Mahasiswa dalam Hegemoni Media

Mahasiswa dalam hegemoni media adalah statemen yang mendua. Pertama, dalam konteks apa mahasiswa mengalami situasi pasif di balik transformasi besarbesaran media massa? Kedua, kekuatan apa yang dipunyai mahasiswa jika menjadi subjek tindakan atas media massa yang dipergunakan? Dua pertanyaan ini setidaknya menjadi jalan masuk mengetahui posisi gerakan mahasiswa kekinian di mana di saat bersamaan turut menguatnya pula media massa sebagai kekuatan pendorong terjadinya perubahan sosial.

Media Virtual: Suatu Simulacra

Kiwari, kemajuan media massa bukan saja membahasakan kembali realitas dengan cara virtual maupun visual, melainkan menjadi realitas itu sendiri.  Akibatnya, kehidupan seharihari penuh sesak dengan dunia tiruan. Jean Baudrillard mendaku, dunia baru yang diciptakan media massa nantinya akan menggusur habis kenyataan dengan imajinasi yang dimiliki di dalam dunia kreasi media massa. Baudrillard menyebut dunia baru itu sebagai simulakrum, yakni realitas virtual yang memposisikan kesadaran manusia menerima apa yang disimbolkan oleh simulakrum itu sendiri. Dengan kata lain, simulakrum menjadi realitas baru yang melampui kenyataan yang sebenarnya akibat kemampuannya menciptakan simbolsimbol, tandatanda, citra, dan imajinasi.

Baudrillard menyatakan bahwa kemampuan simulakrum mengubah kenyataan dialami berdasarkan tiga tahapan. Tahap pertama, menurut Baudrillard, simulasi masih merupakan pantulan yang mencerminkan kenyataan sebagaimana kenyataan itu sendiri (basic reality). Kemudian tahap kedua, simulasi akan menutup dan membelokkan kenyataan sehingga kenyataan tidak tampil apa adanya. Akibatnya realitas yang diacunya terdistorsi oleh simulasi itu sendiri. Tahap selanjutnya, simulasi akan memutus habis ikatan penandaan dari realitas yang diacunya dengan menghadirkan dirinya sendiri sebagai realitas itu sendiri. Di tahap ketiga ini, simulasi menjadi simulakrum murni yang mengacu dalam dirinya sendiri.

Sesungguhnya apa yang dialami sekarang merupakan kenyataan yang sudah dibilangkan Al Gore sebagai zaman information superhigway.(1) Selain simulakrum yang mengepung dunia kesadaran manusia, di saat bersamaan turut pula informasi begitu massif beredar tanpa kontrol. Apa yang diacu oleh Al Gore adalah suatu keadaan informasi yang digerakkan internet dalam mengatasi hambatanhambatan komunikasi yang dialami media tradisional sebelumnya. Bahkan keberadaan internet bukan saja memberikan cara baru bertukar informasi, melainkan turut menyatukan media tradisional dalam satu dunia berbasis virtual.

Melubernya informasi akibat mediasi internet, akhirnya turut mengubah pola interaksi yang sebelumnya tidak pernah ditemukan. Jika sebelumnya internet hanya menunjang komunikasi terbatas via email atau penjelajahan tanpa batas via World Wide Web, maka kemajuan dunia informasi telah mengenalkan masyarakat dalam melakukan transaksi ekonomi, konsultasi kesehatan, melakukan konferensi jarak jauh, bahkan sampai relasi seksualitas jarak jauh dengan suatu model berbasis dunia virtual. Akibatnya, kecenderungan interaksi berbasis dunia virtual, memberikan dampak mengecilnya dunia sosial seharihari.

Dunia sosial sebagai medan pertemuan masyarakat, melalui kecanggihan dunia informasi, selain mengalami penyempitan, juga berdampak buruk matinya dunia sosial. Matinya dunia sosial ditandai dengan berubahnya kesadaran manusia melakukan interaksi bukan berbasis kenyataan seharihari melainkan via dunia virtual yang bisa dilakukan kapan saja. Hubungannya dengan interaksi sebagai kunci integritas masyarakat, interaksi dunia virtual justru menghilangkan unsurunsur kenyataan yang menjadi domain penting dalam melakukan relasi sosial kemasyarakatan. Akses dari cara demikian, maka kenyataan sosial hanyalah dunia yang berbalik menjadi kenyataan nomor dua tinimbang dunia virtual itu sendiri.

Kemunculan Generasi Digital Natives

Digital Natives merupakan kriterium sosial yang merujuk kepada generasi mutakhir yang hidup secara organik di tengahtengah kemajuan alat canggih media informasi dan komunikasi. Lapisan muda ini memiliki kecenderungan sosial yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Jika diperhadapkan terhadap konsepkonsep kemajuan, generasi digital natives jauh lebih peka dan cekatan tinimbang generasi terdahulu yang banyak mengalami cultural lag. Keterbukaan terhadap ideide baru setidaknya secara epistemik memudahkan generasi digital natives untuk mencandra  seluruh arus informasi yang beredar di kehidupan seharihari. Namun, akibat kemudahan ini, secara kultural menyebabkan lapisan ini lebih menyukai “citra” dibanding “kedalaman”, “bentuk” dibandingkan “isi”, “aksi” dibanding “teori”, dan “bermain” dibanding “serius.”

Generasi digital natives juga merupakan generasi abad 21 yang merayakan kebudayaan populer sebagai perspektif kebudayaannya. Kebudayaan populer mudah diterima akibat secara simultan menjadi bagian seharihari yang diproduksi secara massal melalui media massa. Efek informasi yang menyuguhkan beragam pencitraan kebudayaan, merupakan sebab mendasar terjadinya perpaduan selera maupun pilihan kultural di mana turut membentuk segmentasi kebudayaan baru di tengah pelbagainya identitas yang mengemuka. Akibatnya, berbagai macam ekspresi kultural dapat ditemui dalam kehidupan seharihari generasi mutakhir.

Kuatnya peredaran arus informasi, di satu sisi menyebabkan kesadaran generasi digital natives tidak mampu mencapai tahap reflektif ketika mencerna sebuah informasi. Sehingga, banyaknya informasi yang dicerna bisa menyebabkan dua hal. Pertama, sulitnya menemukan kedalaman di saat yang bersamaan akibat gempuran berbagai macam informasi. 

Kedua, yakni beresikonya terjadi ledakan informasi di dalam kesadaran itu sendiri. Implikasi yang kedua ini dibilangkan Baudrillard sebagai implosif,  yakni ledakan informasi yang bergerak ke dalam kesadaran manusia tanpa menyisakan informasi apaapa. Berbeda dengan daya ledak eksplosif, implosif justru merusak struktur dalam kesadaran manusia hingga mampu menggoyah struktur ego manusia. akibatnya, ledakan informasi di dalam kesadaran manusia berimplikasi terhadapa gangguan  mental manusia.

Hilangnya nuansa refektif bagi kaum mutakhir, secara ideologis justru menyebabkan suatu gaya hidup yang lebih menyukai ikatanikatan seremonial dibandingkan kultural. Ikatan seremonial banyak terjadi dari suatu relasi yang tidak menyertakan komitmen ideologis tertentu sebagai basis gerakannya. Hubungan macam ini hanya didasarkan atas unsur kesenangan belaka dibandingkan kemauan menemukan kesetiaan pada satu pegangan pemikiran. 

Berbeda dengan generasi sebelumnya, yang sarat dengan lingkungan ideologis , menyebabkan mungkinnya terjadi internalisasi nilai yang kuat. Ekspresi kehidupan sosial seperti ini lebih didasarkan kepada hubunganhubungan organik berbasis perjuangan yang dilandasi suatu ajaran moral tertentu. Sehingga apa yang menandakan suatu ikatan dinilai atas seberapa kuatkah pegangan moral tertentu dijadikan visi dan misi bermasyarakat.

Generasi digital native memiliki kesamaan dengan generasi multitasking yang diperkenalkan Hikmat Budiman. Dalam Lubang Hitam Kebudayaan, menurut Hikmat Budiman generasi multitasking adalah generasi yang tumbuh atas situasi yang serba kontradiktif dan bertentangan. Namun, di antara pilihanpilihan kontradiktif, generasi multitasking mampu mengambil dua pilihan sekaligus yang pada dasarnya bertentangan.

Lebih jauh, menurut Hikmat Budiman, generasi multitasking adalah generasi yang keluar dari imperatifimperatif lama yang menganjurkan pilihanpilihan yang terbatas. Imperatif lama tidak terterima akibat logika dualistik yang mengharuskan sebuah pilihan menolak secara bersamaan pilihan yang lain. Misalkan jika Anda seorang marxis itu berarti Anda adalah orang yang menolak kapitalisme, dengan sendirinya Anda menghindari diskotik, mall, dan café. Setidaknya di level gagasan semua pertautan yang diingkari marxisme otomatis tertolak dengan sendirinya. Namun, seperti yang dibilangkan sebelumnya, generasi multitasking adalah golongan muda yang bisa saja memilih keduanya sebagai ekpresi pemikiran maupun tindakan kulturanya. Akibatnya, yang semula terang antara ideologis dan nonideologis, dalam cakrawala kesadaran kaum multitasking merupakan batas yang kehilangan garis pemisahnya.

Generasi multitasking adalah generasi yang merayakan kontradiksi ideologis bersamaan dengan apa yang semula dilawannya. Hikmat Budiman menulis: “menjadi generasi multitasking bukan lain adalah menjadi bagian dari orang kebanyakan. Mereka sangat peduli pada penderitaan rakyat, tapi tidak terlalu tangguh untuk jadi pahlawan. Mereka ingin pemerintahan modern, beradab dan bermoral, tanpa harus berhenti menjadi bintang sinetron dan model sensual majalah dewasa, mahasiswa yang patuh pada dosen sekaligus kekasih anak pejabat korup yang ditentangnya. Menentang monopoli Tommy Soeharto, tanpa harus membenci café, atau mobil pribadi. Siang berteriak di jalan, malam apa salahnya minum satu dua cawan Tequila di café Jimbani atau Lamborghini.”(2)

Mahasiswa: Generasi Multitasking?

Mahasiswa hakikatnya adalah terma yang politis. Secara semantik kesejarahan, pengertian mahasiswa adalah agen sejarah yang punya tanggung jawab perubahan. Namun, dalam konteks akademik modern, mahasiswa menjadi agen pembelajar yang dijauhkan dari tugastugas perubahannya.

Hampir semua bangsabangsa, di beberapa titik sejarahnya diisi  dan digerakkan peran mahasiswa. Indonesia sendiri, di beberapa momen historisnya justru diawali oleh inisiasi mahasiswa. Mulai dari tahun 1920 hingga abad ini, mahasiswa menjadi kelompok yang turut memberikan sumbangsih terhadap kemajuan kehidupan berkebangsaan.  Hal ini dimungkinkan karena mahasiswa selain agen pembelajar, juga merupakan agen pembaharu.

Di satu sisi mahasiswa juga merupakan golongan masyarakat yang paling lama mengalami sosialisasi politik dibandingkan golongan masyarakat lain mengakibatkan mahasiswa menjadi elit masyarakat yang paling mungkin melibatkan diri pada gerakan sosial politik. Itulah sebabnya mengapa mahasiswa disebut kaum intelektual.

Makna intelektual artinya bekerjanya daya akal yang melibatkan suatu visi atas arah suatu kemajuan. Intelektual juga berarti beroperasinya kritisisme terhadap segala ada yang menghambat kemajuan. Karena pasal ini juga, mahasiswa adalah kaum yang mendamba perubahan ke arah yang lebih maju.

Dari hal di atas, maka mahasiswa merupakan golongan masyarakat yang akrab dengan ideide kritis, progres, dan visioner. Waktu yang dimilikinya adalah modalitas pertama dibanding kelas masyarakat lainnya yang memungkinkan ketiga daya sebelumnya dimaksimalkan. Tinimbang kelompok masyarakat lain, mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang mengarahkan waktunya hanya untuk bercengkrama total dengan ilmu pengetahuan. Akibatnya, seluruh inti sari ilmu pengetahuan menjadi identik dengan mahasiswa.

Malangnya mahasiswa, apabila mengacu kepada konsep hegemoni Gramsci, menjadi kaum yang lumat  oleh transformasi media massa. Sehingga idealisme mahasiswa yang awalnya merupakan kekuatan penggerak sejarah malah berputar sebaliknya. Akibatnya, mahasiswa tidak berbeda dengan segmentasi masyarakat umumnya, jadi bagian yang tersapu dunia imaji media massa.

Akhirakhir ini, terutama media massa virtual, menguat suatu kecenderungan fundamentalisme religius dan pasar yang bergerak membangun kesadaran masyarakat atas sentimentalisme keagamaan, kesukuan dan modal. Berbeda dari media massa cetak, sifat media massa virtual, orangorang bukan lagi sebagai pembaca informasi, namun juga bergerak lebih jauh menjadi produsen informasi. Dalam media virtual, hirarki informasi yang ditemukan dalam media cetak hampir tidak ditemukan. Imbasnya, seluruh informasi menjadi liar tanpa bisa dikontrol. Melalui celah ini, fundamentalisme religius dan pasar mengkonsolidasikan potensinya memanfaatkan kekuatan media massa virtual membangun audience seperti yang mereka harapkan. Sayangnya gerakan ini hampir tak tertandingi akibat betapa banyak dan massifnya gerakan serupa.

Mahasiswa yang notabene adalah generasi mutakhir diperhadapkan dalam situasi macam ini memiliki dua kemungkinan. Pertama, menjadi golongan tanpa harus ada pretensi apaapa sekaligus tidak melibatkan diri untuk membangun budaya tanding terhadap pendangkalan pengetahuan yang dilakukan gerakan fundemantalisme religius dan pasar. Atau yang kedua, membangun kesadaran kolektif via dunia virtual demi menyerukan suatu budaya alternatif demi menangkal arus informasi yang bisa menyudutkan bahkan membangun sentimentalisme tak berdasar.

Artinya, alihalih menjadi bagian generasi multitasking, mahasiswa harus mampu menggunakan kemajuan media informasi sebagai bagian dari visi perubahannya. Padahal, di satu sisi mahasiswa sebagai agen sejarah yang memiliki modal perubahan yang kuat, bisa dimaksimalkan oleh keberadaan media informasi.

Setidaknya ada tiga hal yang harus dimiliki mahasiswa agar mampu memaksimalkan pemanfaatan atas media. Pertama adalah kemampuan literasi. Kemampuan literasi diawali dengan terbangunnya tradisi paling mendasar yakni kebiasaan baca tulis. Ditingkatan kedua, teks tidak sekedar diafirmasi sebagai bacaan, melainkan mampu menarik makna dan arti yang bisa kontekstualisasikan di berbagai medan persoalan. Tingkatan ketiga yakni teks maupun makna yang tergali mampu membangun kembali keadaan yang dianggap problematis.

Kemampuan yang kedua adalah mahasiswa seharusnya memiliki pers independen yang menjadi panggung bersuara. Sejarah kaum muda Indonesia pra kemerdekaan merupakan contoh terang bagaimana kekuatan pers adalah kekuatan nomor satu sebagai media penyebar gagasan. Setidaknya, pers mahasiswa independen mampu menjadi kekuatan penyeimbang di antara beragamnya media yang berkepentingan atas nilai modal.

Ketiga, mahasiswa dituntut mampu membangun jaringan berskala luas dengan memanfaatkan media. Tak bisa ditolak, tumbangangnya rezim orba sedikit banyaknya dipengaruhi oleh jaringan gerakan mahasiswa yang memanfaatkan media sebagai penghubung di antara beragamnya kelompok mahasiswa. Media dalam konteks ini memiliki faedah menyatukan berbagai macam kelompok berbeda menjadi gerakan kolektif.

--- 

(1)(2) Hikmat Budiman. Lubang Hitam Kebudayaan. Kanisius. 2006.