madah empatpuluh satu

Tik tik tik bunyi hujan di atas genteng
Airnya turun tidak terkira, cobalah tengok
Pohon dan ranting basah semua...

Saya tak tahu, apakah lagu ini mampu menenangkan hati kita ketika musim penghujan. Apalagi hujan yang tak hentihenti. Tapi dahulu, dari atap genteng yang bocor, sebagai rasa syukur, Ibu Soed mencipta lagu ini saat hujan datang. Hujan jadi penanda betapa manusia dan alam, bisa akrab dan manja. "Cobalah tengok pohon dan ranting" alam yang disambut akrab, jadi "basah semua."

Mulai saat itu, berawal dari rumah kontrakannya di jalan Kramat, Jakarta, lagu itu menjadi pelipur negeri bagi anakanak ketika hujan. Hujan, akhirnya, melalui lagu itu jadi peristiwa alamiah yang disambut riang. Hujan lewat lagu itu, jadi peristiwa yang mengundang syukur dan tafakur.

Tapi, saya tak tahu apakah lagu ini masih akrab di telinga anakanak kiwari. Juga, apakah hujan bisa mendatangkan syukur agar kita bisa bertafakur. Hanya saja, bagi yang tumbuh bersama lagu itu, hujan di waktu sekarang tak sekadar bunyi di atas atap genteng bertalutalu. Hujan, bagi yang akrab dengan lagu ini, mungkin bisa membuat gerutu mengutuk air bah yang tak ingin kita alami.

Di kotakota besar, yang sudah sesak beton berlapislapis, merasai hujan sebagai bencana. Air yang jatuh, dengan volume bertonton banyaknya malah bisa membuat sebuah kawasan jadi kumuh. Sebab, suatu kota dengan bangunan yang padat, tak pernah memperhitungkan bagaimana air tanpa henti jatuh dari langit bisa disalurkan. Karena itulah banjir datang, dan air menggenang jadi soal.

Barangkali ini adalah soal bagaimana manusia memandang tempat mukimnya. Alam, dunia yang kita huni sekarang, sudah kita tekuklututkan di bawah kendali otoritas manusia. Semenjak cogito cartesian menerangkan supremasi rasio manusia, praktis keberadaan alam menjadi entitas inferior. Alam menjadi objek subordinat hirarki kekuasaan akal manusia. Itulah mengapa, sains sebagai media rasio bekerja, menempatkan alam menjadi realitas tak bernilai apaapa.

Dan juga, teknologi, dunia berubah total. Mesinmesin dibuat massif.  Dan, menggantikan tenaga manusia, mesin bekerja atas dasar efisiensi dan efektifitas. Akhirnya, robotrobot merambah sudutsudut hutan. Mengubahnya jadi lapang, dan merusaknya. Sontak hutan berubah menjadi kawasan yang tandus. Dimanfaatkan tanpa pernah tahu bagaimana mengembalikannya. Di hutan, lagu Ibu Soed tak pernah sampai.

Berkat teknologi, manusia memanipulasi alam liar menjadi hunian yang akrab. Alam dimanusiakan agar lebih sesuai kehendak manusia. Hingga akhirnya, kemajuan teknologi terlalu jauh memanfaatkan alam demi kepentinga manusia. Teknologi tanpa sadar, telah mengubah alam menjadi momok miterius. Kiwari, alam bisa datang menuntut balas; berupa longsor; berupa banjir; berupa penyakit, tsunami, puting beliung, kebakaran. Hingga entah berupa apa lagi.

Tapi sebenarnya, yang jadi soal, hasrat manusia ketika membangun tempattempat baru. Di kota besar, tampak sekali hasrat manusia menaklukkan daerahdaerah lapang untuk manfaat hunian baru. Namun, di daerah yang dihuni itu, manusia kota sudah tak hirau kepada alam sekitar. Rumahrumah mereka justru menjadi monumen hasrat yang egois.  Tanah dilapis betonbeton. Udara dibuat cemar. Dan, suarasuara tidak pernah berhenti.

Hujan di kotakota juga cara bagaimana alam menunjukkan kegagalan perencanaan pembangunan. Ruang hijau terbuka berbanding sedikit semakin tingginya gedunggedung. Hari ke hari, tibatiba beberapa gedung sudah kokoh berdiri. Barangkali ini percepatan urbanisasi. Tapi, siapa memperhitungkan alam?

Yang ada, ruang yang dipermak harus menjadi tempattempat modal bergerak. Sebab itulah, keindahan ornamen perlu, apalagi keamanan suatu lingkungan. Tanpa semua itu, tiada modal mengalir.  

Sudah tentu banyak pertukaran mengalir ditempattempat kapitalisasi berlangsung. Mungkin, melebihi banyak air hujan yang jatuh. Sampai di sini betapa sedikitnya rasa syukur kita.

Hujan, saat mukim-mukim belum sepenuhnya dari beton dan tembok, sudah pasti banyak mengundang takjub, juga tentu syukur. Apalagi banyak harapan bergantung dari jatuhnya air hujan.

Di desa, hujan adalah berkah, hujan menjadi bagian yang akrab bagi hidup yang romantik. Dengan hujan, banyak “pohon dan ranting basah semua.”

Hujan di kota menjadi perkara berat. Banjir dan air bah. Tanah di kota jadi genangan di selasela gedunggedung. Tanah lapang pada kota seperti itu, adalah sumber gerutu yang pasti tidak mendatangkan manfaat apaapa.

Akhirnya di kota, saya sudah jarang mendengar lagu Ibu Soed didendangkan dengan riang. Bersamaan dengan itu, ketika hujan turun, saya diingatkan bagaimana air hujan berarti kota yang dirundung genangan bah banjir.

Bukan karena siapasiapa, justru, sekarang hujan malah amuk alam yang kita ciptakan sendiri, dari kedua tangan kita. Dari rumah yang kita huni, yang di sebelahnya berjejer dinding gedung yang mencuri tanahtanah yang dahulu begitu lapang.

Bahkan mulut kita tidak bisa lagi bersenandung:

Tik tik tik bunyi hujan di atas genteng
Airnya turun tidak terkira, cobalah tengok
Pohon dan ranting basah semua...