Tadi setelah dari
warkop, saya tiba di rumah pukul duapuluhdua. Setiba di rumah, saya mengira
orangorang di rumah sedang berkumpul menyambut pergantian tahun. Minimal bapak
dan ibu sedang asyikasyiknya menonton televisi. Kebiasaan akhirakhir ini ketika
mereka menonton acara dangdut sekelas Asia di salah satu stasiun tv itu. Tapi
kebiasaan itu tidak berlanjut pasca acara itu dimenangkan Danang alamumni
Dangdut Akademi dua beberapa hari lalu. Justru yang saya dapati adalah kakak
ipar saya sendirian di depan televisi. Sementara kakak saya, asyik bermainmain bersama
anaknya di kamarnya. Sial.
Ya, di rumah tak ada
tandatanda menyambut tahun baru. Lurus saja. Seperti harihari biasa. Toh jika
ada tandatanda acara menyambut tahun baru, barangkali hanya jagung yang direbus
mamak sebakul penuh. Entah jagung dari mana. Yang jelas jagung itu sudah masak
ketika saya tiba di dapur. Itupun hanya dibiarkan di atas kompor setelah masak.
Begitu saja. Tak ada yang menyuguhkannya.
Tandatanda tak ada
acara di rumah –sebenarnya, semenjak kapan ada acara tahun baru di rumah!- semakin
jelas ketika saya melihat bapak dan mamak sudah tidur pulas di pembaringan.
Bayangkan! Jam sepuluh malam sudah pulas melanglang terbang di alam tidur. Alamak,
bukankah itu sinyalemen tak ada acara menyambut tahun baruan? Akhirnya saya
harus ikhlas melewati malam tahun baru seperti tak terjadi apaapa.
Sebenarnya, jauh di lubuk hati paling dalam, saya juga tidak
berharap jika orangorang di rumah menyiapkan acara pergantian tahun. Bagi orangorang
di rumah, terutama panglima besar mamak saya, pergantian tahun tak lebih dari
pergantian kalender saja. Sementara menurut bapak saya, ya tentu sudah pasti
ikut dengan panglima besar kan!! Tak ada acara tahun baruan segala. Cukup.
Hargai itu. Ini adalah penerapan ideologi Muhammadiyah yang dianut
bertahuntahun sekaligus turun temurun. Melawan artinya bid'ah. Nanti kafir.
Sekali lagi cukup!!
Selain itu, memang
karena di rumah tidak seperti keluarga Indonesia umumnya. Keluarga saya bisa
dibilang pada halhal tertentu kolotnya bukan main. Apalagi mau rela begadang
sampai tengah malam hanya menunggu jarum jam bergeser. Percuma. Tidak tidur
sampai jam sebelas saja sudah hebat, apalagi mau menunggu sampai jam duabelas
malam. Haibatnya luar biasa kalau itu terjadi. (oh iya, waktu nonton dangdut
juga begitu loh, bapak dan mamak cuman bisa tahan sampai jam sebelas belaka.
Lebih dari itu sudah keok lari ke dalam kamar tidur)
Makanya tak ada acara keluarga untuk pergantian tahun. Cukup lalui dengan tidur nyenyak, kemudian esok pagi bisa bangun subuhsubuh memasak dan menyapu halaman sebagai aktifitas rutin biasanya. Itu yang mamak lakukan. Kalau bapak, biasanya rajin menyiram bungabunga di halaman. Sementara saya, tentu masih bergelut intim dengan bantal tidur.
Tapi sebagai anak
muda tanggung yang lagi mekarmekarnya, saya ingin di malam ini dapat berkumpul
bersama keluarga untuk menyambut awal tahun. Minimal pada saat saya pulang, di
depan televisi lagi ramairamainya; bapak, mamak, kakak bersama suaminya plus
Athaya, keponakanku yang lagi nakalnakalnya (dia sering tibatiba menarik hidung
saya ketika saya tertidur di sofa) sedang berkumpul ketawaketiwi tentang suatu
hal. Minimal omongomong kasus terompet tahun baru berbahan sampul al quran. Lumayankan
bisa ada pencerahan malammalam.Tapi sayang beribu sayang, seperti yang saya
bilang, setiba di rumah, orangorang seperti tidak terpengaruh suasana
kemeriahan pergantian tahun.
Namun tunggu dulu. Nampaknya ada yang menggembirakan. Jagung. Ya, jagung!! Selain ada beberapa tongkol yang saya bilang sudah direbus, juga sudah ada hampir penuh satu baskom jagung yang sudah dipipil dari tongkolnya. Kata Ima, kakak saya, itu mau dibuat jagung siram besok harinya. Mendengar itu saya senang bukan main. Soalnya, syaraf indera perasa saya langsung terkenang kepada jagung siram yang sering dibuat tante Yaya, tante satu atap ketika saya pernah tinggal di Kupang, NTT, dulu.
Waktu kecil ketika
tinggal bersama, tante Yaya sering membuat jagung siram lengkap dengan
bumbunya. Rasanya nikmat sekali. Rasarasanya kala itu tak ada makanan senikmat
yang ia buat. (menulis bagian ini saya langsung rindu alm. tante dan om Yaya.
Apalagi kalau melihat artis Bolot di televisi, saya langsung terkenang dengan
Om Yaya. Mukanya hampir mirip)
Kelak ketika beranjak
besar, saya baru tahu ternyata jagung siram, begitu kami menyebutnya dulu,
merupakan makanan khas orang Gorontalo. Memang tante dan om Yaya adalah orang
Gorontalo. Mereka berdua ketika keluarga saya masih tinggal di Kupang, hidup
dalam satu rumah (mereka dan kedua orang tua waktu itu samasama perantau. Mungkin
karena itulah sampai tinggal seatap). Maksud saya, rumah kami terbagi dua
dengan ruang tamu bersama yang menghubungkan dua kamar yang berada di tiap
ujungnya. Di ujung sebelah rumah itulah mereka tinggal. Dulu saya sering
bermainmain ke kamar mereka. Bahkan sering makan masakan tante Yaya. Masakannya
memang nikmat. Apalagi ulegkan sambal khas tante Yaya yang pedaspedis nikmat.
Dari masakannyalah saya menyadari, kelak bahwa saya menyukai makanan pedas
karena dulu sering mencicipi sambal buatan tante Yaya.
Tapi sabar , sebentar! Sampai
di sini kalian tahu jagung siram yang pedaspedis nikmat itu kan? Oke bagian ini
akan saya paparkan sedikit seperti apa jagung siram itu sebenarnya. Ini penting.
Oke dari namanya saja kita sudah bisa tahu kalau makanan ini bahan utamanya
jagung. Bagi orang Gorontalo, jagung siram selalu dicampur dengan irisan kasar
ikan tuna atau cakalang. Dicampur setelah pipilan jagung direbus dengan air
mendidih. Urusan rasa, bumbu kuliner ini terdiri dari cabai merah, cabai rawit,
daun bawang, irisan bawang merah, irisan bawang putih, daun kemangi, garam
secukupnya dan sedikit belimbing atau air lemon. Dan yang membuat khas,
dicampur dengan parutan kelapa. Baiklah, saya kira ini cukup sebagai pengantar
perkenalan singkat. Jangan sampai ini jadi tulisan resep masakan. Kalau masih
penasaran, silahkan googling!
Sampai di mana tadi.
Oh iya, makanya karena itu makanan khas orang Gorontalo, praktis saya tak
pernah lagi menemukannya karena waktu itu harus berpisah dengan tante Yaya
ketika pindah ke rumah baru. Saya menduga, selain jarang dibuat mamak, itu
karena pelbagai resepnya memang tak diketahui mamak saya. Semenjak itu, saya
tak pernah lagi mencicipi masakan yang bernama asli binte biluhuta itu.
Itu terjadi sampai sekarang. Padahal makanan itu salah satu kuliner daerah yang
saya sukai.
Hingga akhirnya
besok, makanan itu akan dapat kembali saya cicipi. Setelah sekian tahun tak
pernah lagi dapat saya rasakan. Ada rasa penasaran antara kenangan rasa jagung
siram buatan tante Yaya dengan? Ah ini dia yang belum jelas sejelasjelasnnya.
Saya belum tahu siapa yang bakal meracik sebaskom jagung itu menjadi jagung
siram senikmat yang pernah dibuat tante Yaya. Kalau mamak, kuat dugaan saya
bisa menyerupai masakan yang saya rasakan bertahuntahun silam itu. Apalagi
memang mamak saya sungguh selain panglima, adalah jenderal lapangan yang bisa meracik
masakan yang nikmanikmat. Di dapur ia seperti Zvonimir Boban atau Rui Costa di
kala membela AC Milan. Meliukliuk menggocek bumbubumbu yang ada di dapur.
Hanya saja kalau Ima, saya mulai ragu karena minggu lalu ia sempat membuat barobbo’ yang
juga berbahan dasar jagung gagal memancing nafsu makan. Saya tak tahu dari mana
ia mengambil resepnya, tapi yang pasti belum habis sepiring saya langsung
berhenti mengunyah. Hambar. Ini seperti menonton AC Milan yang datardatar saja.
Dasar sial.
Untuk itu, dipergantian tahun ini
(oh iya, ketika menulis bagian ini, tak terasa waktu sudah memasuki penanggalan
2016 dari tigabelas menit yang lalu) saya ingin berdoa. Satu doa yang tulus,
dari hamba Allah yang jarang berdoa, bahwa mudahmudahan besok yang meracik
jagung siram bukanlah kakak saya. Kalau sampai dia, maka itu kesialan pertama
saya di tahun 2016. Mudahmudahan bukan dia ya Allah. Pliss.
Baiklah, besok kalender lama di
rumah bakal di lengserkan berganti kalender baru pemberian Aisyiyah, saya
sudahi dulu tulisan awal tahun ini. Selamat tahun baru. Selamat menunggu jagung
siram. Hidup jagung siram.