Belakangan ini ada yang mencolok di dalam layar kaca; India dan Korea.
Di layar kaca kita, India dan Korea akrab melalui drama dan sinetron. Nampaknya
ada yang terasa aneh, sebab lebih dulu Malaysia lebih awal kita tonton
berjamjam melalui kartun Upin dan Ipin itu. Tapi siapa yang bakal menonton
kartun yang kental dialek Malaysia itu selain anakanak. Dan dari ceritacerita
itu, saya banyak mendengar anakanak yang tumbuh bersamaan dengan kartun yang
diimpor itu, lebih fasih dialek Malaysia dari pada bahasa ibunya.
Adakah yang salah dari itu?
Tapi kita sebenarnya harus waswas. Zaman global seperti sekarang,
banyak yang menjebol batas. Hingga terkadang sampai sulit kita bendung.
Akhirnya banyak hal yang harus dilindungi dari sesuatu yang berbau
"luar." Banyak hal yang mesti dipertahankan, juga budaya.
Saya rasa, dari "yang luar" itu bukan saja sudah
bisa bikin waswas hati kita, tetapi juga makin jadijadi setiap hari. Sebab di
ruang paling pribadi, kita sulit mengenal apa yang masih asli bagi kita.
Apa yang masih genuine,
atau yang disebut sebagai identitas otentik, belakangan ini akhirnya menjadi
sesuatu yang penting. Atau bahkan sebenarnya genting. Sebab nampaknya yang
asli, akhirakhir ini merupakan sesuatu yang sulit kita
defenisikan.
Soekarno, yang getol menjunjung revolusi itu, di waktu Indonesia masih mendorong semangat antikolonialisme, melihat "yang luar" sebagai ancaman serius bagi kepribadian bangsa. Di saat perjuangan belum jauh ditinggalkan di belakang sejarah, budaya Indonesia yang defenitif harus berarti menolak impor produkproduk kebudayaan luar.
Kita pernah mendengar Soekarno berkoar tentang tidak ada lagi yang
"bitelbitelans" untuk mengucapkan budaya yang asli negeri sendiri.
"Bitelbitelans" waktu itu adalah musuh budaya nasional yang bisa
merangsek masuk dari luar. Musik di zaman Soekarno adalah masamasa emas
saat suara John Lenon melintasi batas Inggris. Saat gambar Marelyn Monroe jadi
posterposter dibioskopbioskop.
Di zamannya, Soekarno menolak musik yang berbau Barat. Terutama
yang lahir dari rahim budaya kapitalisme. Sebab itulah mengapa ia melarang
anakanak muda terpengaruh bandband semacam The Beatles. Karena barangkali bapak
revolusi itu sadar, kolonialisme juga punya strategi selain perang, yakni
melalui genderang telinga yang gandrung segala bebunyian yang western.
Tapi apa sebenarnya arti "Barat" dan "Timur"
sekarang sebenarnya juga adalah ihwal yang mudah retak. Apalagi jika kita ingin
menunjuk dengan tepat apa sebenarnya identitas budaya yang asli dan origin.
Sebab di zaman sekarang, jika kita menunjuk "Barat," maka di sana tak
ada yang sebenarnya betulbetul Barat. Juga "Timur" adalah yang hari
ini sepertinya bukan lagi timur.
Identitas memang bukan medan yang pejal. Justru Lacan menyebutnya
sebagai sesuatu kesalahan pasca fase cermin, sehingga identitas yang dianggap
real adalah sesuatu yang sedari awal sudah rusak. Sebab itulah tak ada yang
otentik pada identitas selain merupakan rangkaian panjang untuk mengisi
kekosongan. Jika sudah demikian, maka identitas adalah sesuatu yang merupakan
hasil interaksi dan aksi. Hasil meminjam dan meneguhkan yang diproses menjadi
sesuatu yang ingin kita sebut origin.
Lantas siapakah yang dimaksud Barat di zaman revolusi Soekarno?
Atau apa yang betulbetul Barat di zaman itu? Nampaknya tak mudah menangkap jelas batas "Timur" dan "Barat". Tapi, di
mata Soekarno, "Barat" adalah orangorang yang datang masuk ingin
menguasai segala yang dimiliki bangsa ini.
Barangkali budaya memang ruang terbuka untuk didialogkan. Tapi kita juga mesti sadar, ada yang hilang jika di layar kaca, apa yang kita tonton adalah canoncanon budaya yang importir. Sementara di balik itu, akhirnya kita juga akan sulit menemukan sejarah identitas diri yang sebenarnya bersamaan dengan tumbuhnya halhal baru yang bukan berasal dari perut kebudayaan kita.
Syahdan, apa yang sebenarnya membuat kita waswas, saya pikir oleh
sebab yang origin hari ini sudah banyak dibajak. Tapi jauh dari itu, pertanyaannya masih sama, apa yang
sebenarnya origin dari kita?