Pemilukada

Hari ini 9 Desember, di beberapa tempat, orangorang sedang pesta demokrasi. Umumnya pesta demokrasi, mereka datang dengan riang, dan kemudian akhirnya masuk ke bilik suara. Di situ, di tengah bilik berbentuk kotak, merupakan tempat yang paling rahasia. Di dalam kotak itu, dengan hati yang mantap, sepasang calon akan dipilih. Di ujung paku mereka, akhirnya sepasang muka dicoblos. Kenal atau tidak, telah tunai hak sebagai warga negara yang baik.

Proses yang tak sampai lima menit itu, kita sebut demokrasi. Walaupun kita tahu bahwa demokrasi tak bisa diartikan sebagai momentum lima menit belaka. Pasca lima menit itu, suatu pemerintahan bakal lama duduk sebagai yang mulia. Lima tahun lamanya. Justru selama lima tahun itulah demokrasi yang sebenarnya berlangsung.

Proses panjang lima tahun nanti, agaknya suatu masa yang riskan. Orangorang boleh memasang pilihan selama lima menit di bilik suara, tapi bertanggung jawab selama lima tahun dari suatu pilihan agaknya tak bakal banyak yang punya perhatian.

Pasca lima menit kemudian, orangorang akan kembali ke kehidupannya seperti sedia kala; masuk kantor dengan berkasberkas yang menumpuk, ke pasar berdagang hingga sore, bertani sembari menunggu datang hujan, dan yang lain duduk nyaman menyeruput kopi di warkopwarkop sudut kota. Serentak, memori kolektif lekas dari hingarbingar suasana pemilukada.

Tapi tentu tidak secepat itu. Orangorang pasti masih akan berkumpul omongomong pasca memilih. Ketika tinta biru masih basah di jari tangan, orangorang bakal menerkanerka siapa yang akan memenangkan pertarungan. Hingga pukul empat nanti, semuanya masih tekateki. Omongomong masih terus berlanjut, gosip sana gosip sini, menunggu si calon yang bakal keluar sebagai jawaranya.

Di saat itulah, sering kali kita mendengar bagaimana orangorang memberikan pandangannya. Di waktu omongomong itu, si A ngomong tentang si anu lebih baik dari si fulan karena si anu punya program ini, tapi bakal disanggah oleh si B bahwa si fulanlah yang terbaik, sebab si fulan punya pendukung yang lebih banyak dari si anu. Itu kalau calonnya hanya dua pasangan. Bayangkan kalau calonnya sampai lima pasangan, pasti omongomong politik bakal ramai.

Bincangbincang a la warung kopi itu, juga kita sebut demokrasi. Lewat itu orangorang belajar untuk mempertanggung jawabkan pilihannya. Mencari kualitas ideal terbaik, seperti filsuffilsuf dalam menentukan manusia paripurna. Membincang konsep pemerintahan yang canggih untuk daerahnya. Dan, tentu bagaimana mereka menyatakan pendapatnya.

Namun, itu lagilagi bakal sebentar. Angin kesibukan sudah tentu datang. Omongomong politik jadi sedu sedan. Lima tahun bakal sepi dari kritisisme warga. Ketika itu terjadi, maka demokrasi kita hanya seperti yang sering disebutsebut bapakbapak di atas, hanya administratif belaka.

Tentu ada harapan bahwa lima tahun yang panjang itu, setiap orang menaruh ingatan atas pilihannya. Waktu adalah rejim yang sulit didugaduga, di dalamnya seseorang yang mulia bisa berubah hina. Ketika itu terjadi, ingatanlah yang jadi hakim, bagaimanapun suatu jalan lurus harus ditegakkan. Ketika suatu visi jadi lancung dan misi mandek di tengah jalan, orangorang harus bersuara untuk mengambil bagian, bahwa demokrasi masih bekerja.

Demokrasi memang pekerjaan untuk membangun kritisisme. Itulah mengapa demokrasi disebut pekerjaan orangorang rasional. Akibatnya, jika kita berdemokrasi, maka suatu pernyataan politik adalah kalimat yang sudah beres dari kepala. Bukan pernyataan yang meluapluap dari dada yang panas. Bukan pilihan yang dijatuhkan atas sentimentalisme ras, agama, dan suku tertentu.

Maka itu mari berharap, orangorang yang berpesta datang dengan kepala yang dingin; mempertimbangkan pilihannya atas gagasangagasan, ideide perubahan yang cemerlang, serta pengetahuan yang lengkap tentang budi pekerti bagi seorang pemimpin yang baik. Bukan menusuk paku ketika wajah yang di lihat adalah sanak keluarga yang belum tentu punya gagasan yang maju. Sebab, yang disebut pesta, terkadang orangorang hilang akal sehat.