"Tidak ada misi yang lebih rumit, lebih gawat, daripada
pergulatan orang dengan jiwanya sendiri.."
Begitulah ungkapan Duong Thu Huong. Tulisannya dalam Beyond Illusions, begitu
menggetarkan. Dalam katakatanya itu ada getir, sekaligus tentu saja, getar.
Di tahuntahun komunisme berjaya di Vietnam, getir sekaligus getar
itu menjadi hal yang menjulang dalam sorak sorai revolusi tanpa batas. Tapi
juga, akhirnya harus redup untuk sebuah jalan yang telah ditetakkan partai:
realisme sosialis.
Di Vietnam, seperti negerinegeri ketika komunisme akbar dipuja,
sastra dan seni hanya berarti bahwa realisme sosialis adalah satusatunya
ekspresi yang mampu membangun kebudayaan yang luhur. Maka, akhirnya itu jadi
kebijakan, partai mengambil alih, dan sastra serta seni hanya bisa bicara dua
hal: revolusi dan aturanaturan sastra partai.
Tapi pernah suatu saat partai sadar dan berbenah. Di tahun 1987, pasca perang yang amuk dengan pihak sekutu, partai mengambil cara yang tak lazim. Melalui pidato Nguyen Van Linh, ketua partai saat itu, kaum sastrawan dan intelektual dihimbau terlibat secara bebas dan kritis untuk membangun dan menangani Vietnam yang ambruk akibat perang. Akhirnya katup dibuka, dan segera saja suarasuara yang sembunyi dari radar kekuasaan, menguap kemanamana.
Suasana itu akhirnya menyediakan suatu kondisi seperti yang
diungkap Linh, dalam Beyond
Illusions, kepada suaminya "kita tidak hidup untuk menyenangkan hati
orang lain. Kita hidup sesuai dengan keyakinan kita." Linh menyebut itu
dalam arti yang ideal, dalam arti bagaimana seharusnya tugas seorang penulis:
jujur terhadap kenyataan.
Vietnam sebelum itu adalah suatu negeri yang diproyeksi dan
dicanang revolusi, negeri yang mengolokngolok tuantuan tanah. Di Vietnam kala
itu, seperti negeri yang membebaskan seluruh tanah untuk dikelola komunekomune.
Tak ada tanah yang berbasis pribadi. Tiada yang berbau individual. Tanah di
masa itu adalah saatsaat di mana padi adalah juga urusan negara.
Sontak proyek land
reform itu menjadi semacam
mantra yang membebaskan, tapi juga sebenarnya menghisap tumbal. Pembebasan
tanah jadi program yang massif dari revolusi yang sedang berjalan. Tanah yang
dikelola komune, adalah penyamarataan seperti yang dilakukan Mao di China. Tapi land reform justru bukan imune, justru banyak yang
sakit, banyak yang justru kelaparan.
Yang jadi tumbal, yang jadi sakit, adalah orangorang yang
kehilangan tanahnya dan harus bekerja dengan tanah yang kering. Bahkan berita
pun dibuatbuat, seperti ditulis Duong dalam novel ke duanya, penuh kebohongan "para pemimpin komune
memerintahkan kami ke sini untuk dipotret, untuk korannya para tukang foto itu."
Orangrang dikibuli dengan gambargambar padi berlatar subur dan
petani yang bahagia bekerja, namun sebenarnya itu hanyalah bagian kecil dari
keadaan yang sebenarnya. Yang sebenarnya tak ada tanah subur yang
dibebaskan. Yang ada hanyalah pengerahan besarbesaran petani ke bidangbidang
tanah yang tak menghasilkan panen apaapa. Yang ada hanya berita manipulatif
yang disebarkan demi menyangga revolusi.
Sebab itulah akhirnya di suasana bebas itu banyak yang
berani bersuara atas kebohongankebohongan kemajuan revolusi. Sastrawan menulis
syair juga novel, seniman membangun panggung dan kaum cendikia mengungkap
kenyataan. Demi suatu yang luhur: kejujuran atas yang terjadi.
Drastis tak ada lagi beritaberita kebohongan tentang kemajuan yang
dipesan partai. Tak ada lagi ungkapan yang memujimuji revolusi.
Tapi suarasuara yang kritis nampaknya justru menjadi gema yang
menyulut panas kekuasaan. Kritik berbalik arah terhadap partai yang diamdiam
memang menilap kekayaan. Akhirnya banyak yang marah seperti tuantuan kepala
partai yang menimbun harta. Sehingga jika kekuasaan jadi gerah, maka
selanjutnya kita tahu, yang ada adalah pembungkaman. Sebab itulah kritik
seperti memang hanya suara yang seperti uap. Cepat hilang. Sempat panas
kemudian hilang tanpa sisasisa, oleh kekuasaan.
Suara yang sempat menjulang saatsaat itu, sudah tentu suara getar Duong Thu Huong. Perempuan yang sempat diusir dari partai ini akhirnya juga menanggung nasib sebagai seorang yang diasingkan. Tulisantulisannya menjadikannya sebagai orang yang karib dengan penjara tanpa pengadilan. Dan dari situ tahun 1990 ia didepak dari partai komunis Vietnam.
Tapi novelnovelnya, juga Beyond Illusions, sebenarnya getir yang
memotret sebuah negeri yang dimanipulasi dengan rencanarencana partai. Suatu
hal yang ia sebut "memandang menembus topengtopeng," saat semuanya
bersuara berdasarkan pesanan partai. Saat banyak yang hanya mengumbar kesenangan
rakyat dari sejumlah beritaberita, ceritacerita yang dipelintir dari kenyataan
sebenarnya.
Saat itulah Duong menulis "kita kaum intelektual, misi kita
bukannya memupukmupuk kebanggaan rakyat kita, melainkan meninjau
sedalamdalamnya cacat dan kelemahannya yang fatal, untuk menemukan dan
menunjukkannya lebih awal dari yang lainlain."
Karena itulah Duong menulis keadaan yang getir di negerinya
sendiri. Tapi sampai di sini saya tidak tahu, apakah tulisan Duong
di negeri ini juga dapat membuat orang bergulat dengan jiwanya sendiri.