapkan
diri memerankan satu karakter di Silariang, film yang mengambil latar belakang
masyarakat Bugis-Makassar.
Hasil informasi yang berhasil
dikumpulkan, banyak hal yang disampaikan pengasuh kolom sastra di harian Lombok
Pos ini. Termasuk bagaimana mempersiapkan karya cerpen yang baik dan mampu
menembus meja redaksi media cetak. Juga, seperti apa sikap yang harus dimiliki
seorang ketika mengambil kepenulisan sebagai pilihan berkarya.
Kedua berkaitan dengan
mentalitas kerja. Ini kesannya sepele tapi sesungguhnya esensil. Muhary
menyebut rewriting, yang artinya menulis ulang. Maksudnya, jika kawankawan
telah selesai menuliskan karya tulisnya maka jangan segansegan membaca kembali.
Hal ini berfungsi sebagai mekanisme agar tulisan yang dibuat terhindar dari
segala kesalahan. Dengan sendirinya, jika ini dilakukan maka mau tidak mau sang
penulis akan membaca kembali tulisan yang dubuatnya dan kemudian menyusun
kembali tulisan yang terdapat kesalahan di dalamnya.
Yang terakhir ini membutuhkan
kesabaran di dalamnya. Artinya ini menyangkut mental kerja. Siapa yang
menerapkan cara ini, setidaknya mentalitas kerjanya sudah mulai terbangun.
***
KLPI dua minggu belakangan
sedang merintis website resminya. Website ini berfungsi sebagai media kolekif
kawankawan yang terlibat di KLPI. Artinya, kawankawan tidak perlu ragu lagi
akan ke mana karya tulis yang dibuat, Kalaliterasi siap menampungnya, dengan
catatan sesuai dengan standar kurasi yang dipakai. Walaupun masih tahap
perbaikan, website ini sudah beroperasi beberapa hari yang lalu.
Kalaliterasi punya desktop
Catatan KLPI, tujuannya menampung tulisan yang merekam halhal penting selama
kelas literasi. Catatan KLPI menjadi esai rutin tiap akhir pekan ketika kelas
mulai membuka sesi ke-2 beberapa bulan yang lalu. Selama ini, pasca catatan
KLPI dibuat, hanya diterbitkan via status facebook. Namun, karena website sudah
mulai beroperasi, maka catatan KLPI hanya dikirimkan melalui kolom yang memang
disediakan untuknya. Itu artinya Catatan KLPI tidak akan diupload dalam format
status seperti sebelumnya.
Kemudian ada kolom Unjuk Rasa.
Unjuk Rasa adalah ruang yang dikhususkan bagi karya tulis Sulhan Yusuf. Awalnya
Unjuk Rasa hanya ditemui via cetak yang diterbitkan kelas dalam format
seleberan. Tapi, semenjak website didirikan, kolom Unjuk Rasa juga menjadi
salah satu dekstop khusus yang menjadi salah satu menu terdepan website kami.
Selebihnya ada kolom sastra
untuk karya tulis bergenre puisi dan cerpen. Utira Literasi yang bertujuan
merekam aktifitas kawankawan yang berkaitan dengan literasi, baik tulisan
ataupun visual. Dan terakhir, Blog Kawangkawang yang ditautkan langsung kepada
blog pribadi kawankawan.
Terakhir, perlu juga rasa
terima kasih diberikan kepada Aisyah Widya Satya Ningsi (Icha), orang di
belakang panggung yang membuat Kalaliterasi.com dapat dirasakan khalayak,
terutama kawankawan KLPI Makassar.