Kebiasaan menulis saya pertama kali tumbuh ketika mahasiswa.
Itupun semester banyak. Menggelikan. Sepanjang ingatan saya, sebelum itu,
menulis sebagai aktifitas menulis pernah sekali saya lakukan
ketika mengikuti pelajaran bahasa indonesia di Sekolah Dasar. Itupun hanya
berupa membuat karangan bebas sebagai tugas akhir pekan. Mendengar kata “bebas”
waktu itu senangnya tak ketulungan. Saya bisa berimajinasi sesuka hati. Apalagi
itu diungkapkan melalui cerita. Maka untuk pertama kalinya, yang namanya
imajinasi di kepala saya, bisa melayanglayang.
Omongomong soal imajinasi, sebenarnya itu sudah dipunyai oleh
siapapun ketika anakanak. Itu dialami ketika saya sering melakukan dan
menyalurkannya melalui gambar. Di waktu kecil memang saya gemar menggambar.
Saya rasa ini dialami hampir semua anakanak. Kalau tidak percaya, coba datang
ke rumah saya melihat keponakan imutimut nan jail saya yang hampir tiap sudut
tembok rumah sudah dicoretinya.
Kala itu, pertama kalinya saya punya gema suara di dalam kepala
bahwa saya punya bakat menggambar. Berdasarkan keyakinan mungil saya ini, saya
mulai sering meniru dan menggambar bentukbentuk manusia yang saya lihat di
majalah Bobo langganan kakak saya. Kelak majalah anakanak ini pula yang
mengajari saya untuk belajar membaca pertama kalinya.
Aktivitas menggambar akhirnya membawa saya dan beberapa temanteman
mewakili TK tempat saya belajar (lebih tepatnya bermain sih!), mengikuti lomba
menggambar. Lumayan, pasca lomba, saya dapat membawa pulang satu piala kecil
plastik berwarna emas. Bahagia bukan main. Dan, mulai saat itu pula terbersit
di dada saya, saya berniat menjadi pelukis.
Citacita itu bertahan cukup lama seiring dengan bangganya saya
ketika sering ditanyai kelak mau jadi apa. Pelukis tentu jawaban saya, suatu
pekerjaan yang menurut saya bercita rasa tinggi. Citacita ini juga terus hidup
dari kegemaran menggambar yang semakin berapiapi. Sampaisampai ketika ada lomba
menggambar di majalah Bobo, maka dengan semangat membara, akan saya ikuti tanpa
menghiraukan aral melintang. Pokoknya, saat itu menggambar adalah citacita
luhur saya. Tak ada yang boleh membendungnya.
Makanya sampai saya menginjak sekolah dasar, pelajaran menggambar
yang paling saya sukai. Kesukaan saya ini melebihi pelajaran bahasa indonesia
yang di situ ada mengarang sebagai salah satu pelajarannya. Saya merasa, lewat
menggambar saya bisa lebih ekspresif dibandingkan dengan menyusun kata malaupun
itu mengarang. Apalagi saya senang mencampurcampur warna untuk mendapatkan
kesan yang indah. Untuk yang satu ini, saya rela menangis berjamjam hanya untuk
mendapatkan pensil warna yang kala itu bisa berubah cat air. Luna nama pensil
warna itu.
Saya tak tahu apakah pensil warna itu masih bertahan sampai
sekarang. Tapi saat itu, pensil warna itu saya anggap pensil warna yang paling
keren. Di saat itu belum ada pensil warna yang bisa diubah layaknya cat air,
sehingga menggunakannya kita bisa mencampurcampur warna menjadi lebih menarik.
Menggunakan pensil warna yang bisa berubah cat air itu, menjadikan saya bak
pelukis profesional. Betapa gembiranya saya.
Namun sayang, untuk menggunakan pensil warna itu, konsekuensinya
saya harus memiliki buku gambar yang berkertas tebal. Karena jika hanya
menggunakan buku gambar murahan dengan kertas tipis, maka kertasnya akan mudah
robek ketika diberikan air. Akhirnya, saya harus membujuk bapak untuk
membelikan buku gambar yang setara dengan pensil warna yang saya punyai. Dengan
berurai air mata, akhirnya saya punya lengkap, buku gambar kertas tebal dan
pensil warna yang bisa berubah cat air.
Tapi sayang semakin saya naik kelas, pelajaran kesenian terutama
menggambar jadi sosor. Itu saya rasakan ketika kelas tiga SD, pelanpelan mata
pelajaran saya tidak menyertakan menggambar sebagai aktivitas belajarmengajar
di dalamnya. Apalagi saat itu ada hapalan kalikalian yang sudah mulai harus
kami hapalkan. Pelanpelan, minat saya yang menggebugebu itu akhirnya tertimbun
jauh tanpa dasar. Hingga akhirnya ekspresi menggambar, saya salurkan ke
mejameja dalam kelas.
Di waktu SD, saya juga senang menghabiskan kapur tulis. Apalagi
kalau kapurnya berwarnawarni. Itu sudah cukup membuat saya senang, karena
dengan itu saya bisa menggambar apa saja di papan tulis lengkap dengan
warnawarninya. Walaupun saya tahu setelah keluar bermain usai, gambar itu bakal
dihapus. Dengan berat hati kejadian itu saya anggap sebagai perilaku yang tidak
saya sukai. Karya gambar saya tidak diapresiasi, langsung dihapus begitu saja.
Menjengkelkan.
Kelak kebiasaan saya itu jadi bumerang. Soalnya ketika saya
menggambar, saya jadi lebih sering dimarahi guru karena menghabiskan persediaan
kapur di kelas. Maka mau tak mau, kebiasaan saya itu pelanpelan saya
tinggalkan. Capek diomeli terus. Tapi hal itu tidak berlaku bagi kesukaan saya
menggambar di mejameja kelas. Kelak kebiasaan ini terus berkanjut sampai SMA,
bahkan saya berani menggambar di baju sekolah saya.
Tapi tunggu dulu. Ini penting. Sebenarnya saya ingin menulis
tentang kapan saya memiliki kesenangan menulis, bukan menggambar. Tapi perlu
saya katakan di sini (ini amanah hati saya), kebiasaan menggambar saya sudah
mulai berkurang ketika saya menginjak SMP, dan di SMA hanya saya lakukan jika
saya mau. Tapi itu tidak membuat saya kehilangan skill menggambar. Buktinya
ketika menjadi mahasiswa, setiap ospek, sayalah yang menggambar mukamuka tokoh
terkenal sosiologi di kainkain spanduk yang super besar dan panjang itu. Kalau
sekarang, mau coba kemampuan saya?
Namun satu hal yang saya rasarasai, kecenderungan menulis saya,
sedikit banyaknya dipengaruhi dengan kesukaan menggambar ketika kecil saya
dulu. Hal ini saya sadari ketika saya mulai menyamakan aktifitas menulis sama
halnya dengan menggambar. Jadi ketika saya menulis, sebenarnya energi yang sama
saya miliki ketika saya menggambar. Saat itu di kepala saya seperti ada
bentubentuk yang harus saya keluarkan dari imajinasi saya. Seperti ada
yang saya bayangkan ketika menggambar. Bedanya ketika saya menulis, saya
menggambar melalui katakata, sementara gambar yang sebenarnya selalu beterbangan di
dalam benak saya. Jadi saya kira ini hanya soal berubah cara saja. Selebihnya
tak beda. Oke kepala saya seperti diikat karet ban, keras sekali. Saya sudahi
dulu.