Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung
pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat
memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih
panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini
gilirannya.
Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia
menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx. Yang unik dia menyemat Rasul
Muhammad sebagai tokoh lain. Di tulisannya, dua orang beda zaman, disandingkan.
Lamatlamat, forum berubah khusyuk. Suaranya akhirnya mulai stabil.
Kalau mau dibilang, Hajrah menulis ulang isi suatu buku. Semacam
resume. Hajrah bilang, awalnya dia mau menulis resensi. Cuman, dia agak ragu.
Makanya dia mengulas tema umum buku yang sudah dibacanya, soal segregasi
masyarakat. Nampaknya, tulisan itu bikin polemik. Di kelas, dari beberapa diksi
dipakai Hajrah akhirnya jadi esensil, jadi soal.
Perkara itu dimulai Sandra dan Arhie. Perdebatan menyoal kata
ganti "beliau" yang dinisbahkan kepada anak Abdullah bin abdul
Muthalib. Sandra bilang, kata ganti "beliau", yang merujuk kepada
Rasulullah, dalam teks tidak sepadan. Asumsinya, sembari menyitir ilmu tafsir, "beliau"
bukanlah diksi yang layak disemat kepada Muhammad saw. "Beliau",
sejauh jelajah literatur Sandra, belum ditemukan mengganti Rasulullah sebagai
kata ganti. Bagi Sandra, ini bukan soal perkara diksi belaka. Ini soal hubungan
penanda dan tinanda.
Arhi justru punya asumsi lain. "Beliau" bukan soal
karena mengandung makna penghormatan. Artinya, jika dipakai merujuk kepada
Muhammad nabi terakhir, itu boleh saja. Hubungan penanda dan tinanda di situ
tak jadi soal. "Beliau" sebagai kata pengganti, sebagai penanda, dan
"Muhammad" orang yang jadi tinanda, secara semiotik bisa dibenarkan
sejauh itu merujuk kepada hal yang sama. Arhi, karena itu bilang,
"Beliau", sama halnya julukan Muhammad yang lain, bisa dipakai
sebagai kata ganti.
Soal lain yakni diksi "pemikir" yang ditulis Hajrah.
Konteksnya, Muhammad dan Karl Marx disebut "pemikir" besar yang punya
pengaruh. Di sini, saya nyatakan, perlu kehatihatian jika mau menyebut
Muhammad "pemikir". Karl Marx punya gagasan sosialisme ilmiah, dia
berpikir soal nasib buruh. Dia bersama Enggels merumuskan Manifesto Komunis.
Syahdan, Marx adalah orang yang memacu intelektualitasnya dengan berpikir di
batasbatas keilmiahan. Sedangkan Muhammad seorang nabi. Dia kalau mau dibilang
tidak punya "orisinalitas" pemikiran. Muhammad, orang yang menerima
wahyu, dia seorang pembawa pesan.
Soal ini akhirnya jadi esensil. Banyak kemungkinankemungkinan
terbuka. Kalau Muhammad seorang "pemikir" maka dia orang yang punya
ruang otonomi menggunakan rasio. "Pemikir" apalagi dalam konteks
modern, merupakan antitesa dari cakrawala bathin abad pertengahan.
"Pemikir" dan seperti intelektualitas abad pertengahan
"Perenung", dua soal yang berbeda tolak ukur. "Pemikir"
akibatnya adalah suatu "pemberontakan" terhadap otoritas wahyu yang
menjadi sistem pengetahuan sebelum abad modern.
***
Kelas dimulai sekira pukul dua. Kawankawan agak telat. Saya dan
Hajir, seperti biasa pergi menggandakan Kala. Selebaran ini sudah
masuk bulan ketiga. Di edisi akhir Maret, Kala punya kolom
baru; "Unjuk Rasa".
Kolom ini sudah jadi "milik" Sulhan Yusuf. Nampaknya,
dia sudah ditakdirkan menulis di sana, halaman terakhir Kala. Kala bukanlah
media berita yang punya nama. Dan, memang Kala bukan media
berita. Kala hanyalah mini buletin yang terbit setiap akhir
pekan. Tapi, kolom "Unjuk Rasa" yang baru di Kala jadi
semacam nilai jual. Pasalnya, di situ Sulhan Yusuf melahirkan ideidenya tiap
akhir pekan. Di situ, kita bisa berjumpa "Sulhan Yusuf" yang lain.
Saya kira, di beberapa komunitas, Sulhan Yusuf bukan asing. Dia
orang yang gampang dikenali. Ciri khas yang lekat dari beliau adalah kepala
yang plontos. Kalau mau dibilang, hidup pria penggila Arsenal ini adalah dunia
literasi. Dari mahasiswa hingga sekarang, hanya satu semesta tempat Sulhan
menyatakan diri; dunia aktivisme. Makanya, contoh vulgar kayak bagaimana
aktivis par excellence, Sulhan Yusuflah orangnya.
Aktivisme itulah yang dia niatkan untuk Kala. Dia
sudah dibaptis untuk mengakar diri di kolom "Unjuk Rasa".
Di tulisan perdananya, dia bilang ini jalan literasi yang bakal ditempuh. Kolom
"Unjuk Rasa" sebidang rumah tempat dia datang karena merasa
terpanggil. Menulis, bilangnya, adalah panggilan jiwa.
Karena itulah, di kolom itu kita bakal bertemu "Sulhan
Yusuf" yang lain. Di situ bukan Sulhan Yusuf penggila Arsenal, bukan
Sulhan Yusuf yang kerap jadi "murid" Guru Han, juga bukan seorang
pimpinan Paradigma Institute. Di situ, "Sulhan Yusuf" sudah jadi pemikiran,
ujud yang dirundung kenyataan, ditimpa soalsoal dan kembali bersuara, berunjuk
rasa.
Makanya bisa dua hal terjadi di sana, di kolom "Unjuk Rasa".
Pertama, dari mata bulat Sulhan Yusuf, dia bisa memapar beragam kejadian. Dari
matanya, dia bisa mewakili mata objektif orangorang. Menulis atas orangorang,
juga merasai seperti orang kebanyakan. Matanya, atau perspektifnya adalah
pengamatan yang berusaha masuk dalam dunia orangorang. Akibatnya, Sulhan harus
jadi "orangorang kebanyakan", dia harus objektif.
Atau, yang kedua, dari ruang bathin yang subjektif. Di sini,
kemungkinannya jadi lain, di sini dunia objektif jadi surut. Di ruang bathin,
Sulhan berlaku subjektif. Di ruang ini, Sulhan memiliki kemerdekaan berbuat apa
saja. Tak ada yang punya hak intervensi di situ. Di dalam dimensi
subjektifitas, Sulhan bisa menulis apa saja, mulai dari perkara pribadi sampai
ihwal masyarakat. Mata bathinnya bisa berlaku surut atau maju menyoal masa
silam atau masa depan. Karena itulah disebut unjuk rasa; menyuarakan segala
soal dari dalam kepada khalayak. Suatu pernyataan sikap.
Di dua kemungkinan itulah kita bakal menjumpai "Sulhan
Yusuf" yang lain. Dia bakal bergerak di antara suara orangorang banyak
atau seorang yang mengambil suatu sudut di antara banyak orang. Dia bakal
bermain di batas dua dunia, dunia subjektif, juga dunia objektif. Dia bakal
menulis khalayak ramai faktafakta atau ihwal sunyi permenungan suatu jiwa.
***
Akhir Maret pekan yang terik. Kelas menulis PI ramai dengan pekik
suarasuara. Kadang gema bibir kala gema aksara. Dari situ tulisan dibaca
satusatu. Ini metode pertama kali dipakai. Mekanismenya, tulisan yang dibawa
dibacakan sendiri untuk dikritik. Satu tulisan dibaca, satu tulisan dikritik.
Gema itu salah satunya datang dari dua tulisan; Arhi dan Heri.
Mereka menyoal dua kasus berbeda, tapi siapapun membacanya pasti tahu, mereka
sebenarnya sedang protes. Barangkali "protes" itulah benang merahnya.
Sadar atau tidak, mereka jadi dua orang yang bersuara paling lantang atas tulisannya.
Mereka sedang memprotes dunia "orangorang suci"; dunia pendidikan.
Arhi menyoal kebijakan pemerintah yang dianggap meliberalkan
pendidikan. Atas itu dia tulis lengkap sejumlah aturanaturan. Mulai
undangundang sampai peraturan presiden. Dari BHP sampai BLU. Di situ Arhi
menulis sejumlah alasanalasan mengapa BLU perlu ditolak, selain karena
privatisasi, juga liberalisasi. Arhi tulis "bolehkah kami bertanya, kapan
kampus lebih baik dari peternakan anjing? Lebih baik dari pembuangan sampah?
Tidak kebanjiran ketika hujan, dan tidak berdebu ketika kemarau? Tidak
kepanasan ketika kuliah? Kapan biaya kuliah kami murah? Kenapa kami harus bayar
mahal, tapi fasilitasnya tidak layak?
Heri, yang juga seorang mahasiswa, mengungkap faktafakta ganjil
penyelenggaraan pendidikan di almamaternya. Dia bilang banyak bentuk
diskriminasi dilakukan di sana. Dan, juga yang dia sebut ganjil adalah soal
pungutan liar. Jadi kasusnya soal sebentuk kegiatan yang dilakukan oleh
pihak kampus kepada mahasiswa UKT. Sesuai aturan Pemendikbud No. 55 Tahun 2013,
tidak ada lagi pungutan biaya bagi penyelenggaraan akademik berbasis uang
kuliah tungal. Namun sayang, kegiatan itu membebankan sejumlah pungutan kepada
mahasiswa UKT demi berlangsungnya kegiatan. Heri menulis, "hal ini musti
dikritisi dan mendapat respon yang baik bagi kalangan mahasiswa sendiri, menyatukan
suara dan berteriak tolak pungli." Di akhir tulisannya dia menutupnya
"Namun kita haris yakin bahwa penindas, cepat atau lambat akan
binasa".
Sebelumnya, Salman sudah dahulu bersuara. Dia tulis soal perilaku
manusia yang merusak alam. Tulisannya mirip suara koor yang berteriak
dibelakang panggung, bahwa aktivitas moralis pecinta alam, justru punya maksud
lain. Atau digeser dengan maksud lain. Dia singgung soal brandbrand terkenal
yang menciptakan trend mencintai alam, namun justru kental dengan unsurunsur
kepentingan kapital. Mahasiswa alumni fakultas pendidikan ini, juga
sedikit menyinggung soal etika komunitas alam yang dinilai ambivalen dengan
semangat ekologis yang sering jadi jargon.
Tapi, juga ada suara gema yang lain. Semacam kabar bahwa dunia
bukan medan yang lurus, melainkan dunia yang landai, curam. Fifi, dengan prosa
lirisnya bersuara soal peralihan perempuan muda yang secara transfiguratif
menjadi seorang ibu rumah tangga. Fifi, menulis kesankesan peralihan dari
seorang perempuan muda yang tibatiba mengemban suatu tanggung jawab keluarga.
Dia mengungkap dunia kejiwaan perempuan yang beralih dunia.
Perasaanperasaannya. Pekerjaannya kala sendiri mengurusi keluarga. Dan, di
situlah kekuatannya, dia mengungkap sisi "keterasingan" seorang istri
dari seorang suami yang sibuk dalam dunia kerja.
Retno Sari dan juga Marwa, merekam gema soal suara seorang
perempuan yang tersakiti. Retno menulis deskripsi perempuan dengan analogi
bungabunga. Di saat dia membaca tulisannya, implisit di situ parau suara
perempuan yang bangkit dari semacam pengalaman traumatis. Retno bilang, dia
sering mendengar curahan hati perempuanperempuan sekitarnya. Soal bagaimana
suatu pengalaman kelam tidak membuat perempuan mendendam dan tersakiti, malah
bangkit dan menjalani kehidupan selayaknya kehidupan normal. Suara semacam
itulah yang dia tulis, dengan analogi bungabunga.
Marwa, perempuan yang mengemas suaranya lewat fiksi. Teksnya
adalah kritisisme perempuan atas idealisme intelektual. Dia nyatakan
ambivalensi yang dia rekam. Di kampus, tempat kala menara ilmu jadi tinggi,
idealisme sudah jadi barang usang. Idealisme hanya jadi bahasa lantai, atau
bahasa jalan raya yang diinjak dan berlalu begitu saja. Kampus, hanya kumpulan
suarasuara tengik omong kosong. Di sana, idealisme, entah di atas mejameja
birokrat, atau di bukubuku mahasiswa hanya kecerdasan yang disembelih oleh
sikap amoralis.
Tapi, di baitbait puisinya, Marwah masih menaruh harap. Terutama
kepada orangorang yang harus tercaci maki. Orangorang yang menempuh jalan
kecil. Orangorang yang mungkin cuman seorang dua orang, orangorang yang hanya
dihitung jari. Orangorang yang punya mimpi besar, dengan gagasan besar. Orang
"yang menempuh jalan yang kecil meskipun harus tercaci maki."
***
Muhajir memacu motornya. Suara knalpot setengah bocor itu membelah
jalan Pabbentengang. Saya sedari awal yang diboncengnya duduk memegang
selebaran Kala. Kami memang sudah dua minggu ke tempat yang sama
menggandakan Kala. Di siang itu, dengan Kala yang
tintanya belum kering betul, melaju ke tempat kelas literasi PI digelar; TB
Paradigma Ilmu. Di situ kami yakin sudah ada kawankawan menunggu.
Hajir menarik tali gasnya panjangpanjang. Motornya meraungraung.
Dan, siang masih terik. Ini hari yang bakal panjang.