Era media massa, keterbatasan
akibat jarak, waktu, efek maupun daya jangkau pesan, menjadi penting dan
harus dipecahkan. Hal ini dikarenakan bakal
mempengaruhi kemampuan berkomunikasi dan interaksi masyarakat. Namun,
semakin kompleks kemajuan zaman, ruang dan waktu, alat tekhnologi komunikasi
canggih akhirnya mampu mengatasi hambatan-hambatan yang ditemui manusia,
sekaligus secara radikal berpengaruh terhadap cara masyarakat menjalani kehidupan
bersama.
Di kota-kota besar, meningkatnya
presentase penggunaan alat komunikasi dan teknologi, berdampak massif secara
kultural terutama bagi kaum muda. Di kota-kota besar, media komunikasi canggih
mendorong dan mensituasikan secara intens pola komunikasi sehari-hari kaum muda.
Dengan dalih mengefesienkan waktu dan jarak tempuh, alat komunikasi canggih
sudah menjadi bagian inheren dari seluruh aktivitas kaum muda.
Dalam era informasi, lahir
kaum digital native yang menandai perubahan paras masyarakat imbas
terintegrasinya alat-alat teknologi komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Istilah
ini merujuk pada lapisan muda masyarakat yang semenjak kecil dididik, dibesarkan,
serta terbiasa dengan alat teknologi informasi dan komunikasi berbasis
digital.
Secara kultural kaum digital native
berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka bermain games, mengoleksi
lagu-lagu dalam format mp3, duduk berjam-jam di depan laptop, sebagian
sibuk ber-BBM-an, dan tentu saja sebagaian besarnya mahir dan pandai
berselancar dalam dunia maya. Berbeda dari generasi sebelumnya, generasi digital
native lebih adaptatif terhadap inovasi-inovasi yang ditemukan di era
digital.
Kemajuan alat teknologi komunikasi
memang berdampak radikal mengubah cara menjalani kehidupan digital native saat
ini. Kehidupan berbasis teknologi dan alat komunikasi digital, ditandai dengan
percepatan dan akumulasi waktu dan jarak melebihi cara-cara sebelumnya.
Era yang melipat waktu dan jarak
atas dasar efisiensi dan efektifitas, mengharuskan informasi dapat terus
bergerak melintasi batas-batas geografi dan waktu. Informasi sebagai faktor
penggerak masyarakat memang berfungsi sebagai modal sosial dominan masa
sekarang yang dimanfaatkan generasi digital native agar banyak menunjang
seluruh aktivitasnya.
Berbeda
dari itu, generasi sebelumnya, justru banyak mengalami hambatan-hambatan
memahami dan menjalani kehidupan di era sekarang berkat tidak seimbangnya modal
pengetahuan dengan kemajuan saat ini.
Fenomena cultural
lag yang merujuk kepada tersisihkannya generasi tua dari proses perubahan,
merupakan tanda betapa teknologi informasi berpengaruh besar terhadap
terjadinya perubahan yang tak mampu diadaptasikan generasi sebelumnya. Artinya
kemajuan alat komunikasi dan teknologi canggih tak mampu diterima melalui cara
hidup generasi sebelumnya akibat latar pengetahuan yang berbeda.
Kesenjangan kebudayaan yang dialami
generasi tua, malah disambut dengan terbuka oleh kaum digital native berkat
kapasitas pengetahuan yang inovatif. Hal ini karena teknologi informasi telah
banyak mengubah dan mempengaruhi tatanan psikosfer kaum digital native.
Pernyataan di atas sesungguhnya
menunjukan pembacaan Alvin Toffler terhadap peradaban gelombang ketiga saat
ini. Peralihan gelombang peradaban ini ditandai dengan semakin berkembangnya
teknologi alat komunikasi. Dari analisisnya, Toffler mendaku setiap media tekhnologi
yang berkembang akan berdampak terhadap perubahan empat sistem tatanan yang
saling terkait. Pertama, lingkungan teknologi-teknosfer yang akan berdampak
terhadap, kedua, lingkungan infosfer, yakni budaya pertukaran informasi di
antara masyarakat.
Kedua persinggungan dua lingkungan
sebelumnya akan mengubah, ketiga, wajah sosiosfer sebagai teksture kehidupan
sosial. Tatanan sosiosfer yang terhubung dari pola-pola pertukaran interaksi
antara masyarakat akan membentuk, keempat, tatanan psikosfer yang ditandai
dengan perubahan bagaimana cara kita berpikir, merasa dan berperilaku.
Perbedaan tatanan psikosfer dan sosiosfer
dari generasi terdahulu dengan kaum digital natives mencirikan
perubahan diberbagai aspek kehidupan. Dalam aspek kebudayaan, kaum digital
natives mendorong percepatan massifikasi budaya populer yang merupakan
lawan dari budaya canon. Media massa yang mereproduksi budaya populer di kalangan
kaum digital natives, justru mengambil alih peran budaya canon di
dalam proses simbolik tatanan interaksi komunikasi. Penghargaan terhadap budaya
asing dibandingkan budaya adihulung yang diproyeksikan kepada praktik-praktik
kehidupan generasi digital natives, merupakan faktor keberlanjutan dari
berubahnya tatanan sosial masyarakat.
Proses perubahan serupa seperti
diceritakan Edmund Carpenter, seorang antropolog Amerika yang mengisahkan pengaruh
teknologi terhadap perubahan kebudayaan orang Irian. Dalam penelitiannya di
Sio, ia datang dan memperkenalkan alat-alat teknologi komunikasi modern-
kamera, tape recorder dsb. Setelah beberapa bulan kemudian ia meninggalkan
tempat itu. Ketika ia kembali, ia dikejutkan oleh perubahan cara hidup orang
Irian yang mengalami perubahan kultural secara radikal.
Memang tak bisa kita tolak banyak
manfaat dari penggunaan alat-alat super canggih yang memudahkan kita di kehidupan
saat ini. Tak bisa kita bayangkan kehidupan ini, jika alat-alat canggih yang
sering digunakan hilang dari pengalaman sehari-hari. Tak bisa kita sangsikan
alat-alat demikian memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi dengan super
cepat, di mana jarak tak lagi relevan untuk dijadikan ukuran. Pun juga hal
demikian membuat masyarakat bisa dengan cepat mengetahui perkembangan dunia
hanya dengan sekali berselancar dengan alat komunikasi yang dimiliki.
Tetapi banyak ahli juga
mengingatkan penggunaan alat komunikasi canggih bisa menjadi momok yang
memberikan efek alineatif. Di dalam kasus orang Papua di atas, apa yang
disayangkan Carpenter merupakan gejala universal yang ditemui dalam kehidupan
kita. Kaum digital natives bukan saja selamanya berarti anak-anak muda
yang tumbuh seiring perkembangan teknologi, melainkan siapa saja yang mengalami
hal yang serupa seperti masyarakat Papua. Dampak kultural yang alienatif dari
kemajuan teknologi memang merupakan residu dari peradaban berbasis digital.
Dalam pendekatan perubahan sosial, pemanfaatan
teknologi yang merupakan salah satu kekuatan pendorong perkembangan masyarakat,
sejatinya adalah cara hidup masyarakat untuk mempertahankan keberlangsungan
hidupnya. Alat komunikasi dan teknologi memiliki efek yang universal bagi
perubahan sosial masyarakat.
Artinya perubahan yang diakibatkan
dari kemajuan teknologi informasi seharusnya ditanggapi dengan cara adaptatif
sejauh memiliki sumbangsih terhadap penciptaan kehidupan yang lebih baik.
Informasi yang berpindah cepat dan tanpa batas dapat dijadikan modal sosial
dalam mensinergikan perencanaan-perencanaan perubahan sosial.
Apabila kita mengacu dalam
pembacaan yang diberikan Baudrillard, mesin adalah lambang masyarakart
postindustri yang banyak bersentuhan dengan kehidupan praktis masyarakat.
Gadget misalnya dibahasakannya sebagai lambang masyarakat yang berbasis
teknologi. Melalui alat teknologi gadget, basis aktivitas masyarakat
disandarkan kepada aplikasi-aplikasi yang mengatur hidup manusia. Dengan
gadget, keseharian manusia direbut dari aktivitas primordialnya menuju dunia
maya yang menggunakan simulacrum sebagai fantasi kenyataan.
Simulacrum dibahasakan
Baudrillard sebagai realitas fantasi berupa replika dari kenyataan yang
ditampilkan melalui dunia maya, yang berdampak terhadap bertukarnya kenyataan
yang maya dengan yang nyata. Dunia pasca industri ditandai dengan beralihnya
kenyataan dari hubungan-hubungan
berbasis reality menuju hiperreality.
Yasraf Amir Pilliang dalam
bukunya Dunia yang Dilipat,
menandai peralihan masyarakat industri menuju masyarakat pasca industri dengan
tumbuhnya generasi masyarakat yang berinteraksi atas
basis screen. Kemajuan teknologi yang begitu cepat telah mengambil
fungsi masyarakat sebagai entitas pertukaran interaksi dan komunikasi menjadi
hubungan yang dimediasi oleh layar.
Artinya layar menjadi media penting
bagi hubungan interaksi yang mempertemukan seluruh aktivitas manusia di masa
saat ini. Tanpa layar kehidupan masyarakat modern akan mengalami kelumpuhan
total akibat betapa tergantungnya kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat
terhadap keberadaan layar.
Layar dalam media komunikasi telah
menjadi perwakilan realitas yang mengamputasi dunia yang sebenarnya. Hal
ini menjadi persoalan dalam hal sejauh mana kenyataan di dalam masyarakat
dianggap sebagai reality. Reality yang direpresentasikan dalam
layar merupakan jalinan penandaan dan simbol-simbol yang saling terkait antara
satu dengan yang lainnya. Melalui jalinan simbol inilah dunia direpresentasikan
dengan cara simbolik yang mengubah basis kenyataan sebenarnya. Dengan
cara ini pula, hubungan ekonomi, konsumsi, politik, kebudayaan dan pengetahuan
dibangun dan direpresentasikan.
Dunia yang telah dipenuhi dengan
pola komunikasi media massa melalui realitas virtual, disebutkan Badrillard
hanya menyisakan bukan informasi yang komunikatif, melainkan adalah apa yang ia
istilahkan sebagai kebimbangan realitas. Kecenderungan ini ditujukannya untuk
melihat dampak kultural berupa kekosongan pemaknaan yang dialami masyarakat
akibat konsumsi berlebihan atas simbolsimbol dunia virtual. Dalam hal ini,
praksis konsumsi masyarakat modern lebih banyak ditentukan oleh nalar konsumtif
daripada kebutuhan.
Dengan demikian menjadi hal yang
berbahaya apabila kemajuan teknologi informasi hanya mengikutkan aspek
instrumental dari penggunaannya, sehingga berdampak terhadap tidak selarasnya
kemajuan yang ditopang oleh alat komunikasi dan teknologi. Akibat penggunaan
yang salah kaprah, kemajuan teknologi canggih bukan sebagai pencipta perubahan
yang bernilai kumulatif bagi perkembangan masyarakat, tetapi justru akan
menjadi sebab bagi terpecahnya hubungan-hubungan sosial di dalam masyrakat.
Oleh karena itu aspek etis juga harus disertakan dalam proses transformasi
masyarakat yang ditimbulkan teknologi informasi saat ini. Dengan begitu
setidaknya perubahan-perubahan yang diharapkan dapat dirasakan manfaat dan
nilai positifnya dalam kehidupan sosial.