Dari yang ditayangkan,
tentang Gus Dur, Lukman Hakim, mengungkapkan bahwa hal pertama yang diingatnya
saat dilantik menjadi menteri agama adalah guyon presiden RI ke 4 yang sering
"ngelantur" itu. Di Mata Najwa edisi 4 Maret, Lukman Hakim
menceritakan kembali guyon Gus Dur. Dalam guyon itu, Gus Dur menyampaikan bahwa
Departemen Agama sebenarnya sama halnya dengan pasar. Semua lengkap tersedia,
banyak orang lalu lalang termasuk transaksi pertukaran jual beli, kecuali satu
hal yang tidak ada. "Apa Gus?" Tanya Menteri Agama menyelidik.
"Agama" Ungkap Gus Dur.
Bukankah itu juga
sebenarnya Satir. Suatu yang paradoks dengan maksud menyinggung.
Dari guyon itu, ada maksud yang
bisa kita tangkap: intitusi agama tak selamanya sudah agamamis, bahkan lenyap.
Di guyon itu, humor menjadi visualisasi membangun imajinasi. Dan Gus Dur lewat
guyonnya tentang "yang hilang di departemen agama adalah agama" telah
membangun sebuah pesan imajinatif: ada yang mesti di perbaiki di intitusi
keagamaan itu.
Dari sini kita patut
menyebut Gus Dur sebagai tokoh besar. Tapi sesungguhnya ia besar bukan karena
guyonnya. Di Mata Najwa, yang akbar dari Gus Dur di beri tajuk "Belajar
Dari Gus Dur." Yang besar dari Gus Dur adalah sikap terbuka dan
toleransinya. Di Mata Najwa edisi 4 Maret itu kita diajak belajar yang akbar
dari Gus Dus itu.
Barangkali memang itulah
yang kita butuhkan untuk membangun hidup yang selaras, yakni menyatakan sikap
penghargaan atas yang berbeda. Gus Dur besar sebab ia bisa melihat hal yang
abai dari sikap kita yang kurang sreg jika tak sama. Toleransi sebagai sebuah
sikap, bukanlah membiarkan sesuatu bisa terjadi dengan melepaskan
keikutsertaan, melainkan sikap yang menerima dengan ikut terlibat di dalam
lingkungan yang memang sudah berbeda.
Dengan kata lain suatu
sikap koeksistensi. Sebab itulah Gus Dur dijuluki bapak pluralisme.
Pluralisme memang kata
dengan konsep yang justru juga perlu dijaga. Di negeri ini, pluralisme adalah
konsep yang galibnya jadi haram untuk dikonsumsi atau apalagi dijadikan akidah.
Bagi sebahagian orang, konsep itu sama halnya dengan pengakuan atas kebenaran
yang jamak, sebab kebenaran semula hanya satu. Dan sebab itulah mesti dijaga
agar tak mendua.
Di sini ada yang sepertinya
luput: pluralisme sebenarnya adalah terma yang mengakui kejamakan, bukan
sekaligus adanya penyamaan kebenaran. Yakni realitas yang plural dan tak
mungkin sama, adalah keadaan yang sui generis. Sebab justru
pengakuan terhadap perbedaan, berarti di saat yang sama memang ada yang tak
mungkin dapat disepadankan atau disamakan. Di saat inilah pluralisme sungguh
berbeda dengan sinkretisme.
Sebabnyalah banyak yang
mungkin salah menduga, bahwa pluralisme sebenaranya bukanlah terma yang punya
misi penyatuan memaknai kebenaran. Justru, pluralisme jika disebut sebagai
misi, sebenarnya adalah cara melihat kebenaran, entah itu agama, ras, etnis
maupun budaya. Pluralisme lebih pantas jika disebut pengakuan sosiologis
dibandingkan akidah sebagai kosa kata penghubung perbedaan.
Rasarasanya konsep inilah
yang sebenarnya penting dibangun. Sebab di luar sana, betapa sesaknya
pandanganpandangan tertentu yang memilin perbedaan menjadi satu jenis dan
bentuk. Mungkin hidup dengan cara yang teologik mesti ditinjau kembali di era yang
menghendaki keterbukaan pemikiran. Karena dunia dengan kemajuannya memang
banyak berubah, dan di saat demikianlah bagaimana cara pandang terhadap sesuatu
harus terus direnovasi dan diperbaharui.
Dalam hal ini Soroush
pemikir Iran memiliki ca ra pandang tentang kebenaran: dari banyaknya
kebenarankebenaran yang terserak, mustahil mereka bertentangan. Dan cara Gus
Dur mengatasi pertentangan yang kerap dihadapi adalah melalui guyon.
Guyon biar bagaimanapun tak
selalu berarti tanpa keseriusan. Juga tak selamanya tanpa maksud yang lugas.
Gus Dur pasti punya banyak
cara menyampaikan maksud pembicaraan dengan cara normal dan bijak. Sebagai
seorang pemikir, akalnya bisa runut membangun pembicaraan yang pantas. Tapi ia
memilih humor. Ia memilih guyon. Bentuk komunikasi yang sebenarnya adalah model
sederhana dalam membuka apa yang sudah terlanjur serius.
Sebab itulah dengan guyon,
di negeri sendiri, yang seriusserius tapi tak diurus mesti digetarkan.
Barangkali ini sikap akbar Gus Dur yang lain. Cara bersikap di antara keadaan
yang purapura serius tapi kurus dari kebenaran. Dan Gus Dur tahu cara
membongkarnya; humor.