Orangorang Tani

“Soal Agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya” (Mochamad Tauchid, 1952)

Dari sejarah peradaban manusia, petani adalah pekerjaan manusia paling tua. Petani di awal sejarah manusia, merupakan pekerjaan adaptatif manusia terhadap alam. Petani menandai suatu sistem pekerjaan yang meninggalkan polapola nomaden dengan cara hidup menetap. Dimulai dari pola kerja memungut hasilhasil bumi, berburu, dan meramu, bertani adalah jenis pekerjaan yang memungkinkan lahirnya kebudayaan awal manusia.

Arnold Toynbee, melalui Mankind and Mother Earth, menabalkan bahwa dengan cara hidup agraris perabadan purba pertama tumbuh dengan pesat. Dia bilang bahwa sejarah orangorang Sumeria atau Mesir tua adalah bersumber dari pemanfaatan tanah dengan cara membangun drainase dan dan saluran irigasi dengan mengubah rawarawa menjadi lahan pertanian. Melalui mekanisme itu, orangorang Sumeria dapat hidup menetap dan membangun peradaban regional disekitar sungai Tigris dan Eufrat.


Itulah sebabnya, asal mula kata kebudayaan (cultura) diambil dari konotasi yang sama dari makna bercocok tanam. Cultura dengan begitu mengandung dua hal; ikatan organik masyarakat dengan tanah, dan adat kebiasaan yang terbangun di atasnya.

Ikatan organik antara masyarakat dengan tanah, dapat dilihat dari terciptanya mitosmitos ataupun legenda yang menjadi ikatan kolektif di masyarakat. Di pulau Jawa dan  Bali ada legenda ratu padi, yang menjadi perlambangan bersama dari masyarakat petani untuk menjaga ikatan kolektif di antara mereka. Legenda ratu padi adalah medium masyarakat petani dalam menempatkan pemanfaatan tanah sebagai moda produksinya. Ratu padi sebagai simbol kolektif di tatanan masyarakat petani, mengambil bentuk yang feminin untuk menandai bahwa tanah begitu erat dengan ibu sebagai tanda pengayom bagi masyarakat.

Legenda ratu padi di masyarakat Jawa misalnya, telah menjadi kebiasaan seturut tumbuhnya praktikpraktik kulturalnya. Upacara sekaten yang acapkali disebut sebagai upacara grebeg mulud, adalah penjelmaan syukur kolektif di saat menjelang hari panen. Di masyarakat Sunda, ada upacara yang disebut seren taun yang  digelar tiap tahun untuk menghormati ratu padi. Upacara ini digelar dengan melantunkan kidungkidung atau pantun dengan maksud mengundang kedatangan ratu padi untuk memberikan berkah kepada bibit padi dan kesuburan selama masa tanam hingga panen.

Tapi masamasa tanam berubah menjadi masamasa kerja, tanah dialihfungsikan, pabrik di manamana berdiri.

Ketika kebudayaan bergerak, petani menjadi kelompok yang tereksklusi pelanpelan dari penguasan atas tanah.  Industrialisasi sebagai tatanan baru, mengubah kerja tradisional menjadi bentuk kerja baru yang disepuh dengan semangat individualisme. Kolektivisme yang semula adalah semangat bersama yang mengikat, akhirnya terbelah atas modernisme  yang memperkenalkan etika baru untuk berproduksi; individualisme.

James Scoot, mempercakapkan perubahan etika itu dari yang disaksikannya di Asia Tenggara. Petani, seperti yang dibilangkannya, merupakan suatu kesatuan yang memiliki sistem kebudayaan tersendiri atas praktikpraktik kehidupan yang dialami dalam mengelola tanah. Dari percakapannya, ia menyebut moral ekonomi petani berbeda dengan tatanan moral baru yang digemboskan dari praktikpraktik ekonomi kapital. Petani, dengan seluruh jaringan kerjanya memiliki ikatan yang diniatkan untuk mendorong kerjasama antara mereka dengan ikatan patron-klien dibandingkan harus didorong dengan semangat rasional kapitalisme.

Berdasarkan pengamatannya, perubahan yang dibawa oleh inovasiinovasi teknologi, banyak merusak hubunganubungan produksi masyarakat petani sehingga mendorong banyaknya perlawanan petani di Asia Tenggara. Selain itu, moral ekonomi petani yang didasarkan pada ikatan subsisten, sangat bertolak belakang dengan semangat individualisme yang menjadi moral dasar dari tatanan baru.

Di Indonesia sendiri, perlawanan petani terhadap kekuasaan tatanan baru direkam dalam pembukuan yang ditulis Sartono Kartodirdjo; The Peasant Revolt of Banten in 1888. Dari yang diliterasikannya, perlawanan petani terhadap bentukbentuk kolonialisasi sudah bermula dari awal abad 19. Melalui politik tanam paksa, petanipetani Nusantara dibajak dengan cara kekerasan untuk menaklukkan tanahtanah yang dikuasainya. Bahkan melalui tanah, desadesa di Nusantara, menjadi titik mula dari penjajahan orangorang  Eropa terhadap pribumi.

Di desadesa, dibandingkan dari daerahdaerah pusat lainnya. pertarungan kekuasaan politik dan perebutan sumbersumber daya ekonomi begitu tampak. Perebutan tanah sampai detik ini masih di alami oleh petanipetani pedalaman terhadap korporasikorporasi besar. Kasuskasus di Rembang, Ujung Kulon Banten, Takalar, Bulukumba, Nusa Tenggara merupakan persoalan yang sampai hari ini belum menemukan jalan keluarnya.

“Dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2.860.977 hektar. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain tuh konflik (1,48%).  Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga.” (Konsorsium Pembaruan Agraria)

Begitulah yang dicatatkan Konsosrium Pembaruan Agraria.  Tanah dalam skema besar korporasikorporasi merupakan komoditi dalam agenda perluasan kapital. Artinya dalam logika demikian, kapital yang merupakan inti dari ekonomi modern adalah nafas yang menggerakkan  perekonomian masyarakat kapitalis yang berbasikan industrialisasi.

Industrialasi memang banyak mengubah wajah peradaban, tapi peradaban tak selamanya berarti industrialisasi.

Bagaimanapun petani seperti yang dinukilkan Karl Polanyi dalam The Great Transformasion punya perspektif bahwa “tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi. Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah”.

Itulah mengapa, orangorang tani begitu kuat ikatan terhadap tanahnya, sebab di atas tanah tak ada hirarki kekuasaan yang layak berdiri.