Tak saya duga sebelumnya,
di Soho, pusat perbelanjaan di tengah London yang terkenal itu, ada dua tempat
yang secara historis mengingatkan kita pada komunisme. Di pusat perbelanjaan
itu, yang banyak menjual produk merekmerek terkenal dunia, terdapat sebuah
gedung yang pernah ditinggali Marx semasa di Inggris. Juga sebuah restoran Cina
yang menggantung perkataan pimpinan revolusi negeri Tiongkok, Mao, di depan
pintu masuknya sebagai semboyan barangkali, "barang siapa tak kuat memakan
cabe, maka dia bukanlah seorang yang revolusioner". Ini suatu yang unik,
juga sesuatu yang sesungguhnya kontras.
Soho di kota London, dari
masa lalu adalah tempat dengan sejarah yang panjang. Tapi ringkasnya, di sana
dulunya adalah tempat tinggal kaum pekerja. Di Inggris ketika revolusi industri
pecah dan bergaung besar, saya kira tempat itu adalah tempat yang tak berpenanda
kemakmuran. Seperti tempat kumuh umumnya, Soho pastinya adalah tempat yang tak
terawat, tempat yang kotor dan tak terurus.
Di tempat itulah Marx
tinggal selama di Inggris. Melarat dan kemudian mati. Dan di situlah
kontrasnya, di mana Soho yang dulunya adalah tempat kumuh kelas pekerja, kelas
yang dibela komunisme, kini adalah tempat pusat perbelanjaan yang glamour, tempat
di mana kiblat suatu gaya hidup kelas atas.
Di tempat yang glamour itu,
nampaknya kehidupan tak pernah berhenti. Seperti tempat hiburan lainnya, di
Soho, orangorang datang dan berkumpul untuk menghimpun sekaligus melepas hasrat
untuk mengkonsumsi. Mengisi bangunanbangunan tinggi dan pulang dengan hati yang
tak sungsang.
Saya tak pernah ke Soho,
tapi dari fotofoto yang saya lihat melalui jejaring internet, saya bisa tahu
bagaimana suatu ruang yang muram dapat dengan cepat berubah total menjadi
tempat yang tak pernah berhenti menyedot kapital.
Mungkin penjelasan tentang
ihwal itu adalah bagaimana betapa kuatnya pertukaran modal dapat menjadi sumbu
suatu perubahan. Ruang biar bagaimanapun, seperti yang dibilangkan Levebre
adalah keberadaan yang termuati kepentingan di dalamnya. Ruang biar
bagaimanapun, di saat kapital begitu gesit berputar, adalah media yang
sungguhsungguh dahsyat menggerakkan urbanisasi.
Ruang, di dalam pandangan
Levebre sebenarnya adalah realitas yang sesungguhnya tak suci dari perbuatan
manusia. Ini artinya ruang adalah realitas yang diproduksi manusia secara
sosial. Di dalam pengertian ini, ruang berarti realitas yang secara kontinyu
terbentuk atas dasar modalitas yang terus menerus dipertukarkan.Di saat itulah
ruang akhirnya menjadi entitas yang sarat kepentingan. Di saat itulah ruang
terus diproduksi berdasarkan imajinasi yang menyertainya.
Sebab itulah Levebre
menyebutnya ruang yang telah dipolitisasi. Dalam istilah sosiolog Prancis itu,
ruang yang telah diberlakukan demikian disebutnya sebagai ruang abstrak.
Sebagaimana di dalam konteks masyarakat kapitalisme lanjutan, ruang abstrak
disituasikan menjadi pengetahuan yang berciri ideologis sehingga mengaburkan
kondisi alienatif yang terjadi pada level praktik. Di sanalah ruang akhirnya
disituasikan dalam alam imaji sebelum menjadi peta kognisi bagi ruang kongkrit.
Barangkali itulah yang
terjadi di sana. Di soho ruang yang berwajah muram, tempat kumuh kelas pekerja
tinggal, berubah menjadi ruang pusat kapital berputar. Juga, di Soho,
urbanisasi begitu gencar mengubah pusat menjadi betulbetul "pusat".
Dan di Soho, pusat itu adalah kiblat suatu gaya glamour ditegakkan.
Syahdan, apa yang terjadi
di Soho juga menjadi tren pembangunan di manamana. Terutama di dunia berkembang
yang pesat membangun sentralsentral perubahan dengan menyulap daerahdaerah
menjadi ramai. Di mana dengan satu rumus yakni keramaian yang bisa menjalankan
roda pertukaran sehingga kapital terus diakumulasi. Melalui cara itu maka
infrastruktur dibangun, jalanjalan diperbaiki, gedunggedung ditambah dan
simsalabim suatu tempat menjadi ruang yang dikapitalkan.