Sentimentalisme Filsafat; Prasangka dan Anti Sains

Louis Althuser, filsuf marxis Prancis, punya buku; Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Saya membayangkan -dari judulnya- bagaimana filsafat, ilmu yang abstrak dan spekulatif itu memiliki keterpautan terhadap revolusi, situasi puncak gerakan sosial yang radikal dan total. Dan sulit dibayangkan, dalam arti apa filsafat harus kita terima sebagai senjata. Barangkali di sinilah tipikal pemikiran yang berhaluan marxis; filsafat bukan ilmu yang sekadar menafsir dunia, justru masuk dan mengubahnya.

Titik tolak dari buku yang ditulis Althuser itu bisa kita terima dalam beberapa pengertian. Pertama, perselisihan filsafat materialisme historis Marx terhadap filsafat Hegel yang bersifat spekulatif. Dalam konteks ini, pemikiran Althuser sulit menyelisih dari pertentangan yang sudah dimulai Marx. 

Kedua, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, jawaban atas spekulasi-spekulasi filosofis di luar halaun pemikiran marxis yang dinilai tak memiliki sumbangan praktis terhadap kompleksitas dunia. Ketiga, filsafat materialisme dialektik historis, seperti pandangan-pandangan pemikir marxis, satu-satunya alternatif pemikiran yang masih membawa harapan terhadap tatanan totalitarian kapitalisme.

Namun biar bagaimanapun, filsafat itu sebagai indung ilmu pengetahuan adalah medan yang masih sangat sulit dikenali. Persitegangan antara filsafat materialisme dan idealisme adalah panorama yang khas dalam pemikiran filsafat. Pelecehan terhadap filsafat Hegelian oleh Marx dengan menyebut filsafatnya berjalan dengan kepala, adalah ekspresi ideologis betapa kentalnya sentimen-sentimen antara filsuf di abad 19.

Jauh sebelumnya, sentimen yang lebih antagonistik ditunjukkan saat Eropa masih dikuasai eksternalitas gereja. Melalui kuasa hegemonik dan totaliter, hampir semua dimensi kultural dan keagamaan dipenuhi nuansa dogmatis doktrin-doktrin padri agama. Dari situasi demikian, tradisi kitab suci merupakan satu-satunya ilmu pengetahuan yang diakui melalui studi-studi kitab di dalam gereja. Pengetahuan dalam arti kritis yang bertumpu melalui telaah argumentatif rasional dan penyelidikan empiris, wacana pinggiran yang dibid’ahkan.

Tetapi Alison Brown, misalnya, dalam Sejarah Renaisans Eropa, menggambarkan bagaimana mesin cetak menjadi penanda kebaruan perkembangan Eropa. Keberadaan mesin cetak juga digambarkan Francis Bacon sebagai tiga penemuan yang mengubah wajah dunia. Pusat-pusat percetakan di Paris, Basel, Roma dan Antwerb dengan cepat menjadi pusat-pusat baru ilmu pengetahuan menggantikan dominasi gereja. Dengan bergesernya pusat ilmu, bersamaan dengan liberalisasi ilmu mesin cetak, akhirnya Eropa mulai memasuki era pencerahan.

Eropa yang tercerahkan adalah Eropa yang mulai meninggalkan anggapan-anggapan teologis. Eksternalitas gereja menjadi residu yang harus disapu bersih. Peristiwa demikian juga membersihkan presuposisi terhadap ilmu pengetahuan yang dianggap bid’ah dan menyesatkan. Dengan demikian ilmu yang awalnya dianggap menyimpang menjadi penanda otoritas manusia atas penguasaan hidupnya.

Zaman Keemasan: Bangkitnya Ilmu Pengetahuan

Abad pencerahan menjadi keadaan yang memungkinkan berkembangnya ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan metodelogi keilmuan, sampai perselisihan filosofis adalah ilustrasi epistemologi dari berkembangnya ilmu pengetahuan renaisans. Melalui Sejarah Filsafat Barat misalnya, Betrand Russell menuliskan serbuan sains pertama kali datang saat publikasi teori Copernican tahun 1543, kemudian diperkuat dan dikembangkan oleh Kepler dan Galileo pada dua abad selanjutnya.

Pudarnya kekuasaan iman gereja ditandai lahirnya semangat humanisme. Kharisma gereja akhirnya berganti pesona kekuatan primordial manusia sebagai mahluk otonom. Otonomi manusia berarti manusia sebagai subjek yang berpengetahuan tidak lagi menyandarkan kekuasaannya terhadap institusi gereja. Di zaman keemasan ini, manusia dilahirkan menjadi mahluk paripurna meninggalkan kesan purba abad kegelapan.

Kesan manusia sebagai pusat ilmu mencapai puncaknya dalam pembatinan Rene Descartes; cogito ergo sum. Mahluk purba dalam pembatinan Descartes menjadi subjek yang lahir dari peristiwa otonomisasi semangat pencerahan. Cogito ergo sum adalah tiang pancang kekuatan rasio atas keberadaan manusia. Rasio Descartes merupakan pemurnian kekuatan primordial manusia yang sudah tercemari praanggapan common sense. Rasio dalam pengertian cartesian adalah rasio yang menolak eksternalitas sebagai dasar pijak kebenaran.

Zaman keemasan juga digambarkan Kant sebagai era yang sama sekali berbeda dari abad pertengahan. Abad pencerahan disebutnya sebagai keadaan kemandirian berpikir. Di suatu waktu ia menulis:

Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan.

Era pencerahan juga memberikan kesan yang kuat terhadap individuasi manusia. “Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri!” merupakan keinginan kuat dari manusia otonom. Dalam hal ini Kant, juga seperti Descartes, memiliki iman yang sama terhadap manusia merdeka. Dalam hal ini kolektivitas yang menjadi dasar common sense diradikalkan atas rasio yang independen. Dalam situasi demikianlah manusia yang independen atas rasio menjadi pusat alam semesta.

Lingkaran Wina dan Anarkisme Epistemologi

Semenjak Eropa memasuki abad baru, alam pemikiran manusia berubah total dari situasi politis menjadi situasi yang demokratis. Dalam Sejarah Filsafat Barat, Betrand Russell menggambarkan bagaimana sains merupakan antitesa pengetahuan religius yang dikontrol gereja secara politis. Hal ini memungkinkan perkembangan sains jauh lebih terbuka dan berkembang daripada kondisi sebelumnya.

Akibat hilangnya kontrol politis gereja, secara liberatif alam demokratis memiliki relevansi terhadap kemunculan pemikiran-pemikiran baru dengan semangat pembaharuan. Sains akhirnya menjadi primadona baru seperti halnya penemuna kompas, mesiu dan mesin uap yang akhirnya mengubah secara total wajah eropa saat itu. Sains seperti yang dibilangkan Bacon adalah kekuatan yang harus dimiliki manusia untuk memparipurnakan dirinya.

Kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menjadi kebudayaan baru masyarakat Eropa. Hingga abad modern, semenjak positivisme pertama kali digaungkan Auguste Comte, sains menjadi satu-satunya ilmu pengetahuan yang absah. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan memperlihatkan adanya usaha-usaha pemikiran yang hendak merumuskan satu pola umum tentang aturan-aturan ilmu pengetahuan. Dalam dunia ilmiah misalnya, pola-pola yang dimaksud itu adalah asumsi-asumsi, dalil-dalil, teori, metode serta teknik penelitian yang memandu riset ilmiah.

Positivisme sebagai pola umum akhirnya menjadi acuan bagi ilmuan setelah terbentuknya lingkaran Wina tahun 1920. Digagas oleh Morirz schilk, Der Wiener Kreis (lingkaran kelompok Wina) menjadi kiblat bagi perlakuan ilmu-ilmu pengetahuan. Tahun 1929, lingkaran Wina melalui Rudolf Carnap, Hans Hahn dan Otto Neurath mempublikasikan Wissenschsliche Weltanschaung Der Wienner Kreis (Pandangan Dunia Ilmiah Kelompok Wina) yang segera menjadi rujukan utama ilmuan sehingga menjadi kekuatan dominan bagi dunia ilmiah.

Lingkaran Wina atau kelompok positivisme ilmiah belakangan banyak menuai kritikan dari orang semacam Karl Popper, Feyerabend, Richard Rorty, Karl Polanyi, Foucault dan Mazhab Frankfurt dll. Paradigma Posivistik dinilai terlampau totaliter sehingga menyingkirkan keanekaragaman jenis-jenis pengetahuan. Dalam kritikannya, golongan postpositivis mengaitkan unsur kekuasaan dan ideologi yang turut membentuk pengetahuan sebagai hal yang tidak lagi bebas nilai. Sisi lain dari kritikan mereka, sains dituduh sebagai penopang kekuasaan yang hegemonik.

Salah satu kritikan oleh Feyerabend misalnya, ditujukan kepada asas-asas positivis yang determinis diakui dalam dunia ilmiah. Klaim-klaim empiris, logis, positiv dan bebas nilai, merupakan teknik sains yang digugat Feyerabend. Sains yang digugat Feyerabend sebenarnya jenis ilmu pengetahuan yang menyingkirkan cara pandang dan teknik pencarian pengetahuan yang beraneka ragam. Model yang demikian dianggap sebagai  keyakinan yang  kukuh terhadap satu-satunya klaim kebenaran, sehingga menjadi otoritas yang sulit dihindarkan.

Menyangkut otoritas sains sebagai satu-satunya klaim objektivitas, Feyerabend justru bersikukuh untuk menilai bahwa hal yang demikian hanyalah ilusi belaka. Menurutnya sains yang diagungkan selama ini tidak lebih dari kesepakatan ilmuan yang bisa saja berganti dari waktu ke waktu. Dari itu maka, dimensi kebenaran yang dianut dalam sains, bagi Feyerabend adalah hanya soal sejauh mana nilai objektif yang dikandung dalam satu teori dapat digugat oleh teori lainnya.

Lebih jauh dari Karl Popper atas teori Falsifikasinya, Feyerabend dengan pandangannya yang menyelisih dari pendahulunya justru bertindak sebagai penghimbau pluralisme metodelogis. Pandangan filsuf Austria ini memberikan jalan keluar dengan cara yang ia istilahkan sebagai anarkisme epistemologis. Prisnsip yang dimiliki dalam anarkisme epistemologis dapat dipahami dengan dua hal yang mengkritisi tubuh ilmu pengetahuan yakni metode sains itu sendiri (against method) dan fungsi serta kedudukan sains dalam masyarakat (against science).

Kritik Anarkisme Feyerabend atas Filsafat ilmu Pengetahuan

Anarkisme dalam kritik filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dipahami sebagai ungkapan kebebasan ekspresi ilmuwan. Anarkisme epistemologis Feyerabend dikatakannya ibarat gerakan perlawanan terhadap kemapanan yang totaliter. Sementara dalam ilmu pengetahuan, anarkisme yang diusungya adalah cara pandang yang mengggugat kemapanan sains yang sebenarnya tidak terbangun dengan rapi sebagaimana yang dibayangkan. 

Hal ini dibuktikannya melalui penjajakan historis sejarah terbentuknya ide-ide yang dianut ilmuwan sebenarnya penuh dengan kesalahan dan kerancuan. Sehingga situasi demikian tidaklah kondusif bagi terbentuknya ide-ide yang jernih, melainkan dibangun di atas kondisi yang rancu, pelik dan penuh dengan keraguan.

Anti Metode

Dalam sains, paradigma positivisme satu-satunya paradigma yang dianut ilmuwan. Bahkan berdasarkan kritikan Mazhab Frankfurt, posivisme ilmiah sudah seperti ideologi yang sulit tergantikan posisinya. Akibat pengkultusan paradigma positivis, sains malah menolak metodelogi maupun jenis-jenis pengetahuan di luar dari kategori di luarnya. Akibatnya, sains yang semula disokong oleh semangat demokratis dan terbuka justru menjadi ideologi tertutup yang anti kritik.

Sifat sains yang baku dan tunggal digugat Feyerabend dengan mengajukan antimetode sebagai solusi determinisme metodelogis kalangan ilmuwan. Kebakuan dan ketunggalan sains dengan metode yang ketat dan rigid dianggapnya sebagai kerangkeng besi yang memenjarakan kreatifitas ilmuwan dalam mengembangkan teknik-teknik metodelogi. Berdasarkan situasi demikian, pembatasan dan pemaksaan metodelogi  menjadi penyebab bagi tersendatnya kebebasan berpikir ilmuan.

Atas dasar kebebasan berpikir dan kreatifitas ilmu pengetahuan, Feyerabend mengajukan satu mekanisme yang diberi nama kontra induksi (counter induksi). Mekanisme ini diarahkan kepada suatu model kritikan di luar sistem ilmu pengetahuan atas kesulitan intern yang dikandung sains itu sendiri. Prosedur dari kontra induksi Feyerabend dipahami dengan dua prisnsip yang diajukannya yakni prinsip pengembangbiakan dan prinsip apa saja boleh.

Prinsip pengembangbiakan memiliki arti membiarkan semua berkembang sendiri-sendiri. Dalam arti filosofisnya, ilmuwan tidak dalam posisi inheren terhadap sistem pemikiran, tekhnik dan gaya yang sudah ada. Sehingga di situasi demikian, asas pekerjaan ilmuwan adalah sejauh ekpresi yang menjadi kecenderungannya tidak dikekang oleh sistem baku. Prinsip ini juga mengedepankan emansipasi teori sehingga tidak ada penindasan antara produk pemikiran yang teribat dalam proses pengembangan keilmuan.

Prinsip ini sebenarnya adalah mekanisme yang digunakan Feyerabend terhadap kebakuan sistem metodelogi sains yang mempersempit ekspresi kebebabasan ilmuwan. Dari alternatif yang ditawarkan Feyerabend, ada tiga hal yang ia maksudkan. Pertama, memberikan suatu model abstrak tentang kritik terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, dari kritisisme yang terbangun mengharuskan adanya pengembangan-pengembangan sebagai konsekuensinya, dan yang ketiga, dari konsekuensi yang ada, dapat dijadikan sebagai perbandingan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.

Prinsip pengembangbiakan juga memiliki tujuan implisit untuk memberikan alternatif terhadap pengetahuan-pengetahuan yang tidak cocok, bahkan sering kali bertentangan dengan pandangan yang dominan. Dalam hal ini, prinsip ini tidak saja memungkinkan lahirnya pengetahuan-pengetahuan alternatif, melainkan memungkinkan tampilnya kepermukaan teori-teori yang sudah ada tetapi ditolak akibat hegemoni paradigma dominan.

Dari pengertian sebelumnya, prinsip pengembangbiakan justru bukanlah metodelogi yang hendak dipakai sebagai frame keilmuan. Justru dalam arti yang sebenarnya, prinsip ini mendorong secara paradigmatik untuk mengatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak harus ditekuklututkan dalam satu teori tunggal, metode, atau aturan apapun. Melainkan membiarkan keanekaragaman dan perbedaan masing-masing teori berkembang sendiri-sendiri.

Sementara prinsip apa saja boleh (anything goes) merupakan prinsip paling mencerminkan sifat anarkisme epistemologis Feyerabend. Arti dari prinsip ini membiarkan segala bentuk dan cara diberlangsungkan tanpa mengikut sertakan patokan-patokan maupun aturan. Bahkan radikalisasi dari prinsip ini mengimplikasikan perlawanan terhadap segala aturan dan hukum dalam sains. 

Prinsip ini pada akhirnya menjadi mode baru bagi tendensi penelitian dengan kesan-kesan yang baku dan ketat. Dengan begitu, mode ini adalah saran yang sekaligus inpirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang dituntut untuk seragam dalam menerapkan paradigma keilmuan.

Kata kunci dalam prinsip ini dibilangkan Feyerabend adalah keberanian untuk keluar dari tekanan universal yang membatasi kecenderungan-kecenderungan ekspresi penelitian. Prinsip ini dengan sendirinya memiliki relevansi dengan semangat anarkisme yakni kebebasan individu. Bagi filsuf ini, prinsip anything goes dapat diterapkan dalam setiap keadaan untuk menghindari kondisi determinan di lapangan penelitian. Dalam arti filosofisnya, esensi prinsip ini mampu mengembangkan kritisisme untuk mencapai pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal tingkat pengungkapan dengan kesadaran yang lebih tinggi.

Anti Sains

Feyerabend beserta kritikus dengan mode pemikiran yang sama memiliki sikap anti ilmu pengetahuan. Sains di mata Feyerabend terlampau hegemonik dalam maksud awalnya sebagai cara menafsirkan dunia. Seperti kritikan Mazhab Frankfurt yang menilai sains justru telah berbalik menjadi ideologi yang diagungkan, sehingga di luar dari penafsiran yang diberikan sains dianggap sebagai pengetahuan minor bahkan tidak diakui. Maksud Feyerabend sebenarnya dengan sikap anti ilmu pengetahuannya adalah kritisismenya terhadap ilmuwan yang menganggap sains lebih unggul dari agama, mitos, dongeng, hikayat, voodoo dll.

Sikap anti pengetahuan yang ditunjukkan Feyerabend secara harafiah bukan bermaksud anti ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan usahanya untuk menerapkan emansipasi terhadap keseragaman yang menjadi ciri khas dalam sains. Pandangan ini ditilik dari sifat kekuasaan sains yang hierarkis dibandingan pengetahuan lainnya. Menurut Feyerabend kekuasaan sains lebih ditentukan bukan oleh sains itu sendiri, tetapi sikap propagandis dari para ilmuwan dan kewenangan institusionalisasi yang memberikan tolak ukur terhadap sains dan perkembangannya.

Ilmu pengetahuan dan intitusi yang dianggap ilmuwan sebagai satu-satunya ukuran kebenaran telah memonopoli keragaman jenis pengetahuan di dalam masyarakat. Sifatnya yang hegemonik dan sudah seperti ideologi, jusrtu menjadi pandangan dominan dan mematikan perkembangan pengetahuan yang berkembang di luar sains itu sendiri. 

Bila di abad pertengahan berlaku semboyan extra eccelesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) maka hari ini maksud yang sama diadopsi oleh sains dominan dengan semboyan extra scientiam nulla salus (di luar ilmu pengetahuan tidak ada kebenaran). Dampaknya secara kebudayaan dan sosiologis sungguhlah melampaui kebajikan peradaban, dengan tidak mengakui pengetahuan yang bersumber selain dari otoritas dan wewenang keilmiahan.

Sebagai akhir, Feyerabend bermaksud untuk mengatakan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah salah satu jalan dari sekian banyak cara pandang di dalam masyarakat. Keunggulan sains dibandingkan pengetahuan lainnya tidaklah berdasar dari  kandungan esensialitas sains dengan karakteristiknya yang selalu berkembang. Melainkan selama ini adalah monopoli sikap angkuh ilmuwan yang berlebihan dalam menyikapi sains sebagai satu-satunya otoritas kebenaran. 

Syahdan, seperi Nietzcshe filsuf Jerman yang menggemparkan pemikiran di awal abad 20, ilmu pengetahuan (sains) hanyalah satu jalinan jejaring laba-laba di sudut ruangan yang mewakili realitas sebenarnya. ‘Tiada batasan dalam cara bagaimana dunia ini ditafsirkan’ ungkapnya di suatu waktu.

---

Sumber tulisan

  1. Sejarah Filsafat Barat. Betrand Russel. Pustaka Pelajar. 2004.
  2. Sejarah Renaisans Eropa. Alison Brown. Kreasi Wacana. 2009
  3. Pembunuhan Yang Selalu Gagal, Modernisme dan Krisis Rasionalitas Menurut Daniel Bell. Pustaka Pelajar. 2002.
  4. Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Seri Filsafat Driyarkara. Gramedia. 1993
  5. Jurnal filsafat. Program Pasca Sarjana Ilmu Filsafat Universitas Indonesia. 1999