Orang-orang Hutan

 

Hutan, untuk masa sekarang, hanya punya satu arti: kapital. Jika dahulu hutan dimaknai sebagai bagian dari kosmos, sekarang, hutan beralih fungsi menjadi komoditas.

Nampaknya peralihan hutan dari bagian kosmos menjadi komoditas, adalah penanda bagaimana manusia begitu cepat berubah.

Dimulai dari kebudayaan awal, hutan selalu dipresentasikan sebagai mitra kehidupan. Dengan tindak berpikir ini, hutan dijaga dan dilestarikan untuk menunjang jaringan ekosistem yang terlibat di dalamnya. Bagi masyarakat kuno, hutan adalah teritori sakral, sebab hutan merupakan bagian penting di dalam keyakinan-keyakinan tua.

Apabila ditelusuri, hutan sebenarnya adalah rumah bagi masyarakat kuno. Dahulu belum ada dinding yang secara imajiner membagi teritori antara manusia dengan alam. Manusia beserta alam adalah kesatuan bulat, tanpa petak-petak teritori. Hutan adalah manusia, dan sebaliknya pula manusia adalah hutan.

Artinya, kebudayaan yang berarti totalitas dimensi kehidupan manusia, mengikutsertakan alam sebagai bagiannya.  Budaya dengan begitu adalah tatanan berpikir yang melihat kesatuan alam dan manusia sebagai dua titik dalam satu koordinat.

Tapi, kebudayaan bergerak, dan manusia berubah. Manusia pelan-pelan menemukan dirinya sebagai anak bumi yang berbeda. Alam satu hal dan manusia lain hal. Maka, mulailah alam didefenisi ulang: mulailah manusia membelah diri dari alam. Seketika dengan begitu, manusia adalah makhluk yang begitu berbeda dari tatanan kosmos, di sana memancang hirarki kekuasaan, lalu sang manusia menjadi satu-satunya subjek  dari suatu segala.

Semenjak kesadaran atas “aku” ditemukan, manusia mulai mengerahkan seluruh kehendaknya untuk menaklukkan alam. Modernisasi di mana-mana, dan kapitalisme menjadi segala hal. Hingga akhirnya hutan yang semula menopang kebudayaan manusia, menjadi obyek yang ditaklukkan demi akumulasi kapital.

Saya pernah menyaksikan film The Burning Season, film yang bercerita tentang petani karet yang melindungi hutan hujan Amazon dari pemalakan besar-besaran perusahan-perusahaan kapital. Di sana, hutan hujan yang menjadi penyangga kehidupan pelan-pelan diolah untuk menjadi lahan bisnis. Hutan dengan cara itu tidak lagi diatur dengan nalar ekologis, melainkan dengan hukum-hukum kapital.

Di film itu kita bisa tahu, bahwa betapa pentingnya hutan bagi komunitas-komunitas kecil yang hidup dari pemanfaatan hutan. Hutan di mata komunitas-komunitas semacam itu, sebenarnya punya tujuan besar dibanding harus dijual untuk perusahaan-perusahaan, yang hanya melihat hutan dengan kaca mata material. Hutan bukanlah instrumen manusia, melainkan paru-paru dunia.

Kenapa paru-paru dunia? Sebab disitu ada ekosistem organik dengan jaringan kehidupan di dalamnya. Perspektif ini menandai bahwa hutan adalah pusat dari berlangsungnya kesatuan kehidupan di dalamnya, di mana hutan terkoneksi secara alamiah dengan alam sekitarnya. Dengan begitu, hutan dipandang sebagai makhluk hidup yang tidak sekedar obyek mati yang mudah ditaklukkan.

Di Indonesia, ada orang-orang Dayak yang masih teguh hidup di dalam hutan. Ketika masyarakat Indonesia berlomba-lomba pergi ke kota, orang-orang Dayak memilih bertahan di dalam hutan. Kepercayaan mereka, hutan adalah amanah yang harus dipelihara sebagaimana pesan leluhur. Bahkan hutan dianggapkan sebagai tubuh besar yang harus dirawat, sebab keberlangsungannya ditandai dengan bergeraknya perputaran aktivitas di dalamnya; berburu, meramu makanan, memelihara pohon, upacara adat, membuat obat-obatan dlsb., adalah sub-sub kerja yang menopang kesehatan tubuh rimba. Selanjutnya, dengan demikian, hutan tidak sekedar rumah besar dengan subsistem kehidupan di dalamnya, melainkan adalah ruh kehidupan yang sakral.

Naparanakkang juku
Napaloliko raung kaju
Nahambangiko allo
Nabatuiko ere bosi
Napalolo’rang ere tua
Nakajariangko tinanang

Begitulah larik pesan tua  dari Pasang Ri Kajang, kumpulan hikmat yang dipraktekkan masyarakat hukum adat Kajang di Bulukumba. Di baliknya ada bangunan paradigma yang menempatkan hutan sebagai pusat kosmik. Hutan bagi masyarakat hukum adat Kajang, seperti komunitas hutan lainnya, adalah ruang material yang bermakna transenden.

Masyarakat hukum adat Kajang, tentu berbeda dengan masyarakat yang dikelilingi hutan-hutan beton. Mereka punya prinsip hidup tallase kamase masea: etika hidup mengedepankan kesahajaan dan kesederhanaan. Melalui dua hal inilah orang Kajang, memahami tiga lapis dunia; dunia Tu ria ara’na. dunia Ammatoa, dan  dunia tanah, dalam satu kesatuan kosmologis yang harus dihormati.

Masyarakat modern bukan masyarakat Kajang. “Aku” dalam kesadaran modern adalah subjek yang angkuh dan kukuh. Sehingga dari pusat “aku” dunia dipilah-pilah jadi barang taklukan. Atas dalih kemajuan, “aku” orang-orang modern masuk dan membabat hutan demi modal berlipat.

Barangkali itulah yang terjadi di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan belakangan ini. Hutan dibakar untuk membuka lahan baru, demi proyek pembangunan. Pohon-pohon ditebang, hewan-hewan diburu, dan lahan-lahan dibabat. Isi hutan akhirnya dikuras tanpa menimbang tujuan jangka panjang bagi keberlangsungan ekosistem. Dalam hutan yang digunduli itu, nalar instrumental yang dipercakapkan generasi kedua Mazhab Frankfurt asal Jerman, Jurgen Habermas, bekerja tanpa peduli sesama.

Dengan nalar instrumental, hutan jadi sama dengan barang yang dipajang di etalase pusat perbelanjaan, tidak jauh berbeda dengan produk yang terpampang lewat iklan. Singkatnya, hutan, jadi barang yang dipertukarkan dan diperdagangkan. Hutan akhirnya jadi komoditas. Di situasi semacam inilah, yang organik dari hutan disisihkan: tumbuhan hijau, kicau burung di udara petang, tepi-tepi sungai yang becek, jejak hewan yang mengering, serta jalar akar pohon yang menghujam, harus hilang tersapu bara api bertubi-Tubi.

Syahdan, jika sudah demikian, di manakah orang-orang hutan sekarang?

--

Dimuat di harian Tempo Makassar, 23 Oktober 2015