Tak semua pendidikan itu bermaksud luhur. Juga
tak semua kaum terdidik itu berbudi baik.
Barangkali jika pendidikan diartikan sebagai
diskursus wacana yang tak sepi dari kekuasaan, maka pendidikan sudah persis
seperti kancah politik. Foucault, seorang poststrukturalis, melihatnya sebagai
medan yang selalu dibentuk dan diarahkan berdasarkan hasrat kekuasaan yang
inheren di dalamnya. Di mana ada keinginan untuk berpengetahuan, maka di sana
juga ada hasrat atas kekuasaan.
Saat demikian, yang luhur jadi lumpur. Yang
bermaksud menciptakan manusia yang bermartabat justru menyisihkan budi dan
pekerti. Kekuasaan memang merusak yang agung, sebab di alam manusia, yang agung
adalah sebaliknya; hasrat kekuasaan.
Orang yang paham betul dengan praktik pendidikan
semacam itu barangkali adalah Paulo Friere, seorang filsuf pendidikan. Dari
pengamatannya di Brazil, pendidikan yang identik dengan kekuasaan jamak
diresahkan. Tetapi keresahan yang jamak bagi Friere sama halnya sebagai masalah
yang fatal. Keresahan, di saat pendidikan tumpul membacanya adalah aib
kemanusiaan yang harus segera diselesaikan.
Sebab itulah keresahan harus diterjemahkan
menjadi kesadaran. Di mana-mana, juga di Brazil, kesadaran merupakan batu pijak
pertama untuk membuka selubung soal. Maka Friere menguak lapisan kesadaran
berdasarkan kepekaan masyarakat terhadap kenyataan yang melingkupi.
Diperkenalkanlah tiga lapis kesadaran itu;
mistikal, naif dan kritis. Yang fatal bagi Friere adalah kesadaran yang
menganggap keadaan adalah suatu yang kodrati. Situasi yang kosong dari kehendak
manusia, sebab semuanya telah diatur dan bekerja dengan sendirinya. Kesadaran
macam ini juga menganggap alam dan keadaan manusia
adalah cosmos yang natural, serta jernih atas hasrat penguasaan.
Itulah mengapa ia disebut kesadaran mistis dan juga naif.
Tapi ternyata tidak. Alam manusia
bukanlah cosmos yang sunyi dari hiruk pikuk. Kebudayaan dicipta,
kehidupan bersama dibentuk, sampai akhirnya sebuah sistem bersama berlanjut
berlamalama. Tanpa disadari, berkat kemampuan
manusia, cosmos yang natural akhirnya
berubah cultural. Ini berarti di dalamnya silih berkelindan kepentingan.
Mencipta, menata dan mempertahankan adalah tiga hal yang menjadi motifnya. Dan
kekuasaan adalah alat paling ampuh untuk mencapai itu.
Saat demikian, di dalam pendidikan, kekuasaan
menjadi alat yang diamdiam merangsek kesadaran menjadi tabiat yang bisa
dijinakkan. Louis Althusser menyebut ihwal itu sebagai gejala yang
ditimbulkan ideological state apparatus, yang membajak kesadaran melalui
institusi pendidikan. Tujuannya adalah menyisihkan kesadaran kritis, sebab di
mata kekuasaan kesadaran kritis bisa mendatangkan krisis.
Di negeri kita, yang krisis itu jika perbedaan
atas pandangan dominan muncul dan menggebrak tatanan yang mayor. Perbedaan
selalu dianggap aib untuk membangun pemahaman. Perbedaan jika demikian adalah
cemar yang merusak keadaan yang stabil. Di negeri ini, yang stabil berarti
pendidikan yang membangun keseragaman yang tunggal. Sikap demikian disebut
Friere sebagai sikap yang intoleran, ”Ada suatu kecenderungan kuat yang
mendorong kita untuk menyatakan bahwa apa yang berbeda adalah inferior. Inilah
sikap tidak toleran, yakni kecenderungan menentang perbedaan.” Ungkapnya di
suatu waktu.
Intoleran itulah sebenarnya yang kerap akut bagi
kaum terdidik. Juga kaum pendidik. Dua pelaku itu sebenarnya adalah titik
koordinat kritik Friere. Yakni di kelaskelaslah intoleransi itu ternyata
bersemai subur. Di sekolahsekolahlah penyeragaman itu bermula. Dan di kampuskampuslah
pembungkaman itu dirawat. Hingga akhirnya, pendidikan yang bagi Friere adalah
alat membaca keadaan, menjadi tumpul dan mandul mencipta perubahan.
Pendidikan bagi Friere adalah harus sekaligus
tindakan politis. Yang politis bagi Friere adalah humanisme. Semangat humanisme
dalam pendidikan disebutnya sebagai usaha untuk mencapai manusia yang
seutuhnya. Dan menjadi manusia seutuhnya adalah membebaskan manusia dari tipu
daya kekuasaan. Itulah mengapa pendidikan harus membebaskan. Itulah sebabnya
pendidikan harus mau diajak membincang perubahan.
Tapi sudah dikatakan tidak semua pendidikan
bermaksud luhur. Juga tak semua kaum terdidik berperingai baik.
Pendidikan yang tak bermaksud luhur di negeri
ini adalah pendidikan yang menganut filosofi tukang pembuat meubel. Taruhlah
sebangun almari. Tukang, bagaimanapun sudah punya rencana. Yang dihadapinya
sudah merupakan benda mati yang siap dikonstruksi berdasarkan keinginan.
Melalui proses tertentu, material kayu diolahnya atas bayangan almari dalam
benaknya. Syahdan, jelang akhir, almari, yang ada dalam benaknya juga menjelma
di hadapannya. Almari di dalam benak tukang meubel adalah sudah selalu
keinginannya yang ingin direalisasi.
Galibnya, pendidikan akan lebih humanis jika seandainya seperti seorang petani. Di sawah, seorang petani menghadapi alam yang tumbuh. Padi yang ia tanam mau tak mau adalah tumbuhan yang tak mampu ia paksa untuk segera tumbuh dan berkembang. Seorang petani harus sabar terhadap padi dihadapannya. Di depannya padi adalah tumbuhan yang punya masa dan musim. Sebab itu ia tak bisa memaksa kehendaknya untuk segera melawan musim. Maka, satusatunya jalan, di dalam kesabarannya, yang ia lakukan adalah membersihkan penghalangpenghalang dan memberikan pupuk yang dapat membuat padi tumbuh dengan subur. Sebab ia sadar, padi, tak bisa dipaksa, apalagi dibentuk.
Galibnya, pendidikan akan lebih humanis jika seandainya seperti seorang petani. Di sawah, seorang petani menghadapi alam yang tumbuh. Padi yang ia tanam mau tak mau adalah tumbuhan yang tak mampu ia paksa untuk segera tumbuh dan berkembang. Seorang petani harus sabar terhadap padi dihadapannya. Di depannya padi adalah tumbuhan yang punya masa dan musim. Sebab itu ia tak bisa memaksa kehendaknya untuk segera melawan musim. Maka, satusatunya jalan, di dalam kesabarannya, yang ia lakukan adalah membersihkan penghalangpenghalang dan memberikan pupuk yang dapat membuat padi tumbuh dengan subur. Sebab ia sadar, padi, tak bisa dipaksa, apalagi dibentuk.