madah tigapuluhlima

Tak semua pendidikan itu bermaksud luhur. Juga tak semua kaum terdidik itu berbudi baik.

Barangkali jika pendidikan diartikan sebagai diskursus wacana yang tak sepi dari kekuasaan, maka pendidikan sudah persis seperti kancah politik. Foucault, seorang poststrukturalis, melihatnya sebagai medan yang selalu dibentuk dan diarahkan berdasarkan hasrat kekuasaan yang inheren di dalamnya. Di mana ada keinginan untuk berpengetahuan, maka di sana juga ada hasrat atas kekuasaan.

Saat demikian, yang luhur jadi lumpur. Yang bermaksud menciptakan manusia yang bermartabat justru menyisihkan budi dan pekerti. Kekuasaan memang merusak yang agung, sebab di alam manusia, yang agung adalah sebaliknya; hasrat kekuasaan.

Orang yang paham betul dengan praktik pendidikan semacam itu barangkali adalah Paulo Friere, seorang filsuf pendidikan. Dari pengamatannya di Brazil, pendidikan yang identik dengan kekuasaan jamak diresahkan. Tetapi keresahan yang jamak bagi Friere sama halnya sebagai masalah yang fatal. Keresahan, di saat pendidikan tumpul membacanya adalah aib kemanusiaan yang harus segera diselesaikan.

Sebab itulah keresahan harus diterjemahkan menjadi kesadaran. Di mana-mana, juga di Brazil, kesadaran merupakan batu pijak pertama untuk membuka selubung soal. Maka Friere menguak lapisan kesadaran berdasarkan kepekaan masyarakat terhadap kenyataan yang melingkupi.

Diperkenalkanlah tiga lapis kesadaran itu; mistikal, naif dan kritis. Yang fatal bagi Friere adalah kesadaran yang menganggap keadaan adalah suatu yang kodrati. Situasi yang kosong dari kehendak manusia, sebab semuanya telah diatur dan bekerja dengan sendirinya. Kesadaran macam ini juga menganggap alam dan keadaan manusia adalah cosmos yang natural, serta jernih atas hasrat penguasaan. Itulah mengapa ia disebut kesadaran mistis dan juga naif.

Tapi ternyata tidak. Alam manusia bukanlah cosmos yang sunyi dari hiruk pikuk. Kebudayaan dicipta, kehidupan bersama dibentuk, sampai akhirnya sebuah sistem bersama berlanjut berlamalama. Tanpa disadari, berkat kemampuan manusia, cosmos yang natural akhirnya berubah cultural. Ini berarti di dalamnya silih berkelindan kepentingan. Mencipta, menata dan mempertahankan adalah tiga hal yang menjadi motifnya. Dan kekuasaan adalah alat paling ampuh untuk mencapai itu.

Saat demikian, di dalam pendidikan, kekuasaan menjadi alat yang diamdiam merangsek kesadaran menjadi tabiat yang bisa dijinakkan. Louis Althusser menyebut ihwal itu sebagai gejala yang ditimbulkan ideological state apparatus, yang membajak kesadaran melalui institusi pendidikan. Tujuannya adalah menyisihkan kesadaran kritis, sebab di mata kekuasaan kesadaran kritis bisa mendatangkan krisis.

Di negeri kita, yang krisis itu jika perbedaan atas pandangan dominan muncul dan menggebrak tatanan yang mayor. Perbedaan selalu dianggap aib untuk membangun pemahaman. Perbedaan jika demikian adalah cemar yang merusak keadaan yang stabil. Di negeri ini, yang stabil berarti pendidikan yang membangun keseragaman yang tunggal. Sikap demikian disebut Friere sebagai sikap yang intoleran, ”Ada suatu kecenderungan kuat yang mendorong kita untuk menyatakan bahwa apa yang berbeda adalah inferior. Inilah sikap tidak toleran, yakni kecenderungan menentang perbedaan.” Ungkapnya di suatu waktu.

Intoleran itulah sebenarnya yang kerap akut bagi kaum terdidik. Juga kaum pendidik. Dua pelaku itu sebenarnya adalah titik koordinat kritik Friere. Yakni di kelaskelaslah intoleransi itu ternyata bersemai subur. Di sekolahsekolahlah penyeragaman itu bermula. Dan di kampuskampuslah pembungkaman itu dirawat. Hingga akhirnya, pendidikan yang bagi Friere adalah alat membaca keadaan, menjadi tumpul dan mandul mencipta perubahan.

Pendidikan bagi Friere adalah harus sekaligus tindakan politis. Yang politis bagi Friere adalah humanisme. Semangat humanisme dalam pendidikan disebutnya sebagai usaha untuk mencapai manusia yang seutuhnya. Dan menjadi manusia seutuhnya adalah membebaskan manusia dari tipu daya kekuasaan. Itulah mengapa pendidikan harus membebaskan. Itulah sebabnya pendidikan harus mau diajak membincang perubahan.

Tapi sudah dikatakan tidak semua pendidikan bermaksud luhur. Juga tak semua kaum terdidik berperingai baik.

Pendidikan yang tak bermaksud luhur di negeri ini adalah pendidikan yang menganut filosofi tukang pembuat meubel. Taruhlah sebangun almari. Tukang, bagaimanapun sudah punya rencana. Yang dihadapinya sudah merupakan benda mati yang siap dikonstruksi berdasarkan keinginan. Melalui proses tertentu, material kayu diolahnya atas bayangan almari dalam benaknya. Syahdan, jelang akhir, almari, yang ada dalam benaknya juga menjelma di hadapannya. Almari di dalam benak tukang meubel adalah sudah selalu keinginannya yang ingin direalisasi.


Galibnya, pendidikan akan lebih humanis jika seandainya seperti seorang petani. Di sawah, seorang petani menghadapi alam yang tumbuh. Padi yang ia tanam mau tak mau adalah tumbuhan yang tak mampu ia paksa untuk segera tumbuh dan berkembang. Seorang petani harus sabar terhadap padi dihadapannya. Di depannya padi adalah tumbuhan yang punya masa dan musim. Sebab itu ia tak bisa memaksa kehendaknya untuk segera melawan musim. Maka, satusatunya jalan, di dalam kesabarannya, yang ia lakukan adalah membersihkan penghalangpenghalang dan memberikan pupuk yang dapat membuat padi tumbuh dengan subur. Sebab ia sadar, padi, tak bisa dipaksa, apalagi dibentuk.