Undian itu dilakukan dengan sut. Lingsang dan pasukannya mendapat
kehormatan jadi ujung barisan yang akan memasuki Kutaraja dari selatan. Di
belakangnya akan menyusul pasukan Umang. Di belakangnya lagi pasukan Tanca…
Begitulah prosesi awal perang dikisahkan dalam Arok Dedes. Membaca fragmen
cerita itu, kita akan segera tahu, tentang sebuah peristiwa jatuhnya kekuasaan
seorang raja sekitar 1220 masehi. Saat itu, di Nusantara, dikisahkan Pramoedya
Ananta Toer, Tunggul Ametung akhirnya mati bersimbah darah. Dan dalam lakon rajaraja,
bersimbah darah berarti cara heroik untuk mati.
Tapi, di luar itu sebenarnya ada peristiwa yang lebih heroik. Jauh
di luar jangkauan raja Tunggul Ametung, sebuah skenario kekuasaan sesungguhnya
telah disusun rapi jauh hari tanpa sisa adegan yang kosong. Melalui tangan Buto
Ijo, Arok, melalui peran yang panjang akhirnya menjelma kekuatan yang
menumbangkan kekuasaan Tunggul Ametung.
Dan dari serangan itu, sejarah akhirnya mencatat, di saat itulah
kudeta pertama terjadi di Nusantara.
Jika ada kekuasaan yang diceritakan tanpa menyisihkan intrik, barangkali Pramlah orangnya. Dalam Arok Dedes, sebuah naskah yang ia tulis di pulau Buru, barangkali ingin menjangkau ruang kesadaran banyak orang, bahwa kekuasaan sebenarnya dibangun bukan dengan cara yang langgeng dan sepi muslihat. Kekuasaan justru di tangan Pram, dikisahkannya adalah poros yang mudah keropos oleh intrik.
Melalui kisah Arok Dedes, Pram barangkali ingin membuka suatu
tafsiran baru di sekitar kekuasaan. Bahwa, kekuasaan sesungguhnya adalah sesuatu
yang tak stabil dan mudah retak. Di sini ada yang nampaknya sama sekali
menyelisih dari adat kebiasaan. Apalagi dominasi cara memandang kekuasaan yang
selalu ditautkan dengan hal ihwal berbau teos.
Kekuasaan, seperti yang ditampilkan Pram dalam lakon Arok Dedes, adalah
kekuasaan berwajah politik, bukan yang mitologik dan teologik. Artinya,
kekuasaan itu mudah dihimpun juga diguyah selama intrik diberlangsungkan.
Juga bahwa politik sebenarnya adalah bagaimana kekuataan harus
disusun dan dirombak. Yakni kekuatan bilamana ingin berhasil, selama disusun
dan dirombak harus bermain pada semua lingkaran kelompok. Dan dalam lakon
politik suatu rencana harus menyeimbangkan kekuatan di antara beragam
kepentingan di sekitar kekuasaan.
Dengan cara itulah Arok memainkan perencanaannya. Seorang pemuda
pelajar yang berhasil menghimpun kawula dan elit terdidik, serta kekuatan
militer untuk menggerakkan sebuah perlawan terhadap Tunggul Ametung.
Barangkali, Pram juga ingin bermaksud bahwa politik sebenarnya
adalah keadaan yang tanpa pusat. Sebab kekuatan sebenaranya bisa muncul dari
mana saja selagi sebuah keadaan terlampau sesak oleh himpitan kekuasaan. Dan
yang dibutuhkan sebenarnya adalah inisiatif yang cemerlang dalam bertindak dan
membaca situasi yang serba mungkin.
Bila itu yang dimaksudkan, inisiatif sebenarnya adalah peran yang
timbul tanpa lepas dari situasi yang kongkrit. Dalam arti ini, sebuah inisiatif
lahir dari seorang subjek politik.
Slavoj Zizek, seorang filsuf abad 21, menyebut subjek politik adalah
seseorang yang berperan radikal yang menerka keadaan dari segala ketermungkinan
yang ada. Suatu yang disebut Zizek adalah “peran istimewa,” yakni suatu
kemampuan dalam mengubah yang serba mungkin menjadi kekuatan yang
menggerakkan.
Dan Arok adalah orang yang melihat itu, menyusun dan memprediksi kekuatan mana yang kosong dan dapat ia manfaatkan menjadi kekuatannya. Ia seperti Sang Pangeran yang ditulis Machiavelli, orang yang menunggu dan bersikap di antara virtue dan fortuna.
Lakon kisah yang ditulis Pram ini, juga sebenarnya adalah
bagaimana ia menjadi suara yang dibungkam di tengahtengah kekuasaan. Di pulau
Buru, sebuah naskah sastra politik ditulis dengan kesadaran yang kental
terhadap prosesi keberlangsungan sebuah kekuasaan saat itu.
Jika sudah demikian, kekuasaan akan berbalik, persis seperti bagaimana Arok yang merupakan bagian dari orang kebanyakan mampu menggulingkan kekuasaan yang telah lama berdiri.
Barangkali Pram bisa benar. Juga bisa salah.
Konon jika disebutkan sastrawan itu kerap berbohong untuk
menyampaikan apa yang menjadi bagian dari kebenaran, barangkali Pram adalah
pembohong yang ulung.
Tapi saya kira Pram tak pernah berbohong, apalagi dengan maksud
mempolitisasi sejarah. Dia hanya ingin kita tahu, bahwa sejarah bisa saja
adalah peristiwa yang di dalamnya politik menjadi medan yang penuh muslihat dan
taktik. Atau dengan kesan yang lebih berani; sejarah sebenarnya adalah
kesadaran yang seringkali dipermak politik.