waktu kolektif

Modernisme memang mengubah banyak hal. Salah satunya adalah waktu kolektif. Dewasa ini, betapa langkanya waktu bersama yang dipunyai. Hilangnya waktu bersama adalah penanda bagaimana kejamnya modernisme mencuri yang “intim” dari ikatan sosial. Akibatnya, manusia jadi orangorang yang antisosial dan pelit kasih sayang. Selanjutnya, kita lupa bahwa ada yang disebut teman, sahabat, karib, dan sanak keluarga, tempat kita berbagi perhatian dan kasih sayang.

Waktu kolektif menjadi langka terutama karena makin beragamnya kesibukan dan kepentingan, sementara itu waktu begitu terbatas. Anthony Giddens mendaku modernitas telah membelah ruang dan waktu, sehingga orangorang sangat sulit berada pada satu momen yang sama. Sementara itu, semakin canggihnya alat informasi membuat orangorang semakin terpecah satu sama lain.

Di kehidupan rumah tangga, misalnya, tak menjamin kedekatan fisik berarti juga terjalin keintiman emosional di dalamnya . Berkumpulnya sanak keluarga dalam satu ruang, akibat kemajuan dunia teknologi dan informasi, membuat garis pemisah yang ditimbulkan melalui layar gadget. Melalui layar mesin canggih, ruang terbelah berdasarkan dunia yang berbeda atas kepentingan masingmasing.


Waktu bersama, akhirnya kehilangan intensitas walaupun dalam pengalaman yang sama. Ketiadaan agenda kolektif adalah sebab suatu komunitas mengalami desakralisasi atas waktu bersama. Hilangnya agenda bersama, juga mengakibatkan tidak adanya makna bersama untuk memaknai waktu yang dialami. Absennya pengalaman bersama atas waktu, juga dengan sendirinya akan merusak hubunganhubungan yang pada dasarnya menjadi tujuan waktu bersama itu sendiri.

Waktu di alam berpikir modern berdasarkan semangat progresif yang dikandungnya, selalu diartikan sebagai medan rasional yang memiliki kriterium tersendiri. Waktu akhirnya dipandang sebagaimana atom yang dapat dipilahpilah, dibagibagi, dan diklasifikasi berdasarkan efisiensi yang paralel dengan keberadaan kapital. Semakin banyak kapital yang dipunyai dengan waktu yang efektif, akan jauh lebih baik dibanding minimnya modal atas pemanfaatan waktu yang lama.

Waktu yang sudah dibagibagi itu akhirnya disusun berdasarkan muatan kapital yang terkandung di dalamnya. Maka ada yang disebut waktu kerja, waktu produktif, waktu libur, waktu senggang, waktu lembur dan pembagian lain sebagainya, berdasarkan seberapa jauh unsur kapital di dalamnya dapat dioperasikan.

Waktu dengan model pembagiannya itu juga paralel dengan ruang yang menjadi medan bertemunya kepentingan atas penggunaan waktu dan ruang itu sendiri. Waktu kerja akan disinonimkan berdasarkan tempat kerja ketika waktu itu digunakan. Waktu libur akan dihabiskan di lokasilokasi semisal mall, tempat bermain, rumah bernyanyi atau restoran, waktu belajar akan di manfaatkan di sekolah ataupun diperpustakaan, begitu seterusnya dengan mengikuti proses produksi kapital di dalamnya. Semakin banyak kapital diberlangsungkan di dalamnya, maka akan semakin tinggi nilai waktu itu sendiri.

Pemilahan waktu yang demikian akhirnya berdampak terhadap penggunaan waktu yang sebisa mungkin efisien. Adagium waktu adalah uang, adalah bahasa sosial yang terbangun dari etika kultural yang selama ini bersandar terhadap waktu yang bernilai kapital. Sehingga pendasaran atas waktu yang dipunyai, menjadi barang yang bernilai tinggi ketika dikaitkan dengan kapital yang dapat diproduksi di setiap momennya.

Di kotakota besar, pertimbangan atas dasar efesiensi waktu akhirnya juga turut mempengaruhi tata ruang kota untuk membangun fasilitasfasilitas publik. Sedapat mungkin infrastruktur perkotaan mampu melipat ruang dengan meminimalisir penggunaan waktu. Berubahnya infrastruktur perkotaan yang mengalami kepadatan dan kerapatan, selain berdampak hilangnya ruang, juga membuat waktu yang dikonsumsi kehilangan dimensi penghayantannya akibat keinginan untuk mengunakan waktu secepat mungkin.

Tak bisa juga ditolak, walupun kota mengalami kepadatan atas ruang, dengan sendirinya tercipta ruang baru yang memfasilitasi masyarakat yang terdorong dengan pemetaan ruang yang baru. Kehadiran ruang baru mau tak mau mengubah penghayatan masyarakat terhadap ruang yang sebelumnya dihancurkan untuk menghadirkan ruang yang lebih modern. Hanya saja, ruang baru yang tercipta di atas puingpuing kehancuran ruang sebelumnya, harus disesuaikan dengan logika waktu modern yang mengikutkan kekuatan kapital di dalamnya.

Untuk itu penting mendasarkan penghayatan atas waktu dengan mengikutkan semangat kolektif. Asumsi ini penting akibat pembelahan ruang dan waktu yang juga mencabik habis ikatan kolektif. Individualisme sebagai akibat dari tekanan terhadap waktu yang harus dikonsumsi dengan ringkas, dapat diminimalisir dengan menghadirkan kembali waktu kolektif sebagai daya pendorong untuk memugar waktu yang terbebani semangat kapital.

Betapa pentingnya waktu kolektif sehingga perlu ada ekstensifikasi untuk membangun keintiman di dalamnya. Tidak mudah untuk menggandakan waktu kolektif dari banyaknya spesialisai atas waktu. Diharapkan dari semakin banyaknya  waktu kolektif bagi masyarakat, dapat menunjang semakin banyaknya dimensi kebersamaan yang dimanfaatkan.

Pemanfaatan waktu kolektif adalah usaha untuk kembali merekatkan waktu dan ruang yang tercabikcabik oleh modernitas. Jika selama ini di dalam suatu komunitas anggotanya mengalami penjarakan akibat ruang,  maka dengan maksimalisasi waktu kolektif dapat menyembuhkan kembali ikatan kultural yang selama ini hilang.

Waktu kolektif juga akan merevitalisasi ikatan pertemanan, persahabatan, kolega, ataupun sanak keluarga yang direduksi maknanya atas ikatan yang rasional menjadi emosional. Di harihari perayaan misalnya, di situ waktu kolektif juga bisa menjadi waktu publik yang diartikan sebagai waktu bersama dengan mengedepankan asasasas kebersamaan. Hari tahun baru, misalnya, yang selama ini diformat dengan kegiatan seremonial, dengan waktu publik yang tersedia bisa memaksimalkan intensi kebersamaan dengan kegiatankegiatan yang positif.

Akhirnya, waktu kolektif juga bisa digandakan dengan menciptakan momenmomen bersama yang di dalamnya ada kemerdekaan atas waktu yang murni. Bukan waktu yang telah terspesialisai atas agenda kerja yang memenjarakan. Sebab, waktu kolektif sesungguhnya waktu ketika orangorang berkumpul bersama untuk menemukan ikatan yang hilang akibat kemapatan waktu yang terkapitalkan. Waktu kolektif memang juga perlu agenda, tapi disitu lebih kepada perayaan atas kebersamaan yang memanusiakan, karena waktu kolektif memang ingin mengingatkan kembali bahwa manusia sebenarnya adalah orangorang yang butuh empati, orangorang yang butuh kebersamaan.