ADA kisah tentang Pak Hamid
yang risau. Atau sebenarnya ia takut.
Sebelumnya datang kabar nun jauh dari Papua. Anak bungsunya bakal menikah. Dari
tempatnya yang jauh dari anaknya tinggal, tidak terbersit bahagia di mukanya.
Yang ada justru tanda suatu soal berat. Anaknya akan menikahi perempuan berbeda
agama. Usut punya usut, dari pengalaman anaknya yang lain, setiap pasca menikah
dengan pasangan beda iman, anaknya pindah keyakinan.
Sebab itulah air mukanya jadi
murung. Kabar yang ia terima seperti air jebol merusak apa saja. Anaknya yang
dibesarkannya bertahun-tahun kini jadi orang yang bikin hatinya gulana.
Membikin hatinya runyam.
Bagi sebahagian orang agama adalah
pilihan. Tapi bagi Pak Hamid, yang namanya agama tidak mesti diganggu gugat. Ia
setua tradisi turun temurun. Itulah sebab, agama jadi soal penting. Bertahun-tahun
anaknya dididik sesuai agama tradisi, walaupun memang istrinya seorang muallaf.
Tapi malang, justru di saat akan membangun rumah tangga, anaknya bakal
berpindah keyakinan.
Tapi apa yang sesungguhnya
dikhawatirkan Pak Hamid, sebuah label agamakah? Atau suatu yang lain. Sesuatu semisal,
kebenaran yang hakiki.
Di negeri ini, suatu label sering
kali memakan korban. Apalagi label yang telah mapan dalam memori kolektif
masyarakat. Dalam sejarah Indonesia, label abadi yang terus dipugar dan melekat
kuat tak pernah keluar dari dua hal: agama dan komunisme.
Dengan dua label itulah, sejarah
Indonesia dinarasikan sesuai tafsir kekuasaan. Hingga akhirnya, label itu menjadi
artefak mengakar kuat dalam memori kolektif masyarakat Indonesia.
Label dianggap penting oleh sebab
suatu pengertian dapat dirujuk. Kasus Indonesia, label dipakai untuk
kepentingan identifikasi. Dengan begitu suatu golongan dapat dengan mudah
dikelompokkan berdasarkan kesamaan dan cirinya. Jika sudah demikian, suatu rencana
akan lebih mudah diatur dan dikerjakan.
Tapi suatu identifikasi juga
terkadang jadi sumber pelecehan. Dan dari sanalah datang korban. Sebab
pelabelan dengan maksud membangun batas seringkali mempertautkan hal ihwal
subtil: hasrat untuk benar.
Nietzsche, filsuf akhir abad 19 menyebut
perkara hasrat yang timbul semacam itu sebenarnya adalah soal moral. Yakni
kebenaran yang selalu jadi tujuan moral orang-orang.
Artinya, jika ada yang selalu
menggebu-gebu menunjuk kebenaran melalui telunjuknya, maka itu berarti bukan
soal kebenaran, tetapi justru posisi moralnya, kedudukannya.
Dari sanalah Nietzsche menyebut itu
sebagai hasrat berkuasa. Yakni keinginan untuk mengambil posisi yang layak dan
tak tergugat. Dari Nietzsche, soal-soal kebenaran tak selamanya jadi perkara
yang murni demi kebenaran. Tapi di baliknya motif, ada maksud inheren dari
wacana kekuasaan.
Ini berarti kebenaran atau hal
ihwal yang berputar di sekitarnya adalah sesuatu yang politis. Apalagi
menyangkut pengakuan. Dalam politik pengakuan itu penting, sebab dari situlah sumber
kekuasaan. Tanpa pengakuan kekuasaan tak dapat stabil berdiri.
Barangkali karena label itu
penting. Barangkali memang label itu harus ada. Pak Hamid resah, karena soal
label itu penting. Apalagi ini soal agama, soal iman.
Agama memang bisa mendatangkan
kasak-kusuk. Di mana kita pernah kisruh hanya soal suatu identitas perlu atau
tidak dicantumkan. Di negeri ini, di saat awal pemerintahan Jokowi memimpin,
masalah tentang pencantuman label agama dalam kartu identitas jadi perbincangan
nasional. Soalnya suatu label identitas selama ini jadi sumber diskriminasi.
Dengan suatu label, suatu golongan dapat bersuara lantang dan suatu golongan
harus tiarap bersembunyi.
Di negeri ini, memang soal label
jadi perkara sensitif. Label seperti sebelumnya dinyatakan adalah soal
pengakuan. Tapi terkadang pengakuan atas posisi, jabatan, kekuasaan secara
bersamaan malah sering menundukkan yang lain. Mungkin, dengan itulah negara
ingin menghapus label identitas. Biar bagaimana pun suatu label tak selamanya
mampu mewakili keanekaragaman di baliknya.
Ini berarti secara tidak langsung
negara ingin menghapus cara berpikir dominatif. Dengan kata lain, keyakinan mayoritas tidak mesti menundukkan keyakinan minoritas.
Namun ini sebenarnya kisah Pak
Hamid yang risau mempersoalkan keyakinan putranya. Sebab dia tahu, suatu label
tidak dengan mudah dapat berganti begitu saja. Agama putranya berarti pula
agaama dirinya yang sudah lama menjadi label turun temurun. Walaupun akhirnya,
rasa gundahnya tak bisa serta merta menghindar dari suatu kenyataan. Dengan kata
lain yang namanya agama, tidak selamanya berkedudukan sebagai agama pemberian
generasi sebelumnya.
Apa boleh buat raut muka Pak Hamid
adalah jawabannya. Putranya telah memilih.