Apa dan Mengapa Menulis?*

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)

Menulis itu dua hal; berpikir dan bekerja. Berpikir berarti mengelola ideide, dan bekerja berarti membumikan ideide.

Mengelola ideide adalah usaha asali manusia. Semenjak manusia memiliki kesadaran, ideide selalu menjadi bahan baku dari aktifitas yang disebut berfikir. Ideide diramu dengan cara dihubunghubungkan, disambungsambungkan atau bahkan dipecahpecah atas sesuatu. Ideide selalu berarti gambaran atas sesuatu di dalam kesadaran kita. Ide tentang manusia, tentang hewan, tentang alam, tentang langit, tentang galaksi, tentang alam semesta, tentang tuhan, dan seluruh yang dapat dijangkau alam pikir adalah asalmuasal dari mana datangnya ide. Dari itu semualah ide kita datang. Dari semua itulah manusia berpikir.

Dengan begitu manusia mengelola hidup dan kehidupannya. Hidup di sini berarti individunya, dan kehidupan adalah berarti komunitas masyarakatnya.

Mengolah ideide merupakan aktivitas dialektis antara membaca dan berpikir itu sendiri. Bahkan secara teknis, tiada ideide tanpa membaca. Membaca sebagaimana berpikir adalah aktivitas terbuka terhadap sesuatu. Ketika manusia berpikir tentang sesuatu, sesungguhnya itu didahului sebelumnya dengan aktifitas membaca sesuatu. Di saat manusia berpikir tentang hidupnya, di situ berarti di saat sebelumnya ia telah membaca tentang hidupnya itu sendiri. Di saat manusia berpikir atas peradabannya, berarti sebelumnya ia tengah membaca peradabannya. Dua aktifitas antara membaca dan berfikir inilah yang saya sebut dialektis. Ini berarti satu tidak mungkin tercapai sebelum yang satunya terlaksana. Begitu seterusnya.

Membaca sebagai aktifitas terbuka berbeda dengan membaca dengan maksud kepentingan tertentu. Terkadang pada tingkatan tertentu, justru yang kedua inilah yang banyak terjadi. Banyak orang membaca sesuatu karena lebih diarahkan oleh kepentingan pengetahuannya sendiri. Terkadang juga kepentingannya digerakkan atas dasar kesenangan dan kebencian terhadap sesuatu. Kepentingannya akan bertindak sebagai penyortir apa yang layak dan yang tidak layak untuk dibaca. Dari kasus semacam ini, pengetahuannya akan menjadi penjara bagi dirinya sendiri. Orangorang seperti ini boleh saja membaca dari yang telah difatwakan pengetahuannya, tapi yakin dan percaya, pengetahuan dari aktivitas membacanya tidak akan majumaju.

Membaca sebagai aktifitas terbuka sebenarnya punya arti sederhana. Membacalah dari seluruh yang mampu dibaca, begitu kirakira artinya. Mulai dari sebait kalimat sampai berjilidjilid pagina. Mulai dari diri pribadi sampai ke kehidupan banyak orang. Mulai dari bumi sampai langit bertingkattingkat. Mulai dari Adam hingga tuhan yang tak terbatas. Singkatnya, membaca adalah aktifitas tanpa pretensi. Toh jika ada pretensi, maka hanya satu saja kepentingannya, yakni untuk pengetahuan itu sendiri.

Membaca dengan cara terbuka pada hakikatnya adalah bawaan dasar manusia. Agama menyebutnya fitrah, sedangkan filsafat seringkali menyebutnya dengan istilah human nature, yakni manusia sudah dengan sendirinya mencintai suatu segala hal. Kecenderungan ini diaplikasikannya dengan cara mencari dan menemukan informasi sebanyakbanyak mungkin, sebab manusia selalu dihantui rasa ingin tahu. Itulah sebabnya manusia selalu bertanya suatu segala. Melalui itu manusia mengembangkan rasa ingin tahunya menjadi ilmu pengetahuan.


Perlu saya tekankan di sini, membaca dengan cara terbuka berbeda dengan pengetahuan yang bersifat netral. Pengetahuan yang netral adalah pengetahuan yang bebas nilai, pengetahuan yang tak punya maksud. Sedangkan membaca terbuka berarti dari mana pengetahuan kita didatangkan, terlepas dari apakah nantinya pengetahuan yang didapatkan adalah pengetahuan yang negatif maupun positif, atau bahkan netral. Yang pertama lebih pada cara dan dari mana pengetahuan itu  terbentuk, sedangkan yang ke dua adalah maksud dari isi pengetahuan itu setelah didapatkan. Membaca secara terbuka artinya menekankan bagaimana cara menemukan dan kepada apa pengetahuan itu dimungkinkan, sementara yang kedua apakah pengetahuan itu memiliki maksud tertentu ataupun tidak.

Secara etik, membaca dengan cara terbuka bisa dibilang sebagai suatu sikap tawadhu terhadap ilmu pengetahuan. Berdasarkan pengertian ini, ilmu yang didatangkan dengan suatu tindak membaca  tawadhu tidak dikotakkotakkan berdasarkan  sikap yang takkabbur. Sifat tinggi hati merupakan batu penghalang bagi cara membaca yang terbuka, sebab ilmu yang ditemukan dengan cara takkabbur akan diberlakukan dengan maksud  dan caracara yang merendahkan. Bagi seorang pembaca, tawadhu merupakan syarat utama untuk menemukan semua sumbersumber pengetahuan.

Membaca sebagai aktifitas yang terbuka akan memungkinkan manusia mengetahui segala hal. Pengetahuan yang telah didapatkan akan ditampung dan dikelola. Ditingkat inilah pengetahuan itu saya katakan akan disambungsambung, dihubunghubungkan, dikaitkaitkan, dibandingbandingkan atau bahkan dipecahpecahkan.  Aktifitas mental berpikir inilah yang akan menentukan seberapa jauh berbobotkah suatu pengetahuan kita. Semakin banyak kita menerapkan kerja mental pikiran, semakin luas berkembang pengetahuan yang kita miliki. Begitu pula semakin sering kita mengolah ideide kita, maka akan semakin dalam dan terasah gagasan yang kita miliki.

Segala aktifitas manusia dalam membangun hidup dan kehidupannya,  dinyatakan sebagai aktifitas berbudaya. Disebut aktifitas berbudaya sebab ditenggarai dengan suatu maksud untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupannya. Di saat mempertahankan keberlangsungan hidupnya, manusia menggunakan nilainilai sebagai ukuran terhadap sesuatu. Dengan nilainilai itu manusia menetapkan prioritas, juga dengan nilainilai itu manusia  menetapkan tujuan dari hidupnya. Manusia berpikir disebut tindakan berbudaya. Manusia bekerja dibilangkan juga sebagai aktifitas berbudaya.

Menulis yang saya defenisikan sebagai bekerja untuk membumikan ideide, sinonim dengan kata praxis dalam terma ilmuilmu sosial. Praxis berarti realisasi ideide. Praxis juga berarti aktualisasi ideide. Dengan kata lain, ideide yang direalisasikan melalui tulisan adalah hasil dari gagasan yang bermukim dalam benak manusia. Melalui tulisanlah gagasangagasan dapat mengambil bentuknya berupa aksara. Dengan aksara inilah suatu ide diintegrasikan dalam bentuk sistem penandaan tulisan.

Gagasan  sebagai integrasi atas ideide melalui aktifitas menulis dengan sendirinya dimaksudkan agar suatu gagasan dapat  bertahan dalam suatu ketetapan berupa aksara. Aksara berdasarkan pengertiannya adalah suatu desain berupa sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Dengannya manusia selanjutnya dapat bertukartangkap atas maknamakna yang mereka ketahui melalui suatu pola komunikasi yang disebut bahasa.

Gagasan yang dipertukartangkapkan melalui bentuk bahasalah sebagai inti dari bekerja  untuk membumikan ideide. Karena itulah tidak berlebihan jika dikatakan menulis juga adalah kegiatan praxis. Suatu kegiatan yang kongkrit.

Menulis dengan bekerja untuk membumikan ideide, punya maksud tiada lain untuk membangun peradaban. Namun peradaban yang dipahami sebagai capaiancapaian puncak atas penemuan manusia, tidak dapat dimungkinkan  tanpa ditopang oleh suatu kegiatan kebudayaan. Menulis yang membumikan ideide dalam konteks inilah yang disebut sebagai kegiataan kebudayaan. Sebagaimana hubungan dialektis antara berpikir dan membaca, peradaban hanya dimungkinkan apabila didahului dengan suatu aktifitas menulis di dalamnya. Itulah mengapa peradabanperadaban canon, selalu ditopang dengan kegiatan tulis menulis di dalamnya. Tak ada peradaban besar tanpa aktifitas literasi sebagai kegiatan berbudayanya, begitu kirakira singkatnya.

Saya pernah ditanya dalam suatu kesempatan forum diskusi, mengapa anda menulis? Jawaban saya singkat, saya ingin membangun dunia. Perlu kiranya saya jelaskan di sini apa yang saya katakan membangun dunia. Dunia yang dipahami umumnya adalah tempat manusia memberlangsungkan kehidupannya. Singkat padatnya, dunia adalah tempat manusia menyatakan hidupnya. Sebagai suatu wadah, tulisan sebenarnya merupakan suatu medan tempat manusia menyatakan kehidupannya. Melalui aksara, saya bisa membangun pernyataanpernyataan sebagai bagian dari keberadaan saya. Dengan aksara, saya juga bisa menyatakan pikiran dan perasaan saya tanpa diintimidasi oleh suatu kehendak maupun kekuasaan. Tiadanya kehendak dan kekuasaan di dalamnya, itu berarti saya menjadi the one, yakni satusatunya subjek yang merdeka.

Itulah mengapa makna penulis (author) dekat dengan arti kekuasaan (authorization), sebab penulis dalam hal ini memiliki hak dan wewenang sebagai subjek yang memiliki kendali atas gagasan yang dituliskannya. Hanya karena wewenang tanpa kendali dari pihak manapun, maka seorang penulis bisa bekerja dengan gagasangagasannya. Namun mesti diingat, dengan adanya wewenang atas kebebasan yang dimiliki, seorang penulis tidak dimaksudkan menggunakan hak dan wewenangnya dengan maksudmaksud tertentu. Seorang penulis dalam menyatakan gagasan di bawah hak dan wewenangnya, harus disertai dengan tanggung jawab dan sikap terbuka ketika tulisannya mendapat kriktik dan sangggahan atasnya. Di titik inilah, seorang penulis harus punya sikap tawadhu yang dijelaskan sebelumnya. Dengan sikap yang tawadhu, seorang penulis harus bersedia memberikan tanggapan balik ketika menuai kritikan sebagai tanda bekerjanya tanggung jawab yang dimilikinya.

Akhirul kalam, ketika saya ditanyai kembali, mengapa memilih jalan menulis? Saya akan mengatakannya kembali; saya ingin membangun dunia. Tentu dengan dua hal; mengolah ideide dan bekerja membumikan ideide. Hanya melalui cara itulah, di dalam dunia yang kita ciptakan, kita bisa mengabadi.

*Disampaikan pada Pelatihan Literasi HMJ PPKn FIS UNM, Sabtu, 14 November 2015